Oleh Slamet Samsoerizal*
PERISTIWA menghebohkan terjadi. Putra Perdana, siswa kelas VII SMP 163 Pejaten, Jakarta Selatan dilaporkan tewas setelah terjatuh dari lantai 4 gedung sekolah. Kabarnya, remaja 12 tahun berinisial PP tersebut berniat menghindari razia telepon seluler (ponsel).
Kepala Urusan (Kaur) Humas Polres Jakarta Selatan, AKP Agus Minarto mengatakan kejadian tersebut terjadi di SMP 163, Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekitar pukul 09.30 WIB. “Siswa SMP 163 Pejaten jatuh dari lantai 4, Jumat 10 Oktober 2014 jam 09.30 WIB. TKP SMP 163 Jl. Empang 3 Dalam Kel. Pejaten Timur, Ps Minggu,” ujar Agus Minarto dalam keterangan tertulisnya.
Dia menjelaskan, awalnya staf kesiswaan dan guru pendamping (BP) tengah berkeliling kelas untuk memantau aktivitas belajar
mengajar. Namun sebelum saksi masuk ke ruang kelas VII-D, iba-tiba beberapa orang siswa melaporkan guru bahwa ada yang terjatuh dari Jendela kelas VII-D ke lantai bawah.
mengajar. Namun sebelum saksi masuk ke ruang kelas VII-D, iba-tiba beberapa orang siswa melaporkan guru bahwa ada yang terjatuh dari Jendela kelas VII-D ke lantai bawah.
Berita tersebut tentu membuat kita menjadi miris. Tragedi itu –terlepas dari takdir kematian– memberikan dua catatan bagi kita. Pertama, apakah sekolah membolehkan peserta didik (siswa) untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi bernama ponsel? Apalagi ketika pada tahun pelajaran 2014/2015 ini mengimplementasian Kurikulum 2013 pemerintah melalui Kemendikbud memberlakukan pada semua jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMA dan SMK. Pemanfaatan ponsel (terutama di kota-kota besar), sebagai salah satu media pembelajaran yang mudah bagi peserta didik adalah keniscayaan.
Ponsel canggih yang terakses internet bukan hal baru.Jika sekolah melarang para siswanya membawa ponsel ke sekolah, biasanya akan menuai kritik orang tua siswa. Ini disebabkan, mereka merasa jadi sulit memantau keberadaan putra-putrinya terutama ketika usai pulang sekolah. Kita pun paham, kebanyakan dari para orang tua di perkotaan adalah manusia super sibuk. Kedua orang tua siswa adalah pekerja dan berkarier baik di instansi pemerintah maupun swasta. Disamping itu, di zaman teknologi informasi
dan komunikasi canggih seperti sekarang, melarang siswa membawa ponsel ke sekolah bisa jadi dicap sebagai sekolah jadul bin primitif kolot.
dan komunikasi canggih seperti sekarang, melarang siswa membawa ponsel ke sekolah bisa jadi dicap sebagai sekolah jadul bin primitif kolot.
Konsekuensinya adalah mesti ada perilaku yang canggih pula dalam menyikapi keberadaan ponsel, bagi guru dan siswa. Kongkritnya: sama-sama paham ponsel adalah alat komunikasi yang dalam konteks pembelajaran dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran yang efektif.
Kedua, apakah pendidik (guru) juga siap dalam menyikapi
pemanfaatan ponsel di lingkungan sekolah baik ponsel sebagai alat komunikasi maupun media pembelajaran? Bukan hal yang mustahil, dibolehkan/tidaknya peserta didik membawa ponsel ke sekolah juga menjadi tugas tambahan guru.
pemanfaatan ponsel di lingkungan sekolah baik ponsel sebagai alat komunikasi maupun media pembelajaran? Bukan hal yang mustahil, dibolehkan/tidaknya peserta didik membawa ponsel ke sekolah juga menjadi tugas tambahan guru.
Misalnya ketika sedang berlangsung pembelajaran, siswa bukan menyimak atau aktif belajar malah asyik BBM-an, SMS-an, atau yang lebih jauh adalah mengakses situs porno. Ini berlangsung hingga ketika jam istirahat. Padahal, guru dapat pula memanfaatkan ponsel yang mereka miliki untuk berkomunikasi, terutama ketika pergantian jam pelajaran. Guru yang belum hadir di kelas lebih dari lima menit dapat ditelepon siswa. Daripada para siswa keluar kelas dan menjemput guru, efeknya malah jadi kurang elok, karena pada jam pelajaran anak-anak tidak berada di kelas.
Dari sisi lain, ketika memanfaatkan ponsel untuk mengakses sumber pembelajaran, banyak juga guru yang gaptek, sehingga sering menimbulkan salah paham. Sebagai contoh, ketika siswa membuka situs yang dimaksud sementara di laman yang ada terdapat sejumlah gambar atau foto seronok. Apakah guru mampu menyikapi hal tersebut secara bijak dan membimbing siswa agar browsing ke situs yang tepat. Ini masalah baru di jagad pendidikan kita.
Keterlibatan para siswa dalam memiliki akun jejaring media sosial seperti Twiter dan Facebook, juga dapat dimanfaatkan guru (juga wali kelas) untuk mempelajari pembahasan materi yang dibahas bahkan dijadikan sebagai ruang tugas. Contoh, para siswa ditugasi untuk mengamati penggunaan bahasa Indonesia di media social mulai Path hingga Facebook. Bisa pula guru bahasa Indonesia menugaskan siswa untuk mengunggah puisi ciptaan anak didiknya pada status akun facebook-nya.
Implementasi Kurikulum 2013, memang menuntut pembelajaran di kelas berubah pengondisiannya. Era guru paling hebat di kelas dengan satu model ceramah dan siswa dibuat menjadi penyimak yang baik sudah harus ditinggalkan. Dalam bahasa para teknokrat, siswa tidak lagi diberitahu tetapi siswa mencari tahu.
Mencari tahu dari materi yang sedang diajarkan pada saat pembelajaran berlangsung. Alur pembelajaran siswa di kelas dimulai dengan mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasi, dan terakhir mengomunikasikan pengetahuan baru yang diperoleh dengan belajar penemuan. Itu semua diniatkan sebagai pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik.
Dampak teknologi komunikasi dan informasi yang kian membanjir, selayaknya membuat kita canggih menyikapinya. Terlebih di dunia pendidikan. Segala sumber materi pembelajaran dapat diakses dengan begitu kaya. Maka, ketika guru menjelaskan mata pelajaran Prakarya tentang pemanfaatan barang bekas dan siswa browsing melalui ponsel, wow puluhan informasi mulai dari gambar, cara membuat sesuatu dari barang bekas hingga pemasaran didapatkan anak didik. Persoalannya, mampukah budaya untuk mencari tahu ini menjadi milik baru generasi yang mengenyam Kurikulum 2013? Itu mencakup dunia pendidikan kita secara menyeluruh. ***
* Peminat ihwal pendidikan