Proyek Surat Suara Pilkades Lampung Utara: Bunuh Diri atau Penghematan

Ilustrasi Pilkades
Ilustrasi Pilkades
Bagikan/Suka/Tweet:

Feaby Handana

Lelang pengadaan kertas suara dan undangan pemilih untuk Pemilihan Kepala Desa serentak Lampung Utara senilai Rp564.356.900,00 ‎ternyata dimenangkan oleh sebuah perusahaan dengan harga penawaran Rp195.224.700,00. Jika dipersentasekan, harga yang ditawarkannya hanya sekitar 34,5 persen saja dari total pagu paket tersebut.

Bagi orang awam, nilai penawaran dari pemenang lelang yang terbilang di luar nalar itu tentu dianggap akan sangat menguntungkan bagi Pemkab Lampung Utara.‎ Sebab, dengan harga segitu maka pemkab dapat menghemat anggaran sekitar Rp369-an juta.

Uang hasi‎l penghematan yang cukup banyak itu dapat saja digunakan Pemkab untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas satu ruas jalan‎ yang telah lama tak diperbaiki di masa mendatang. Bisa juga dana itu digunakan untuk pembangunan sejumlah unit sumur bor di daerah yang kekurangan air bersih.

Pandangan seperti ini sejatinya memang tidak salah. Toh, pandangan ini lahir dari mereka yang melihat persoalan tersebut dari kulitnya saja. Kalau saja mereka mau meluangkan sedikit waktu untuk mengkaji selisih pagu dan nilai penawaran tersebut, tentu mereka akan menemukan persoalan yang sangat serius di baliknya.

‎Hasil kajian mereka tersebut akan bermuara pada pepatah ‘bak memakan buah si malakama’. Dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Itulah yang mungkin sebenarnya terjadi dalam lelang paket tersebut. Di satu sisi menguntungkan daerah, di lain sisi malah menunjukan inkonsistensi diri dan juga menelanjangi diri sendiri.

Disebut inkonsistensi karena sebelumnya pihak Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah Kabupaten Lampung Utara acap mengatakan  bahwa perusahaan dengan penawaran terendah belum tentu menjadi pemenang lelang. Kenyataanya? Tidak demikian. Ucapan mereka terlihat tidak sesuai dengan keputusan yang mereka buat dalam persoalan ini.

Yang tak kalah seriusnya lagi dari semua ini adalah adanya indikasi penggelembungan harga (mark-up) dalam paket pengadaan logistik Pilkades itu. Indikasi itu dapat ditangkap dengan jelas secara kasatmata usai pengumuman pemenang lelang. Melalui kemenangannya, perusahaan pemenang lelang seolah ingin membuktikan bahwa tak butuh dana lebih dari setengah miliar untuk pengadaan logistik itu.

Cukup dengan dana kurang dari Rp200-an juta, logistik Pilkades itu dapat disediakan sebelum Pilkades dimulai pada 8 Desember lalu. Meskipun jumlah surat suara dan undangan pemilih yang harus disediakan mencapai ‎kurang dari 500-an ribu, namun sejauh ini sama sekali belum terdengar keluhan apapun seputar surat suara baik sebelum maupun sesudah pelaksanaan Pilkades.

‎Kesuksesan pemenang lelang dalam menyediakan logistik Pilkades ini menjadi isyarat nyata bahwa pagu paket Rp500-an juta itu terlalu besar untuk pengadaan itu. Melihat hal itu, susah rasanya bagi akal sehat kita untuk membantah bahwa pagu yang dianggarkan itu memang kelewat besar atau tidak masuk akal.

‎Akal sehat ini pula yang membuat kita semua berpikir mengapa hanya sekadar membeli kertas, nilainya bisa sampai lebih dari setengah miliar, sementara untuk pengadaan kotak suara yang disebut – sebut berbahan seng atau sejenisnya, anggarannya malah tak sampai Rp100-an juta?Akibatnya, dengan anggaran sekecil itu, kotak suara yang mampu disediakan hanya 141 untuk 141 desa yang menggelar Pilkades.

Jumlah ini jauh dari kata cukup karena tiap desa mungkin memiliki lebih dari satu tempat pemungutan suara. Berdasarkan data yang ada, total TPS sendiri berjumlah 547 TPS. Artinya, ada 406 TPS yang tidak memiliki kotak suara dari hasil pengadaan tersebut. Untuk mengatasi kekurangan itu, panitia Pilkades terpaksa harus bergerak cepat. Meminjam kotak suara berikut biliknya dengan KPU Lampung Utara akhirnya menjadi salah satu pilihan mereka.

Kembali ke persoalan lelang pengadaan surat suara dan undangan pemilih, kejanggalan mengenai persoalan ini tentu membuat publik mulai berpikiran aneh – aneh. Jangan – jangan, p‎agu paket itu memang sengaja dibesar-besarkan. Tujuannya, mungkin untuk memberikan keuntungan besar bagi si calon pengantin yang telah disiapkan. Kecurigaan ini tentu tidak dapat disalahkan karena lahir akibat sejarah kelam yang pernah terjadi semasa pemerintahan Bupati Agung Ilmu Mangkunegara.

‎Apa yang terjadi di balik pengadaan surat suara ini hendaknya dijadikan pelajaran oleh seluruh pihak terkait di masa mendatang. ‎Jangan ada lagi kesalahan yang sama di masa mendatang. Dengan demikian, tak ada lagi uang rakyat yang bisa saja terbuang percuma karena ketidakjelian dalam perencanaan pengadaan tersebut.***

Feaby Handana adalah jurnalis Teraslampung.com