Esai  

Posisi Puisi, Posisi Esai

Bagikan/Suka/Tweet:

Maman S Mahayana*

Ketika jurnalistik berhadapan dengan tembok kekuasaan, sastra dapat digunakan sebagai saluran”. Begitu pesan Seno Gumira Ajidarma dalam buku antologi esainya, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997). Pesan itu juga sebagai bentuk pertanggungjawaban estetik atas sejumlah cerpennya yang berkisah tentang berbagai peristiwa aktual dan faktual. Secara cerdas, Seno menunjukkan posisi sastra yang bisa begitu lentur dalam menyampaikan kritik sosialnya. Maka, peristiwa sosial politik tentang petrus (Penembak Misterius, 1993) dan tragedi di Dili (Saksi Mata, 1994) yang tabu diberitakan sebagai laporan jurnalistik, dikemassajikan dalam bentuk cerpen yang asyik.

Begitulah, ketika kekuasaan melakukan pembungkaman atas kebenaran, sastra dengan caranya sendiri justru leluasa menyampaikannya, meski di sana bahasa denotatif disulap jadi konotatif. Tentu saja Ajidarma tak sendirian. Rendra, Taufiq Ismail, Pramoedya, dan sejumlah sastrawan lain adalah para pewarta yang memilih sastra sebagai medium ekspresi perlawanannya pada kebrengsekan. Fakta-fiksi dalam sastra seperti cuma dibatasi garis tipis. Itulah wilayah permainan sastrawan. Kini Denny JA, ilmuwan sosial dan penulis esai prolifik, menawarkan konsep puisi-esai, sebagaimana diniatkan dalam antologi Atas Nama Cinta (2012): sebuah judul yang sama dengan naskah drama Agus R Sarjono (2004). Di manakah konsepsi puisi-esai itu hendak ditempatkan?

Dalam pengantarnya, Denny menyebutkan kriteria puisi esai: (1) mengeksplor sisi batin, psikologi, dan sisi human interest pelaku; (2) dituangkan dalam larik dan bahasa yang diikhtiarkan puitik dan mudah dipahami; (3) tak hanya memotret pengalaman batin individu, tetapi juga konteks fakta sosialnya. Kehadiran catatan kaki dalam karangan menjadi sentral; dan (4) diupayakan tak hanya menyentuh hati pembaca/pemirsa, tetapi juga dicoba menyajikan data dan fakta sosial. Bagi sastra (yang baik) kriteria itu sudah seharusnya begitu; take for granted, meski data dan fakta menjadi fiksional, otonom, dan hanya berlaku dalam karya itu.

Ada lima peristiwa yang diangkat Denny, yaitu tragedi Mei (”Sapu Tangan Fang Yin”), musibah Ahmadiyah (”Romi dan Yuli”), petaka TKW (”Minah Tetap Dipancung”), perkawinan sejenis (”Cinta Terlarang”), dan kasih tak sampai karena perbedaan agama (”Bunga Kering Perpisahan”). Di sana ada 39 catatan kaki. Mencermati puisi-puisi itu, segera dapat dipahami kriteria yang diajukan Denny. Ada usaha sangat serius mengangkat fakta jadi puisi, meski dua puisi terakhir dalam sastra Indonesia bukanlah tema baru, seperti pernah diangkat Riantiarno (Cermin Merah, 2004) dan Ramadhan KH (Keluarga Permana, 1978).

Apanya yang esai jika puisi-puisi itu tidak berbeda dengan prosa liris Pengakuan Pariyem (1979) Linus Suryadi yang fenomenal? Jika kehadiran catatan kaki menjadi sentral, mengapa cuma 39 catatan kaki dari lima tema besar itu? Bahkan, enam catatan kaki pada ”Bunga Kering Perpisahan” terkesan laksana minyak dengan air; tak menyatu. Boleh jadi lantaran peristiwa Dewi-Albert tidak seheboh tiga peristiwa yang ditempatkan di awal. Jika Atas Nama Cinta termasuk puisi naratif, kita mudah saja menemukannya pada puisi-puisi Ajip Rosidi, Ramadhan KH, Rendra, Taufiq Ismail, atau Ridwan Saidi (Lagu Pesisiran, 2008) yang di sana-sini sengaja pula menyertakan catatan kaki.

Dalam khazanah sastra Sunda, pantun Lutung Kasarung atau Ciung Wanara dan sejumlah besar syair Melayu pada dasarnya adalah puisi naratif. Bahkan, pada 1890 Tan Teng Kie pernah membuat semacam laporan jurnalistik lewat tiga syair panjangnya. Salah satunya, peristiwa pembangunan jalan kereta api dari Cikarang-Kedung Gede, Karawang, berjudul Syair Djalanan Kreta Api (Bataviasche Oosterspoorweg dengan Personellnja bij gelegenheid van opening der lijn Tjikarang-Kedoeng Gede Bezongen oleh Tan Teng Kie). Di sana disertakan juga jadwal keberangkatan kereta api ”Djoeroesan Batawi Kedoeng Gede”. Jika Denny merasa langkahnya merupakan sesuatu yang baru dalam sastra Indonesia, oleh karena itu sangat mungkin menjadi genre atau paradigma baru, maka tawaran itu kesorean: sudah lama terjadi dalam tradisi perpuisian Indonesia. Mari kita coba tengok ke belakang.

Sastra dan seni niscaya selalu berada dalam ketegangan konvensi dan inovasi. Tarik-menarik tradisi dan eksperimentasi sebagai gerakan pembaruan yang menyangkut bentuk dan isi tiada henti timbul-tenggelam menandai perjalanannya. Ingat saja Muhammad Yamin yang menawarkan soneta untuk menolak syair dan pantun. Dengan semangat yang sama, Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan para penyair Pujangga Baru mengusung konsep Puisi Baru. Meski mereka berhasil meneguhkan isi dan bentuk baru dalam puisinya, jejak pantun dan syair masih sangat kentara. Pertanggungjawaban estetik yang dirumuskan STA dan esai-esai penyair Pujangga Baru gagal dilesapkan dalam puisi-puisi mereka lantaran spirit pantun dan syair tidak mudah begitu saja dibenamkan.

Konsep puisi baru penyair Pujangga Baru justru baru berhasil pada Chairil Anwar, meski ia tak merumuskan konsep estetiknya. Chairil lebih menekankan pada spirit, semangat, seperti disampaikan dalam esainya, ”Hopplaa!” Dikatakan, ”Pujangga Baru sebenarnya tidak membawa apa-apa dalam arti penetapan-penetapan kebudayaan. Sekarang: Hopplaa! Lompatan yang sejauhnya. Sesudah masa mendurhaka pada Kata kita lupa bahwa Kata adalah yang menjalar mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi pada dengan penghargaan, Mimpi Pengharapan, Cinta dan Dendam manusia. Kata ialah Kebenaran!!! Bahwa kata tidak membudak pada dua majikan, bahwa Kata ialah These sendiri!

Kredo Sutardji Calzoum Bachri pada dasarnya merupakan pertanggungjawaban estetik atas spiritnya mengembalikan kata pada mantra. Dikatakan Ignas Kleden, sebagai ”rencana kerja seorang penyair; sebagai suatu program, desain, dan bahkan tekad”. Langkah para sastrawan yang disebutkan tadi adalah fakta sejarah. Mereka selalu tergoda berada dalam ketegangan konvensi-inovasi. Tentu saja ketergodaan itu tak hadir seketika. Ada proses panjang kegelisahan untuk membangun saluran, estetika, dan paradigma baru. Dalam hal ini, tak berarti para sastrawan itu melalaikan fakta, menutup mata pada semangat zaman, atau abai pada gejolak kehidupan sosial politik. Segalanya justru berangkat dari fakta sosial dan sastra sekadar medium yang dipilihnya.

Tak ada karya sastra yang lahir dari ketiadaan. Mustahil pula sastra tanpa fakta. Sastra tak diturunkan malaikat dari langit, begitu Sapardi Djoko Damono berfatwa. Hakikat sastra yang fiksional tidak serta-merta merupakan kedustaan atau sekadar kebohongan. Ada kebenaran faktual. Lewat kreativitas fakta menjelma fiksi. Maka novel Wagahai wa Neko de Aru—Natsume Soseki(1905, I’m a Cat, 1972), Animal Farm—George Orwell (1945), Tikus Rahmat—Hassan Ibrahim (1963), dan Angin Musim—Mahbub Djunaedi (1986) adalah kisah para binatang yang merepresentasikan kehidupan sosial yang brengsek pada zamannya.

Puisi pamflet atau puisi gelap yang jumpalitan sekalipun berangkat dari fakta. Tetapi, ada fakta yang disembunyikan dalam lorong gelap, ada yang terang benderang, ada pula yang sekadar memberi sinyal untuk memasuki ruang puisi. Puisi-puisi dalam Atas Nama Cinta, hakikatnya puisi terang benderang. Maka, ada atau tidak ada catatan kaki, tak mengubah puisi itu jadi esai, bahkan tidak juga membuat pembaca mengalami kesulitan memahami isinya. Catatan kaki sekadar tambahan informasi dan tidak menjelma menjadi esai tersendiri.

Lalu bagaimana dengan catatan Ignas Kleden, Sapardi Djoko Damono, dan Sutardji Calzoum Bachri dalam antologi itu? Apakah itu sebagai stempel legitimasi tentang konsep puisi-esai? Catatan mereka adalah bentuk apresiasi yang tentu saja berbeda dengan legitimasi. Bahkan, tiga alinea terakhir catatan Sutardji menegaskan toleransinya pada siapa pun yang punya niat baik menyemarakkan khazanah perpuisian Indonesia. Dalam konteks itu, sastra Indonesia perlu memberi apresiasi atas sumbangan yang ditawarkan Denny JA.

* Pengajar FIB-UI; Dosen Tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul

Tulisan ini pernah dimuat inspirasi.co