TERASLAMPUNG.COM — Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly akhirnya meminta maaf kepada warga Tanjung Priok, Rabu, 22 Januari 2020. Ia meminta maaf setelah didemo oleh warga Tanjung Priok, Jakarta Utara, karena menggeneralisir kawasan kumuh di Priok sebagai daerah kriminal.
Yasonna mengatakan tak ada sedikit pun niat menyinggung perasaan warga Tanjung Priok terkait pernyataannya.
“Bahwa kemudian ternyata itu berkembang dengan penafsiran yang berbeda di media massa dan publik luas sehingga saudara-saudaraku merasa tersinggung, maka saya menyampaikan permohonan maaf. Akan tetapi sekali lagi ingin saya sampaikan saya sedikit pun tidak punya maksud itu,” kata Yasonna dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta Selatan, Rabu (22/1/2020).
Permohonan maaf Yasonna secara tertulis juga tersebar di dunia maya.
Sebelumnya, pada Rabu (22/1/2020) sejumlah warga Tanjung Priok berunjuk rasa di depan kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) terkait pernyataan ‘kriminal di Priok’ yang dilontarkan Yasonna Laoly.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu sebelumnya berbicara soal kriminalitas yang dihubungkan dengan daerah kumuh di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
“Itu sebabnya kejahatan lebih banyak terjadi di daerah-daerah miskin. Slum areas. Bukan di Menteng. Anak-anak Menteng tidak…. Tapi coba pergi ke Tanjung Priok… di situ ada kriminal. Lahir dari kemiskinan,” kata Yasonna.
Stigma dan Sesat Pikir
Berdasarkan ungkapan yang dilontarkan Yosonna Laoly seperti dikutip di atas, bisa dikatakan bahwa Yasonna Laoly telah mengembangkan cap atau stigma buruk tentang Tanjung Priok. Runyamnya, stigma itu dilontarkan sembari memberi stigma lain, yaitu Menteng sebagai “daerah yang baik” dan “tanpa kejahatan”.
Tanjung Priok dikontraskan dengan Menteng. Tanjung Priok dicap sebagai daerah (berpotensi) banyak kejahatan dan Menteng daerah tanpa kejahatan. Inilah model penarikan kesimpulan yang gegabah akibat sesat pikir.
Dalam ilmu logika, sesat pikir Yasonna bisa masuk dua kategori. Yaitu fallacy of dramatic instance dan non causa pro causa . Fallacy of dramatic instance adalah kecenderungan untuk melakukan analisis masalah sosial dengan menggunakan satu-dua kasus saja untuk mendukung argumen yang bersifat umum. Misalnya, kemarin ada pencuri ditangkap di Tanjung Priok. Pelaku ternyata berasal dari warga kampung kumuh dari keluarga kurang mampu di wilayah Priok. Karena ada fakta bahwa banyak kawasan kumuh dan miskin di Priok (misalnya), lalu disimpulkan bahwa banyak kejahatan di Priok.
Sedangkan non causa pro causa adalah sesat pikir yang terjadi ketika terjadi kekeliruan penarikan kesimpulan berdasarkan sebab-akibat. Sesat pikir jenis ini biasanya disebabkan kekeliruan dalam menilai satu sebab sebagai penyebab sesungguhnya suatu kejadian berdasarkan dua peristiwa yang terjadi secara berurutan. Misalnya: penjahat yang kemarin ditangkap adalah pemuda pengangguran yang miskin. Kemarinnya lagi juga ada seorang pencopet ditangkap polisi. Pencopet itu berasal dari keluarga miskin. Lalu disimpulkan bahwa pelaku kejahatan umumnya adalah kalangan miskin.
Dengan logika Yasonna Laoly, seperti apakah Menteng sebenarnya? Apakah di sana tidak ada kejahatan? Untuk menjawabnya tidak perlu pusing. Cukup bertanya kepada Mbah Google.
Menteri Yasonna Laoly adalah orang terhormat. Ia bergelar doktor, politikus jempolan dari partai besar. Jabatan menteri dan gelar terhormat mestinya tidak membuatnya ceroboh berkata-kata sehingga terpeleset.
Mulutmu harimaumu. Kata bijak ini pas benar bagi Yasonna kali ini. Kalau tidak pas berujar, ucapan Yasonna menjadi harimau yang nyaris memangsanya. Kalau benar Menteri Yasonna hanya terpeleset lidah dan sudah meminta maaf, sementara warga Priok memprotes pernyatan Yasonna sembari mendesak Yasonna minta maaf, semoga masalah akan menjadi selesai.
Di luar soal selip lidah, ada baiknya kita tidak memberikan cap tertentu–apa lagi cap buruk–kepada sekelompok orang, etnis, atau kelompok masyarakat tertentu.
TL/Rama Pandu