Politik Nasi Goreng

Bagikan/Suka/Tweet:

Nezar Patria
@nezarpatria

Bahwa makanan punya efek politik bukan soal baru. Zaman dulu food diplomacy telah dipraktikan oleh para raja di pelbagai belahan dunia untuk menjamu para tamu kerajaan. Dari anggur terbaik sampai menu ajaib yang hanya mungkin diracik dan diciptakan oleh para empu masak di dapur istana.

Tradisi itu juga terus berlaku di dunia politik modern. Dari presiden sampai pemimpin partai politik memakai diplomasi makanan untuk mempererat hubungan antar kawan, atau mencairkan suasana tegang dengan lawan.

Megawati Sukarnoputri, pemimpin PDIP yang akrab kita panggil Mbak Mega, juga paham tentang food diplomacy ini. Tentu saja dia belajar dari ayahnya, Sukarno, putra sang fajar, proklamator, dan salah seorang pendiri republik. Saat masih remaja, Mbak Mega kerap ditugasi Bung Karno menjamu para tamu di istana. Saya kira Mbak Mega sangat terlatih untuk hal ini, dari sana dia juga belajar politik secara tak langsung. Menu andalannya adalah nasi goreng.

Memang nasi goreng adalah menu sederhana. Bumbu dasarnya tak sulit: minyak goreng, bawang putih, bawang merah, cabe, garam, kecap, dan boleh tambah terasi buat penyedap. Bisa pakai telur, ayam suwir, atau kombinasi dengan topping lainnya: teri asin, krupuk udang, dendeng, kadang juga potongan steak tempe atau daging. Tapi percayalah, nasi goreng yang enak adalah buatan rumahan, yang diolah dengan penuh kecintaan. Keseimbangan antar bumbu sangat dipengaruhi oleh perasaan si pembuatnya.

Pernah suatu kali, antropolog kondang James T Siegel, penulis buku klasik The Rope of God, melawat ke Aceh beberapa saat sesudah tsunami meremukkan daerah itu. Dia bertandang dari rumah ke rumah di berbagai kampung, dan mencicipi masakan para ibu di Aceh langsung dari dapur mereka. Siegel memang akrab dengan Aceh dan mengenal masakannya dengan baik.

Setelah menikmati sekian piring masakan Aceh dari berbagai dapur emak-emak di negeri sarat pergolakan itu, Siegel menyimpulkan: orang Aceh telah pulih dari bencana tsunami. “Harmoni bumbu masakan Aceh telah kembali. Saya merasakan kelezatan yang sama seperti dulu. Artinya para ibu, sebagai pusat kehidupan keluarga, telah kembali stabil jiwanya. Maka demikian juga masyarakat,” kata Siegel, seperti diceritakan kembali oleh muridnya, antropolog Reza Idria kepada saya beberapa waktu lalu.

Meminjam Siegel, nasi goreng buatan Megawati mungkin juga pancaran dari situasi hatinya, dan sebagai pemimpin politik dari partai besar dan teruji selama masa reformasi, nasi goreng itu tentu punya makna yang tak sederhana. Dia barangkali cerminan racikan kekuasaan yang mengitarinya, atau setidaknya, dinamika politik yang sedang bergeliat.

Tapi Megawati harus diakui punya kelebihan sendiri dalam soal menata hati dan tetap tenang dalam berbagai kondisi. Setidaknya dia tak pernah membawa emosinya ke atas panggung. Dia lebih suka diam, tapi keputusannya kadang mengejutkan lawan.

Pernah di masa akhir Orde Lama, Bung Karno menerima para aktivis mahasiswa yang kerap menentangnya. Para pemimpin demonstran yang rajin aksi melawan Bung Karno itu, suatu kali datang ke istana. Bung Karno menerima mereka dengan hangat, karena bagi dia para aktivis mahasiswa itu adalah anak-anaknya, anak bangsa.

Hari sudah siang, dan Bung Karno melihat wajah para tokoh demonstran itu lelah, mungkin karena lapar. Dia lalu meminta Megawati, putrinya yang masih remaja itu, membuat nasi goreng untuk menjamu makan siang para tokoh mahasiswa yang garang. Diperintah oleh ayahnya, Mega tentu tak bisa menolak. Dia pun pergi ke dapur dan memasak nasi goreng sesuai permintaan Bung Karno.

Tentu Mega tak senang. “Saya terus terang tidak rela. Saya setengah hati melakukan perintah itu, karena saya kesal. Kok saya harus memasakkan nasi goreng untuk orang-orang yang kerjanya mendemo, memprotes, dan memaki-maki ayah saya,” begitulah kira-kira ucapan Megawati, seperti pernah dituturkannya kepada aktivis mahasiswa 1990an.

Cerita itu saya kutip dari Satrio Arismunandar, seorang rekan jurnalis senior, yang pernah menulis kisah itu di blognya. Kata Mbak Mega, seperti dikutip si rekan jurnalis, dia memasak nasi goreng sambil menangis karena sedih. Anehnya, nasi goreng itu, menurut para tokoh demonstran lezat sekali rasanya. Tak jelas apakah karena memang mereka lapar, atau memang Mbak Mega cukup bisa menata hatinya sehingga rasa nasi gorengnya tetap prima.

Hari ini kita menyaksikan diplomasi makanan kembali dipentaskan oleh Mbak Mega. Tamunya kali ini adalah Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, calon presiden penantang Joko Widodo yang jadi jagoannya Mbak Mega. Prabowo dijamu nasi goreng, yang diracik khusus oleh Megawati, yang menurut Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dibuat dari bahan-bahan terbaik. “Bahkan bawangnya dipilih sendiri oleh Mbak Mega,” ujar Hasto.

Mbak Mega harus diakui adalah ratu politik paling penting di Indonesia hari ini, yang suka tak suka, menentukan akhir pergulatan kekuasaan. Hasil jamuan makan, seperti ramai diberitakan media, cukup menyejukkan. Prabowo bahkan memuji nasi goreng itu dan menyatakan sangat suka, sampai harus diingatkan Mega secara bercanda, agar Prabowo menjaga dietnya.

Nasi goreng Mega seperti menutup perseteruan politik yang memakan begitu banyak energi dan mengiris perasaan para anak bangsa. Syukurlah, kali ini Mega menyajikannya tanpa perlu bercucuran air mata seperti masa Orde Lama. Dan mungkin sekali, di luar jamuan itu, pasti ada airmata lain yang tumpah. Entah mereka bahagia atau kecewa, saya kira kedua hal itu terjadi tanpa nasi goreng tentu saja.***

Nezar Patria adalah Pemimpin Redaksi The Jakarta Post