Program HKm Bisa Jadi Solusi Mengatasi Masalah Kehutanan di Lampung

Tangkapan layar secara daring acara "media gathering" yang digelar Coca-Cola Europacific Partners Indonesia di dengan tema "Merangkai Harapan Untuk Keberlanjutan Hutan Sumatera", di Kopi Sudut Jl. Pagar Alam 112A, Langkapura, Bandarlampung, Senin (13/9/2021). 
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM, Bandarlampung — Program Hutan Kemasyarakatan (HKm) bisa menjadi salah satu solusi masalah kehutanan di Lampung, terutama terkait degradasi lahan akibat penebangan liar (illegal logging).  Pengelolaan hutan berbasis masyarakat seperti program HKm atau program perhutanan sosial merupakan solusi terbaik untuk menyelamatkan hutan dari kerusakan yang lebih parah.

Itulah benang merah atau kesimpulan para narasumber pada acara media gathering yang digelar Coca-Cola Europacific Partners Indonesia di dengan tema “Merangkai Harapan untuk Keberlanjutan Hutan Sumatera”, di Kopi Sudut Jl. Pagar Alam 112 A, Langkapura, Bandarlampung, Senin (13/9/2021).

Acara yang dipandu Amirudin Sormin (Pemred lampungpro.co) dan Yayan Sopian (Corporate Affair Regional Manager West Indonesia) itu menghadirkan tiga pembicara. Yaitu, Ardhina Zaiza (Head of Corporate Communication Coca-Cola Europacific Partners Indonesia), Ir. Yayan Ruchyansyah (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung), dan  Dr. Ayi Ahadiat, SE. MBA (Korwil Indonesia Barat PP ISEI ), dan  Soni MD Wicaksono (Ketua Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia).

Kebun campuran di  HKm yang dikelola masyarakat di Pekon Tribudisyukur, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat, dengan latar belakang hutan Bukit Rigis yang menghijau sejak adanya program HKm (Foto: dok Teraslampung.com).

Yayan mengatakan, HKm merupakan pengelolaan hutan negara  dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan memberdayakan masyarakat  untuk meningkatkan nilai ekonomi, nilai budaya, memberikan manfaat kepada masyarakat pengelola dan masyarakat setempat.

“Dengan adanya HKm bisa meningkatkan fungsi hutan dan fungsi kawasan, adanya pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dengan tetap menjaga fungsi kawasan hutan,” katanya.

Yayan Ruchyansyah memaparkan, saat ini diindikasikan ada 221 desa definitif yang sebagian atau seluruhnya berada dalam kawasan hutan; baik itu di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), hutan lindung, maupun di hutan produksi.

“Dari 165 desa yang berada di kawasan hutan lindung, lima di antaranya 100 persen wilayahnya ada di dalam hutan. Sedangkan yang di hutan produksi, dari 55 desa sebanyak 19 di antaranya 100 persen wilayahnya juga ada di hutan,” kata Yayan.

Kondisi itu, menurut Yayan, harus dicarikan jalan keluar terbaik agar masyarakat yang selama ini memang sudah tinggal di dalam hutan atau tinggal di dekat hutan bisa melanjutkan penghidupan tanpa merusak hutan. Bahkan, diharapkan mereka bisa menjaga hutan.

Menurut Yayan, dengan mengikuti program HKm masyarakat yang tinggal di dalam hutan atau di sekitar hutan bisa mengelola hutan dan memanfaatkan hasilnya.

“Hal itu sesuai dengan tujuan pembangunan kehutanan di Lampung, yaitu pemanfaatan potensi sumberdaya hutan untuk kesejahteraan. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan bisa memanfaatkan hasil hutan nonkayu dari hutan rakyat dan hutan produksi. Mereka juga bisa memanfatkan jasa lingkungan dan wisata alam. Untuk itu, Pemprov Lampung mendorong mendorong generasi muda dalam kegiatab ekonomi kreatif kehutanan,” kata Yayan.

Data di Dinas Kehutanan Lampung menyebutkan, luas hutan di Lampung mencapai 1,4 juta hektare, dengan tingkat kerusakan sekitar 37,42 persen. Data dari beberapa lembaga lain seperti Watala, Walhi, dan WCS menyebutkan tingkat kerusakan hutan di Lampung di kisaran 40 hingga 60 persen.

Sementara itu, jumlah wilayah hutan  yang berstatus HKm di Lampung menurut data Dinas Kehutanan Lampung hingga 2017 saja mencapai 125 ribu hektare lebih. HKM tersebu dikelola oleh 138 kelompok atau 50 ribuan kepala keluarga, dan tersebar di delapan kabupaten di Lampung. Jumlah itu belum termasuk perhutanan sosial di  Hutan Tanaman Rakyat (HTR),  Hutan Lindung, Hutan Produksi, dan  Taman Hutan Rakyat (Tahura).

HKm dengan tanaman utama kopi di Pekon Tribudisyukur, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat (Foto: dok Teraslampung.com)

Dari angka tersebut, sebanyak 42.446,97 hektare Hkm izin pengelolaannya dikeluarkan melalui bupati melalui 73 Izin Usaha Pengelolaan (IUP).

Yayan mengatakan, tidak semua kawasan hutan bisa diterapkan program HKm. Hanya hutan yang lahannya kritis yang bisa dikelola warga. Itu pun dengan syarat yang ketat.

Data di Dinas Kehutanan Lampung menyebutkan, Lampung merupakan provinsi pertama di Indonesia yang mengembangkan program HKm. Program HKm itu sendiri merupakan kebijakan Menteri Kehutanan dan Perkebunan yang didasarkan pada SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.677/Kpts/1998, yang kemudian diperbarui dengan SK No. 31/Kpts/2001.

Di Lampung, salah satu program HKm yang sukses adalah HKm di Desa Tribudisyukur, Kecamatan Way Tenong. Pemkab Lampung Barat pula yang menjadi pemerintah daerah pertama di Indonesia yang menerbitkan izin pengelolaan hutan kepada masyarakat selama 25 tahun.

Data Keluarga Pencinta Alam dan Lingkungan Hidup (Watala) menyebutkan, sejak tahun 2000 lalu sebanyak 6.537 keluarga petani yang tinggal di sekitar hutan lindung dan hutan produksi di Kabupaten Lampung Barat melaksanakan program Hutan Kemasyarakatan (HKm).

Mereka berinisiatif untuk kembali membangun hutan yang kondisinya sudah kritis akibat perambahan liar dan illegal logging. Caranya, tetap mendayagunakan lahan hutan kritis sebagai sumber penghasilan sekaligus melakukan konservasi.

Di lahan kritis itu, mereka menanam tanamam bertajuk rendah, bertajuk sedang, dan bertajuk tinggi. Selain menjadi sumber kesejahteraan petani, kini kawasan hutan lindung seluas 12 ribuan hektare di Register Bukit Rigis dan Register 34 Tangkit Tebak yang dulu kritis dan gersang berubah menjadi hutan yang kembali hijau setelah diterapkannya Hkm.

Dalam program itu, masyarakat diberi izin sementara selama lima tahun untuk mengelola lahan kritis di hutan produksi dan hutan lindung. Syaratnya, mereka harus membentuk kelompok dan melakukan konservasi hutan. Kelompok tersebut juga harus memiliki sistem manajemen dan aturan organisasi yang baik.

Tiap tahun mereka akan dipantau dan dievaluasi oleh sebuah tim yang terdiri atas kepala desa, pengelola sumber daya alam (PSDA) kabupaten, kepala unit penanggung jawab areal hutan, NGO lingkungan yang bertindak sebagai pendamping, dan forum petani.

Untuk mendapatkan izin mengelola hutan, ada empat tahap yang harus dilalui petani: pembentukan kelompok, penetapan wilayah kelola, pembuatan aturan dan rencana kerja kelompok, dan pengajuan proposal perizinan. Tiap kelompok terdiri atas 50-an petani dengan luas garapan berbeda-beda.

Kondisi Bukit Rigis di Lampung Barat yang rusak sebelum ada program HKm (Foto: dok Watala)
Kondisi Bukit Rigis di Lampung Barat yang rusak sebelum ada program HKm (Foto: dok Watala)

Para anggota kelompok itu hanya punya hak kelola sehingga tidak boleh memperjualbelikan lahan. Mereka akan dimonitor dan dievaluasi tiap tahun. Jika evaluasi menunjukkan mereka gagal melakukan konservasi dan melanggar aturan, izinnya akan dicabut.

Masyarakat Harus Kreatif

Ayi Ahadiat menilai program HKm bisa menjadi win-sin solution bagi masalah kehutanan, terutama terkait konflik kepentingan antara masyarakat yang tinggal di dalam hutan atau di sekitar hutan dengan pemangku kepentingan atau pengelola hutan.

Dengan aturan dan syarat-syarat pengelolaan lahan HKm yang sudah jelas, kata Ayi, masyarakat pengelola lahan HKm harus kreatif. Di sela-sela tanaman kopi yang biasanya bertajuk rendah, bisa ditanam tanaman lain yang bertajuk tinggi.

“Jadi di dalam satu lahan bisa ditanam beberapa komoditas. Penananam disesuaikan dengan ketinggian pohon; yaitu bertajuk rendah, sedang, dan tinggi. Jadi di satu kebun bisa ada pohon cabai atau sayuran, kopi, pisang, pinang, aren, dan lainnya,” kata Ayi.

Ayi mengatakan, HKm setidaknya menjawab dua permasalahan besar, yaitu masalah kemiskinan dan keterbatasan lahan garapan.

“Jadi kalau para penggarap lahan kreatif, diharapkan program HKm bisa  menyediakan dan menjaga sistem ketahanan pangan,” katanya.

Mas Alina