Oyos Saroso H.N.
Kita baru saja menikmati kelucuan mutakhir: Polda Sumatera Selatan kena kejutan lelucon atau prank (seolah-olah akan) mendapatkan uang Rp2 triliun dari keluarga almarhum Akidi Tio. Banyak orang marah dengan lelucon yang tidak lucu itu. Tapi sebenarnya di balik ketidaklucuan itu, justru terdapat kelucuan. Ialah ketika marah-marah tiada juntrungan. Marah karena kecewa, itu biasa. Wajar. Itu pertanda ‘metabolisme’ kita masih normal.
Menjadi tidak normal ketika menyeret-nyeret kasus prank itu ke wilayah lain, misalnya ke politik. Dan itulah yang terjadi dalam heboh sumbangan bohong Rp2 triliun. Ya, di sela-sela informasi yang berseliweran perihal sumbangan Rp2 triliun dari keluarga mendiang Akidi Tio untuk penanganan Covid-19 di Sumatera Selatan, tiba-tiba saja muncul saling cibir dan saling sindir sindir para pegiat media sosial yang teridentifikasi sebagai anggota kelompok kadrun (konon akronim kadal gurun) dan cebong.
Kelompok kadrun diduga kuat adalah kelompok yang sama atau setidaknya kurang lebih sama dengan kelompok kampret. Nama binatang yang diadopsi untuk mengidentifikasi kelompok pendukung dua kubu pada Pilpres 2014 dan 2019 itu rupanya berkecambah di mana-mana. Mereka eksis di segala lini, musim, dan cuaca.
Soal keanehan munculnya “pertarungan” antara kadrun dan cebong dalam hiruk pikuk sumbangan Rp2 triliun yang terbukti tak bisa dicairkan itu, mungkin tak perlu dibahas. Selain akan melelahkan, membahas kadrun dan cebong hanya akan melelahkan. Apa lagi, kalau kita apes, bisa-bisa kita dicap sebagai kadrun atau kecebong. Kalau saya sampai dicap sebagai kadrun atau kecebong, jelas itu penghinaan besar. Sebab, ketika dilahirkan ibu saya lebih dari setengah abad yang lalu saya benar-benar manusia. Anak manusia. Bukan anak kadal, anak kelelawar, atau anak katak.
****
Lelucon yang mengejutkan dalam bahasa media sosial sering disebut prank. Ya, prank (diucapkan ‘preng’) berasal dari bahasa Inggris yang berarti lelucon. Dalam khasanah ‘permedosan’ prank biasanya berupa kejutan. Namun, entah kenapa, dalam dunia medsos di Indonesia prank sering diartikan sebagai tipuan. Mungkin karena banyaknya materi prank yang dimaksudkan untuk melucu tetapi substansinya adalah menipu, baik menipu untuk tujuan hiburan atau sekadar main lucu-lucuan atau menipu dengan maksud menghina atau memang kriminal.
Di Indonesia, prank biasa dilakukan oleh pemilik kanal Youtube untuk menarik orang agar mengeklik video hasil prank sehingga meraup untuk meraup dolar AS. Prank yang pernah membuat heboh misalnya yang dilakukan dua remaja di Bandung terhadap waria. Prank berupa pemberian kado sembako yang isinya ternyata sampah itu akhirnya menjadi masalah hukum.
Kapan kita marah kena prank dan kapan kita tak perlu marah? Jawabannya relatif. Tergantung siapa yang kita beri pertanyaan. Namun, pastinya, kalau lelucon itu sejak awalnya memang sudah diniatkan untuk menghina tentu orang atau lembaga yang jadi sasaran prank akan marah.
Untungnya kita ini warga negara Indonesia. Yakni warga negara yang konon dari sononya sudah pemaaf, berakhlak mulia, tepa selira, penuh tenggang rasa. Karena terlalu pemaafnya, kena prank tipuan pun senang-senang saja. Bahkan, kita bisa tertawa tergelak-gelak karena mendapatkan prank yang menipu. Ada prank tipuan lima tahunan, ada pula prank tipuan setiap hari alias prank sepanjang masa.
Prank lima tahunan baru saja kita nikmati, dan mungkin sampai sekarang masih bisa kita nikmati: sejumlah baliho besar bergambar tokoh politik dengan senyum manis menatap tahun 2024 dipasang di pinggir jalan utama sejumlah kota. Kita tahu 2024 masih tiga tahun lalu, tetapi para politikus itu sudah mengajak kita menyongsong tahun 2024 alias tahun Pilpres dan Pemilu Legislatif bersama mereka. Seolah-olah mereka mengajak kita untuk bersama dalam barisannya untuk menyongsong masa depan yang gilang gemilang. Mereka memposisikan sebagai “Sang Pembawa Harapan”.
Mereka tidak berpikir bahwa pada masa pandemi Covid-19 ini banyak warga yang termehek-mehek untuk sekadar bertahan hidup. Anak-anak perlu melanjutkan sekolah, penghasilan berkurang bahwan mungkin tak ada, baru saja terkena PHK, pencari nafkah utama baru saja meninggal karena Covid-19, kesedihan masih membekas. Dalam suasana seperti itu tiba-tiba bermunculan orang-orang gagah dan cantik nampang di baliho dengan memberi senyuman. Jangankan cuma seribu baliho, 200 juta baliho bergambar tokoh saat ini tidak ada gunanya. Akan lebih berguna bagi rakyat jika uang untuk membuat atau menyewa baliho itu dipakai untuk membantu warga yang sedang melakukan isolasi mandiriu atau warga yang terdampak pandemi Covid-19.
Akan lebih mulia jika para politikus nan tajir itu menyisihkan sebagian hartanya untuk menyelamatkan perekonomian rakyat. Tidak perlu jauh-jauh, bisa dimulai dengan menyelamatkan perekomian orang-orang yang dulu memilihnya pada pemilu. Ini saatnya politikus membuktikan janjinya lima tahun lalu, bukan pamer foto dan memberikan harapan (palsu) untuk 2024. Tahun 2024 masih jauh!
Jadi apa artinya baliho besar bergambar tokoh yang mengajak rakyat menyongsong 2024? Gombal! Cara itu sudah biasa dilakukan para politikus setiap lima tahun sekali. Diulang-ulang terus dengan hasil entah. Kalau mereka berhasil, maka mereka mulia, berlimpah harta, bertambah kekuatan kekuasaannya. Bagaimana nasib rakyat kecil yang selama ini jadi objek? Mereka tetap melata. Rakyat kecil tetap serupa makhluk melata: hidupnya tetap susah. Lebih parahnya lagi: sudah susah ditekan sana-sana pula, tak jarang mendapatkan ancaman. Dari soal iuran (pajak) yang mesti dibayar, hingga masalah bantuan sosial yang tidak sampai atau disunat.
Untungnya kita bangsa pemaaf. Makanya, diberi prank tipuan berkali-kali pun kita masih bisa tertawa-tawa dan lima tahun kemudian masih berduyun-duyun ke tempat pemungutan suara. Kita cukup senang hanya dengan diberi selembar sarung, sehelai mukena, dan selembar rupiah lima puluh ribuan.