Opini  

Potensi Masalah di Balik Perbedaan Pandangan Bawaslu Lampung dan Bawaslu Lampura

Bagikan/Suka/Tweet:

Feaby Handana

Bawaslu Provinsi Lampung dan Bawaslu Lampung Utara tidak satu suara dalam menyikapi kebijakan kepala daerah terkait pemilu. Utamanya soal larangan kepala daerah untuk mengganti pejabat enam bulan sebelum penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan.

Larangan mengenal hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Adapun pasal yang mengaturnya ialah pasal 71 ayat 2.

Bawaslu Lampung melalui Koordinator Divisi Hukum, Pendidikan, dan Pelatihan, Suheri,  secara tegas menyampaikan bahwa penggantian pejabat yang tidak sesuai dengan pasal tersebut tidak dapat dibenarkan. Menurutnya. ada sanksi tegas di dalamnya jika memang larangan itu masih tetap tidak dipedulikan. Kepala daerah atau wakil kepala daerah bisa dibatalkan sebagai calon oleh pihak KPU sebagaimana yang diatur dalam aturan yang ada.

Menariknya, Bawaslu Lampung Utara melalui Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Pemilunya, Dedi Suardi, malah ragu untuk membenarkan adanya larangan tersebut. Dalil yang digunakannya ialah tahapan Pilkada serentak tahun 2024 masih belum dimulai. Ia pun mengaku, akan mempelajari terlebih dulu aturan yang memuat larangan tersebut.

Perbedaan pandangan atau pendapat terhadap suatu hal sebenarnya sah-sah saja. Bahkan, memang seharusnya begitu. Dengan demikian, suatu kesimpulan yang akan dihasilkan mungkin akan benar-benar teruji kebenarannya. Namun, untuk urusan kali ini, hal tersebut eloknya dapat dihindari.

Kenapa begitu? Sebab, perbedaan pandangan ini menyimpan potensi persoalan serius di dalamnya. Publik dapat secara bebas menerjemahkannya sesuai dengan kemampuan daya pikirnya masing-masing. Reaksinya mungkin bisa positif atau malah menjadi negatif.

Publik akan menilai bahwa Bawaslu Lampung dan Bawaslu Lampung Utara tidak kompak. Tidak seirama. Padahal, secara hierarki, Bawaslu kabupaten merupakan bagian dari Bawaslu provinsi dan pusat. Artinya, keputusan atau pernyataan eloknya sama. Sebisa mungkin tak boleh ada ruang perbedaan antarmereka. Dengan demikian, potensi kerancuan yang akan menimbulkan kegaduhan dapat dicegah untuk terjadi.

Kerancuan yang berujung pada kegaduhan hanya akan menimbulkan keraguan di publik. Mereka tentunya akan kebingungan untuk memilih pernyataan mana yang dapat mereka pedomani dan begitu juga sebaliknya.

Ujung-ujungnya, bisa jadi setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pihak Bawaslu di provinsi atau daerah akan diragukan oleh publik. Kalau sudah bicara mengenai ketidakpercayaan, akan sulit rasanya untuk mengembalikannya secara utuh. Ibarat sebuah luka, meskipun sembuh, bekasnya pasti masih tetap tertinggal.

Kendati demikian, dalam persoalan ini, publik juga hendaknya tak boleh terlalu aneh-aneh dalam berpikir. Pemafhuman harus diberikan pada Bawaslu Lampung Utara. Bahkan, mungkin layak diapresiasi karena telah secara kesatria mengakui kekurangannya.

Kekurangan yang akan ditutupinya dengan mempelajari aturan yang berlaku terkait persoalan tersebut. Namun, Bawaslu Lampung Utara juga tak boleh terlalu berleha-leha untuk itu. Dengan demikian, ketika nantinya suatu persoalan datang, formula tepat nan bijaksana telah mereka siapkan untu mengatasinya.

* Jurnalis Teraslampung.com