Sulastri*
Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pemenuhan kebutuhan daging
sapi masyarakat Indonesia antara lain daging sapi dan kerbau termasuk
kedalam golongan high income elastic, perdagangan sapi potong
di dalam negeri masih mengalami gangguan dan biaya transportasi yang
sangat mahal, 97% produksi daging sapi dilakukan dalam skala usaha kecil
(skala rumah tangga 1 – 3 ekor per rumah tangga).
Tujuan pemeliharaan
sapi bukan semata-mata untuk memproduksi daging (sebagai sumber tenaga
dan tabungan), budidaya dan penyediaan pakan dilakukan secara
tradisional, sebaran populasi dan pertumbuhan populasi yang tidak merata
(populasi tertinggi terkonsentrasi di wilayah padat penduduk). Hal
tersebut mengakibatkan masih rendahnya konsumsi daging sapi masyarakat
Indonesia yang baru mencapai sekitar 2 kg/kapita/tahun. Jumlah daging
sapi yang dibutuhkan masyarakat Indonesia setiap tahun yang berjumlah
239,7 juta jiwa mencapai 479,4 ribu ton (Soedjana et al., 2013).
Rendahnya
konsumsi daging sapi oleh masyarakat Indonesia semakin diperparah
seiring dengan meningkatnya harga daging sapi di pasaran pada 2015.
Harga daging sapi di Kota Bandarlampung dan daerah-daerah lain di
Provinsi Lampung pada Januari 2015 yang semula Rp 70.000-75.000 per
kilogram meningkat menjadi Rp 120 ribu/kg. Hal tersebut diduga
disebabkan oleh terbatasnya stok sapi di Lampung.
Menipisnya stok sapi
tersebut disebabkan oleh semakin rendahnya jumlah sapi lokal dan sapi
impor yang dipasarkan. Terbatasnya sapi lokal disebabkan oleh kebijakan
pengetatan impor sapi sejak 2012 sehingga terjadi pengurasan terhadap
populasi sapi lokal. Terbatasnya sapi impor disebabkan sapi yang diimpor
pada Desember 2014 masih belum cukup umur untuk dipasarkan. Sapi-sapi
impor baru akan dipasarkan bulan Maret 2015 namun masih dengan harga
jual yang tinggi akibat adanya peningkatan kurs dolar AS (Sinaro, 2015).
Pengurasan
populasi sapi lokal sebenarnya tidak terjadi di Provinsi Lampung pada
2014. Populasi sapi potong pada 2014 sebanyak 723.394 ekor (274.673 sapi
jantan, 448.721 sapi betina) sedangkan pada 2013 hanya 573.483 ekor
(217.733 sapi jantan, 355.750 sapi betina) (Sunaryo, 2014).
Peningkatan
populasi sapi di Lampung tersebut mencerminkan potensi sumber daya
lokal yang tinggi dan merupakan faktor pendukung kecukupan konsumsi
daging masyarakat Indonesia. Fokus penyediaan bibit dalam negeri
diutamakan berasal dari sumber daya lokal. Ketersediaan jumlah bibit
sapi di suatu wilayah perlu dievaluasi berdasarkan struktur populasi,
pertumbuhan populasi secara alamiah, mutasi masuk dan keluar sapi
sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu wilayah mengalami kelebihan
(surplus) sapi atau kekurangan (minus ) sapi. Wilayah yang mengalami
surplus sapi menunjukkan bahwa wilayah tersebut merupakan sumber bibit
sapi. Wilayah yang mampu mengeluarkan ternak tanpa terjadi pengurasan
ternak dinyatakan sebagai produsen sapi (Sumadi et al., 2004).
Informasi
tentang populasi sapi dan kambing yang hanya menampilkan jumlah ternak
saja belum dapat mencerminkan potensi wilayah dalam pembibitan ternak
sapi maupun kambing. Potensi wilayah dalam menyediakan bibit dan upaya
pengembangan usaha pembibitan ternak baru dapat diidentifikasi apabila
terdapat informasi yang berupa struktur populasi dan potensi reproduksi
ternak.
Analisis terhadap potensi wilayah untuk pengembangan dan
pembibitan ternak dapat digunakan sebagai pedoman bagi Pemerintah dalam
menentukan kebijakan terhadap pelestarian sumberdaya ternak. Analisis
pendapatan usaha pembibitan ternak juga diperlukan sebagai informasi
bagi pelaku usaha tani peternakan tentang gambaran keuntungan yang dapat
diperoleh dari usaha tersebut.
Berdasarkan permasalahan tersebut, makalah ini ditulis dengan tujuan untuk membahas:
Faktor-Faktor Pendukung
Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Tengah, NTT, NTB, Lampung
dan Bali merupakan wilayah dengan pola usaha pembibitan yang berjalan
dengan baik. Hal tersebut terlihat pada proporsi induk yang tinggi
(>40%) yang berarti bahwa wilayah tersebut mempertahankan populasi
induk, khususnya induk produktif .
Wilayah dengan proporsi betina
dewasa yang rendah menunjukkan bahwa wilayah tersebut tidak hanya
melakukan usaha pembibitan namun juga sudah mengembangkan pola usaha
penggemukan sehingga struktur populasi ternak jantan lebih banyak.
Wilayah yang disebutkan terakhir pada umumnya strategis terhadap pasar
(konsumen), antara lain di Jawa Barat, Banten, Lampung, dan Jawa Timur.
*Dr. Ir. Sulastri, Pengajar Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
**Artikel ini pernah dimuat di majalah dan website Disnakkeswan Lampung