Opini  

Politik Makan Bergizi Gratis

Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Syarief Makhya

Pada awal bulan Januari 2025, program makan siang gratis mulai diimplementasikan secara bertahap. Masyarakat menyambut gembira program ini tanpa ada protes. Namun, Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDIP, sempat memberikan kritik. Megawati menyebut bahwa anggaran sebesar sepuluh ribu rupiah per orang dirasa terlalu rendah dan tidak mencukupi untuk memenuhi standar kebutuhan gizi yang layak dan sehat.

Dari perspektif politik kebijakan sosial, program ini dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan kualitas hidup, atau mengatasi ketimpangan sosial. Dalam banyak kasus, kebijakan ini dirancang untuk memberikan akses kepada makanan bergizi bagi rakyat, terutama bagi mereka yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.

Program makan siang gratis (selanjutnya menjadi makan bergizi gratis, disingkat MBG) adalah program yang diusung dalam kampanye Prabowo saat pencalonan pilpres tahun yang lalu. Jadi, jelas sarat dengan kepentingan politik pemerintah yang memperlihatkan keberpihakan pemerintah terhadap rakyat miskin dan sebagai bentuk janji kampanye yang diimplementasikan.

Dengan demikian, program makan siang gratis secara politik akan sangat menguntungkan popularitas Presiden Prabowo yang menunjukkan wujud nyata dalam merespons kebutuhan dasar masyarakat. Kendati demikian, baru berjalan satu nulan sudah ada kritik dari masyarakat antara lain, menu makannya tidak semua siswa menyukainya, terkesan makan siang hratis dikategorikan sederhana dan ala kadarnya, dan kelompok sasaran programnya belum jelas kriterianya.

Program pemerintah yang dikategorikan gratis atau tidak berbayar, seperti BPJS, pembebasan biaya SPP atau UKT, pemberian beasiswa untuk studi, pelayanan kesehatan gratis, dan program lainnya, sudah diterapkan dalam berbagai bentuk. Namun, dalam implementasinya, ada beberapa layanan gratis yang kualitas pelayanannya tidak memadai atau hanya diberikan seadanya. Hal ini dapat terlihat dari perbedaan yang mencolok antara pelayanan gratis dan pelayanan berbayar, terutama dalam hal kualitas.

Hal serupa juga dikhawatirkan terjadi pada program makan siang gratis. Program ini sering kali dianggap hanya sekadar berjalan tanpa memperhatikan kualitas menu makanan yang disajikan. Akibatnya, tujuan untuk menyediakan makanan siang yang sehat dan bergizi tidak tercapai dengan maksimal. Jika program makan siang gratis tidak disertai dengan perhatian serius terhadap kualitas, maka manfaat yang diharapkan bagi penerima program pun bisa jadi tidak optimal.

Dampak Program?

Implementasi program makan siang gratis yang hanya dijalankan seadanya, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap pertumbuhan dan kesehatan siswa, berpotensi gagal atau tidak berhasil. Kegagalan ini tidak hanya terlihat dari aspek hasil program, tetapi juga dapat mengarah pada kegagalan tujuan tersembunyi di balik program tersebut, seperti pencitraan politik dan hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Bisa dibayangkan, jika program makan siang gratis yang seluruh biayanya dibebankan pada APBN dengan anggaran mencapai Rp71 triliun rupiah untuk tahun 2025, gagal mencapai target yang telah ditetapkan. Hal ini tentu akan sangat merugikan, baik dari segi penggunaan anggaran negara maupun dampaknya terhadap kesejahteraan dan kesehatan siswa yang menjadi sasaran program tersebut. Sebaliknya, jika program ini berhasil, bisa meningkatkan kualitas pendidikan dan mengurangi beban ekonomi keluarga. Namun, jika gagal, dapat memperburuk ketimpangan sosial dan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat.

Dalam perspektif kebijakan publik, untuk mengantisipasi kegagalan program tersebut, perlu mempertimbangkan kualitas program dan standar pelayanan. Misalnya, harus bisa dipastikan kualitas makanan yang disediakan sesuai dengan standar gizi yang baik untuk mendukung kesehatan dan pertumbuhan siswa. apakah bahan makanan yang digunakan cukup bergizi dan aman? Apakah program ini didukung dengan pengawasan yang memadai?

Dari aspek risiko, mengantisipasi potensi kegagalan kebijakan hampir dipastikan akan melibatkan monitoring dan evaluasi yang rutin terhadap program makan siang gratis. Namun, jika program ini lebih menonjolkan aspek pencitraan politik dan dijalankan seadanya, maka bukan tidak mungkin tujuan utama program—yaitu meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan siswa—tidak tercapai. Alih-alih memberikan dampak positif, program ini bisa berujung pada pemborosan anggaran dan merugikan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Keberhasilan program makan siang gratis sangat bergantung pada komitmen pemerintah untuk menjalankannya dengan serius, transparan, dan berbasis pada kebutuhan nyata siswa. Untuk itu, program ini harus dilaksanakan dengan memperhatikan kualitas, pengawasan yang ketat, dan evaluasi yang berkelanjutan.

Jika tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan siswa, maka semua pihak, mulai dari pemerintah, sekolah, hingga masyarakat, perlu bekerja sama untuk memastikan program ini tidak hanya sekadar pencitraan, tetapi memberikan manfaat yang nyata. Dengan demikian, program makan siang gratis dapat menjadi salah satu langkah nyata dalam mewujudkan pendidikan yang lebih baik dan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan.

Dr. Syarief Makhya,  dosen FISIP Universitas Lampung