Oyos Saroso H.N.
Penyair-budayawan Rendra pernah mengatakan bahwa para cendekiawan adalah orang-orang yang berumah di angin. Begitu kuatnya aforisma yang disampaikan Rendra , sehingga istilah ‘yang berumah di angin’ bagi para cendekiawan ini pun menjadi istilah umum dan kerap dipakai hingga sekarang. Romo Dick Hartoko, misalnya, pernah menulis buku dengan judul Golongan Cendekiawan: Yang Berumah di Angin (1981).
Menurut Arief Budiman, cendekiawan berfungsi seperti halnya seorang ‘begawan.’ Mereka menjadi sumber kekuatan moral terutama pada saat masyarakat dilanda krisis. Saat keadaan normal, para ‘begawan’ ini akan kembali ke pertapaannya . Mereka ‘bertapa’ di dunia pikirannya. Inilah yang dimaksud Redra bahwa cendekiawan adalah orang yang berumah di angin.
Cendekiawan, dengan demikian, haruslah memiliki sifat akomodatif. Ia harus tahu kapan harus berada di pertapaannya dan kapan ia harus keluar pertapaan. Ia harus bisa berposisi menggauli persoalan masyarakat dan bersama masyarakat menyelesaikan persoalan tersebut. Pada saat masalah selesai, ia pun harus pulang ke pertapaan.
Dalam dunia nyata, yang disebut begawan atau cendekiawan adalah seorang cerdik cendikia, memiliki strata pendidikan yang cukup, dan mumpuni menjadi seorang cendekia. Ia harus benar-benar ahli atau cendekia di bidang yang digelutinya. Kecendekiannyalah yang membedakan seorang cendekia dengan seorang yang hanya memiliki gelar akademik berderet. Kecendekiaan pula yang membedakan seseorang yang disebut cendekiawan atau begawan dengan seseorang yang dianggap terpelajar atau ‘manusia berpendidikan tinggi’. Sebab itulah, tidak semua orang berpendidikan tinggi dengan gelar akademik panjang akan otomatis bisa disebut cendekiawan. Seseorang yang sukses meraih banyak gelar tetapi kemudian ia tidak pernah melakukan apa pun terkait dengan ilmunya masih bisa disebut sebagai orang pandai atau akademikus. Namun ketika sepanjang hidupnya ia ‘tidak bersuara’ dan selalu ‘no problemo’ dengan keadaan sekitarnya maka ia tidak layak menyandang sebutan cendekiawan atau begawan.
Dengan gambaran seperti itu, maka dalam perkembangannya kemudian, yang disebut cendekiawan bukan semata-mata orang yang memiliki gelar akademik. Yang disebut begawan dan ‘berumah di angin’ tidak selalu orang-orang kampus. Guru kampung, kyai desa, tokoh pemuda, penulis, budayawan dan sejenisnya pun bisa disebut sebagai begawan atau cendekiawan. Yang terpenting bukan gelar yang disandangnya, tetapi peran nyatanya dalam kehidupan dan kemampuannya untuk berkontribusi bagi kehidupan masyarakat luas.
Masalahnya, ketika zaman semakin maju dan uang menjadi penguasa, peran cendekiawan atau peran begawan kerap direduksi oleh kekuatan dan nafsu politik. Tidak jarang ada cendekiawan yang merelakan dirinya menghamba pada kekuasaan atau bahkan berhasrat besar menjadi manusia politik guna bisa berkuasa. Bersamaan dengan itu, kecendekiawanan pun kemudian tereduksi hanya sebagai istilah untuk menandai orang pintar yang memiliki gelar akademik mentereng. Menjadi lebih tereduksi makna dan fungsinya ketika kelompok cendekiawan dimaknai sebagai ‘orang-orang pandai yang berhimpun dengan agenda setting tertentu yang tidak selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak’.
Seorang begawan adalah seorang yang memiliki nilai-nilai altruis, konsisten di jalan lurus, mampu bersuara ketika keadaan mengharuskan dia bersuara, serta tidak mudah tergoda olah hasrat materi dan kekuasaan. Ia bukanlah seorang pelatih atau guru les yang mendapatkan imbalan uang setelah melatih atau mengajar. Ia bukanlah tukang kayu yang bisa mengukir pintu dan almari menjadi produk seni ukir bernilai tinggi. Ia juga bukan agen ide yang bisa dikendalikan sehingga akan bersuara dan bertindak sesuai dengan kemauaan pemesannya.
Di era politik dan bisnis jadi panglima seperti saat ini, mencari sosok cendekiawan seperti menjadi sebatang jarum kecil di antara tumpukan jerami di hamparan sawah luas. Masih untung kalau ada 1-2 cendekiawan yang masih bisa “bersuara”. Dalam situasi seperti inilah wartawan atau media kerap kesulitan menemukan narasumber dari kalangan akademikus. Sulit, karena sudah mulai banyak akadamikus yang tidak layak menjadi narasumber karena berbuat lacur. Termasuk bertindak lacur adalah ketika akademikus secara terang benderang membela kepentingan kelompok politik dan kelompok ekonomi tertentu dalam pernyataan dan tindakannya. Ia tidak bisa independen lagi. Karena tidak independen, ia pun tidak bisa objektif lagi.
Seturut dengan itu, kini makin sulit melihat barisan calon cendekiawan yang rajin bertarung gagasan di ruang publik (media). Kondisi ini jauh berbeda dengan dekade 1990-an yang bisa melahirkan banyak cendekiawan muda yang rajin dan gigih bertarung gagasan. Sebab itulah, ketika ada seorang guru besar menjelang pensiun seperti Pak Sudjarwo yang masih rajin menyebar gagasannya, perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi. Sebab, itulah salah satu cara seorang begawan menjalankan peran sebagai begawan. Cara itu pula yang akan menjadi tamparan bagi para cendekiawan lain atau orang yang mendaku sebagai cendekiawan tetapi selama ini hanya berpangku tangan atau terus bertahan sebagai sekadar ‘cendekiawan tim ahli’.
Seorang begawan itu pada hakikatnya tidak pernah pensiun. Kata ‘pensiun’ hanya pantas bagi seorang pekerja yang bersetia kepada sebuah lembaga atau negara. Sementara kesetiaan seorang begawan adalah pada sikap merdekannya dan hasrat untuk berbuat lebih baik bagi masyarakat banyak. Terus dan terus. Hingga ruh berpisah dengan jasad. Begawan akan terus ‘meng-Ada’, ‘me-Ruang’, dan ‘me-Waktu’ sampai akhir hayat.
Prof. Dr. Sudjarwo kini secara formal sudah memasuki masa pensiun. Namun, sejatinya kehidupan dengan semangat lebih baru lagi sedang dimulai.
Selamat memasuki dunia baru, Prof Sudjarwo! Semogas setiap langkah dan amalan menjadi berkah dan amal jariyah yang kelak akan menjadi buah bejurai-jurai…