Prona Sertifikat Tanah di Lampura, Pjs Kades Sri Agung Bantah Perintahkan Pungli

Warga mengambil sertifikat tanah yang dibagikan oleh BPN Lampung Utara, di halaman kantor Pemkab.
Warga mengambil sertifikat tanah yang dibagikan oleh BPN Lampung Utara, di halaman kantor Pemkab, Senin (22/8/2016).
Bagikan/Suka/Tweet:

‪Feaby|Teraslampung.com

Kotabumi–Penjabat Sementara ‎(Pjs) Kepala Desa, Sri Agung, Sungkai Jaya, Lampung Utara, Mulyadi membantah pernah memerintahkan aparatur Desanya mengutip sebesar Rp600 ribu/warga guna pembuatan sertifikat tanah melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) 2016.

“Benar ada pungutan tersebut. Tapi, itu bukan atas perintah saya,” kata dia, Selasa (23/8/2016).

Menurut dia, pungutan dalam Prona itu merupakan hasil kesepakatan bersama antara panitia dan masyarakat. Kesepakatan ini dilakukan dalam pertemuan yang digelar pada tangan 4 Januari 2016 silam. Dalam kesepakatan itu, dijelaskan bahwa pungutan ini sifatnya sukarela dan tanpa paksaan.

Kesepakatan besaran biaya ini, masih kata dia, kemudian dituangkan dalam berita acara oleh Kelompok Masyarakat (Pokmas). Namun, ia berdalih sama sekali tak mengetahui kegunaan uang tersebut akan diperuntukkan untuk apa saja. Sebab, menurutnya, yang tahu kegunaan uang ini hanya pihak Pokmas.

“Untuk rincian Rp600 Ribu itu, saya kurang memahami. Itu sudah urusan Pokmas dan peserta mau dikemanakan uang tersebut. Uang itu muaranya ke Pokmas dan Bendahara,” kelit dia.

Pembuatan sertifikat tanah melalui proyek operasi Nasional Agraria (Prona) Lampung Utara tahun 2016 diduga dimanfaatkan oknum aparatur Desa sebagai “ladang rejeki” untuk kepentingan pribadi. Pungutan liar dengan dalih biaya pemberkasan ini diduga terjadi di Desa Sri Agung, Kecamatan Sungkai Jaya, Lampung Utara. Tak tanggung – tanggung, besaran pungutan liar yang sejatinya tak dapat dibenarkan ini mencapa‎i Rp600.000/orang/bidang.

‎”Saya ingin buat tiga sertifikat untuk tanah saya yang ada di Desa Sri Agung, tapi oleh Ketua RT, saya dimintai uang sebesar Rp1,8 juta untuk ketiga bidang tanah itu,” kata Desmalia, warga Kelurahan Cempedak, Kotabumi usai menerima sertifikat tanah yang dibagikan di halaman kantor Pemkab.

Lia, sapaan akrabnya, menuturkan, biaya sebesar itu digunakan untuk pengurusan berkas administrasi yang diperlukan dalam Prona. Namun, dari biaya Rp1,8 juta yang ditentukan untuk ketiga bidang tersebut, ia baru membayar separuhnya yakni Rp.900.000.‎ Belakangan, ia memperoleh informasi jika pembuatan sertifikat tanah melalui Prona ini sama sekali tak dikenakan biaya alias gratis. Dengan demikian, pungutan sebesar Rp600 ribu ini dapat dikatakan sebagai kutipan liar.

“Pak Bupati harus mengambil sikap tegas terkait dugaan pungutan liar ini. Karena tak semua warga mampu membayarnya,” harap dia.