Opini  

Potensi Proyek Pembangunan Ibukota Negara Mangkrak

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro saat mengikuti Rapat Terbatas, di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4)
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro saat mengikuti Rapat Terbatas, di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh : Tim DKI Lampung

Usai rapat terbatas 29 April 2019 yang menghasilkan sebuah keputusan bahwa ibukota negara dipindah keluar Pulau Jawa, Presiden Joko Widodo memerintahkan Bappenas untuk melakukan kajian dan kriteria tentang perpindahan ibukota negara.

Ibukota akan difungsikan sebagai ibukota pemerintahan dan pelayanan publik. Dari sisi daerah yang aman dari kebencanaan adalah tiga wilayah, yaitu Kalimantan, Sumatera bagian timur, dan  Sulawesi bagian barat.

Dalam beberapa kesempatan Bappenas menyebut setidaknya ada tujuh  kriteria dalam memindahkan ibukota negara: pertama, lokasinya strategis, secara geografis berada di tengah wilayah Indonesia. Kedua, tersedia lahan luas milik pemerintah/BUMN Perkebunan untuk mengurangi biaya investasi.

Ketiga, lahannya harus bebas bencana gempa bumi, gunung berapi, tsunami, banjir, erosi, serta kebakaran hutan dan lahan gambut. Keempat, tersedia sumber daya air cukup dan bebas pencemaran lingkungan.

Kelima, dekat dengan kota existing yang sudah berkembang untuk efisiensi investasi awal infrastruktur yang meliputi, akses mobilitas atau logistik seperti bandara, pelabuhan dan jalan.

Keenam, ketersediaan pelabuhan laut dalam yang sangat penting untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim melalui konektivitas tol laut antarpulau, tingkat layanan air minum, sanitasi, listrik, dan jaringan komunikasi yang memadai untuk dikembangkan.

Ketujuh, potensi konflik sosial rendah dan memiliki budaya terbuka terhadap pendatang dan terakhir ke tujuh memenuhi perimeter pertahanan dan keamanan.

Hingga saat ini, Kementerian PPN/Bappenas masih dalam proses merampungkan kajian untuk menentukan lokasi pasti pemindahan ibu kota negara.

Dari tujuh kriteria tersebut Bappenas pun memaparkan timeline 2020 membereskan persoalan tata aturan dan persiapan design masterplan perpindahan ibukota, 2021 mulai pembangunan ibukota hingga slesai 2024 bisa di pakai.

Dari semua kriteria, timeline dan hal lain yang jadi ukuran maka muara perpindahan ibukota adalah bagaimana kebermanfaatan ibukota baru sebagai pusat pemerintahan dan pelayanan publik bisa tercapai dengan baik.

Akhirnya perpindahan ibukota negara “semakin” mengerucut kepada pulau kalimantan (dari tiga awal rujukan daerah bebas bencana gempa-tsunami adalah Sumatera bagian timur, Kalimantan, Sulawesi bagian barat) meski belum jelas daerah mana di Kalimantan.

Bila secara linear Kalimantan dipilih sebagai ibukota negara, memakai azas kebermanfaatan atas timeline yang disusun Bappenas, maka sebaiknya juga harus ada pertimbangan kajian yang lebih dalam tentang pelaksanaan pembangunan ibukota, proses perpindahannya itu sendiri jika kalimantan dipilih jadi ibukota. Sebelum pembahasan lebih dalam coba kita bedah kalimantan dari sisi tujuh kriteria oleh Bappenas.

Secara umum Kalimantan diuntungkan oleh posisi “di tengah serta ketersediaan lahan” dari semua kriteria yang di tetapkan bappenas dan juga persoalan kesejarahan. Meskipun  soal ketengahan bisa dibantah bahwa secara geografi tengah wilayah indonesia sebenarnya ada di daerah Mamuju.

Dan secara sejarah pun meski tahun 1957 presiden soekarno sempat menyatakan bahwa akan menjadikan Palangkaraya sebagai ibukota indonesia tapi semua bisa selesai dengan disodorkan UU No 10 tahun 1964 yang menyatakan bahwa ibukota negara tetap DKI Jakarta.

Soal ketersediaan lahan yang “maha luas” itu pun sebenarnya negara bisa dapatkan di daerah lain yang jika ingin membangun ibukota negara sebagai pusat pemerintahan dan layanan publik, misalnya sumatera bagian timur.

Karena secara detail negara sebenarnya berkuasa atas lahan hutan seluas 134juta ha lahan hutan seluruh Indonesia dengan berbagai jenis hutan yang ada, tinggal negara memilih dengan luasan kebutuhan 30 ribu – 40 ribu hektate lahan yang dibutuhkan.

Persoalan ketersediaan lahan pun jika terkait untuk mengurangi biaya pembangunan tapi soal costing ini harus dikaitkan pula dengan kriteria kebencanaan karhutla, air bersih, konektivitas dan pertahananan negara. Yang akan sangat jadi faktor variabel cost jika ibukota di Kalimantan sebab negara harus menyediakan itu.

Dari penetapan kriteria ini sebenarnya negara cenderung mengacu pada efisiensi dan efektifitas dalam pembiayaan sebab dari 466trilyun rupiah pembebanan pembiayan hanya sekitar 30trilyun dari APBN. Biaya lainnya oleh skema pembiayaan bersama pihak swasta sehingga negara bisa berhemat dan mendapatkan PNBP dari proses ini.

Mari kita periksa satu per satu dari kriteria IKN jika di kalimantan apakah ada potensi mangkrak.

Okeh jika kita asumsikan bahwa kalimantan “di tengah”. Namunm soal ketersediaan lahan di Kalimantan negara hanya memiliki kawasan hutan dengan berbagai jenis. Selebihnya lahan di Kalimantan banyak dikuasai oleh konglomet yang posisinya terkadang mengelilingi keberadaan lahan negara/kawasan hutan tersebut. Tentu secara akses ini membutuhkan koordinasi khusus dengan pemilik lahan/ijin dari konglomerasi yang ada ini potensi menghambat.

Penguasaan lahan oleh konglomerasi di Kalimantan sudah berlangsung lama dan dalam beberapa kasus telah menjadi penyebab terhambatnya proyek strategis nasional.  Selain itu, hampir seluruh lahan di kalimantan adalah lahan yang potensi karhutla nya tinggi, cadangan karbon dan paru paru dunia yang sudah di ratifikasi oleh indonesia.

Bayangkan bagaimana proses pembangunan dan pelayanan publik jadi terhambat karena bencana kebakaran hutan lahan.

Isu  lingkungan di Kalimantan akan menjadi kendala tersendiri terutama ketersediaan air bersih akibat luasnya ekspansi kebun sawit dan  tambang. Hal ini tidak memberikan kesejahteraan apa pun secara luas bagi rakyat Kalimantan selama bertahun tahun.

Terbukti bahwa pulau Kalimantan hanya memberikan kontribusi 8,26% dari seluruh PDB nasional kita (laporan BPS MEI2019). Kondisi ini semakin membantah apakah keberadaan semua potensi ekonomi di kalimantan dilakukan secara terkelola dengan baik dalam mendorong PDB nasional.

Persoalan homoginitas sosial masyarakat juga menjadi persoalan tersendiri sehingga butuh adaptasi asimilasi karena adanya  potensi kedatangan penduduk baru dalam proses pekerjaan dan perpindahan sumberdaya manusia.

Ketersediaan sumberdaya manusia di Kalimantan untuk mendukung percepatan pembangunan ibukota juga akan menjadi kendala tersendiri secara biaya. Sebab,  pembangunan skala besar tetap harus mengirim SDM pekerja dari luar Kalimantan.

Dalam kriteria konektivitas sumber material dan mobilitasnya dalam masa pekerjaan, hal itu setelah jadi ibukota menjadi persoalan tersendiri. Sebab, sudah jadi rahasia umum hampir semua material pendukung harus didatangkan dari luar Kalimantan. Tentu ini akan memakan waktu serta biaya pelaksanaan pembangunan ibukota nantinya.

Kita ambil sampel bagaimana proyek proyek strategis nasional yang ada di Kalimantan secara umum melebihi target waktu yang ditetapkan. Lihat kembali bagaimana durasi pembangunan sejak masa MP3EI sampai berganti presiden proses pembangunannya masih ada yang berlangsung misalnya jalan tol Balikpapan – Samarinda, proyek rel kereta api bahkan belum berjalan. Sebab, masalah yang menjadi hambatan adalah persoalan ketersediaan bahan material pendukung, mobilisasi logistik, juga terkait perizinan yang beririsan dengan ijin lahan dari para konglomerat pemilik izin lahan.

Persoalan ini akan membuat belanja modal (biaya) yang sudah ditetapkan akan sangat variatif karena faktor ketersediaan bahan material pendukung, mobilisasi logistik, sumberdaya manusia bisa mengganggu kelancaran proses pembangunan.

Kita bisa berkaca soal konektivitas ini pada pembangunan bandara kertajati. Konektivitas nya blm terbangun tapi dipaksakan, sehingga ekosistem industri penerbangan blm mampu menjawab dan menggunakan secara baik manfaat dari Bandara Kertajati yang harusnya menghidupi daerah sekitarnya.

Tentu dengan kondisi ekonomi global yang tahun depan akan melambat dan posisi neraca pembayaran kita yang masih defisit, maka kontribusi swasta yang bisa mendukung pembangunan ibukota baru sangat di harapkan dengan beberapa langkah skema pembiayaan, KPBU, PINA, PPP namun tentunya swasta atau BUMN akan berhitung detail soal pembangunan yang disesuaikan dengan DED dari pemerintah serta faktor yang sangat variabel on locus kalimantan.

Jangan sampai kendala hambatan yang membuat tujuan perpindahan ibukota sebagai pusat pemerintahan dan pelayanan publik malah menjadi mangkrak tidak bertuan.

Melihat beberapa potensi mangkrak ini, maka Bappenas harus berani membuat perpindahan ini jadi uji publik terbuka rasional objektif dengan semangat indonesia maju nawacita. Pada saat bersamaan tidak membebani terlampau berat pihak swasta/BUMN yang sebagian besar dana pembangunan dari mereka. Sebab,  negara hanya menopang 30trilyun dari total Rp466 triliun alokasi rencana biaya perpindahan pembangunan ibukota negara.

Lalu apa yang tepat yang harus dilakukan kepada Lalimantan dalam menopang kemajuan indonesia secara umum dan penduduk kalimantan secara khusus?

Revitalisasi Indonesia Sentris

Perpindahan ibukota negara ke Kalimantan dalam jangka panjang tidak akan merubah kondisi jika tidak dilakukan perubahan konsep revitalisasi khusus untuk kalimantan. Issue deforestrisasi, posisi geostrategis, kekayaan sumberdaya alam harus menempatkan kalimantan sebagai pusat industri ketahanan energi dan pusat pertahanan negara.

Persoalan lingkungan yang di sebabkan oleh keberadaan perkebunan dan tambang harus segera diaudit dan tegaskan penegakan hukumnya. Kemudian mendorong terciptanya industrialisasi downstream produk hilir yang masif di Kalimantan. Namun, tidak melupakan posisi Kalimantan yang berbatasan dengan laut China Selatan, dua negara commonwealth, dekat dengan Samudra Pasifik. Maka,  semua sumberdaya  pertahanan dipusatkan di Kalimantan yang juga berposisi “di tengah” nusantara.

Perpindahan ibukota negara hanya untuk mengurangi beban Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan dan pelayanan publik tanpa menghilangkan koneksivitas dengan kota pusat ekonomi sebelumnya. Konsep ini berbasis manusia yang melaksanakan: jika terlampau jauh dari pusat perekonomian sebelumnya dikhawatirkan ibukota baru kehilangan makna dan azas kebermanfaatan.

Sebab itu, sebelum penetapan, pelaksanaan pembangunan dan perpindahannya terjadi, kiranya pemerintah dan Bappenas harus mendorong uji publik secara terbuka agar rasional objektif dalam menentukan pilihan.

Pelayanan publik bagi rakyat Indonesia harus dekat dengan rakyat Indonesia bukan karena hanya posisi di tengah ibukota baru terkesan dipaksakan. Hal ini tentu akan melahirkan masalah baru sebab secara biaya yang dibutuhkan tidak sedikit untuk menjadikan sebuah daerah sebagai ibukota baru yang jadi teras martabat bangsa negara ini.***