Oleh Syarief Makhya
Puasa secara harfiah artinya menahan diri dari makan, minum, berhubungan sex sejak terbit matahari subuh (fajar) hingga terbenam mata hari (maghrib), sementara hakikat puasa yaitu menahan diri dari perbuatan yang dapat merusak dan merugikan diri sendiri dan orang lain (Dr.Didi Junaedi, 2023).
Dalam makna pemahaman tersebut, menjalankan ibadah puasa identik dengan memperbaiki akhlak atau moral manusia. Artinya, dengan melaksanakan ibadah puasa harusnya ada perubahan kualitas moral. Jika dihubungkan dengan urusan publik mereka yang diberi kewenangan pasti tidak akan melakukan perbuatan korupsi, tidak menerima suap, menjalankan amanah, jujur, memiliki integritas tinggi, dan benar-benar berkerja untuk mendapat ridho Allah SWT semata.
Sebaliknya, kalau usai melaksanakan ibadah puasa perilaku moralnya tambah rusak, tidak memiliki rasa malu berbuat korupsi, masih tetap menyalahggunakan kewenangannya. berbuat curang atau menipu rakyat, maka kendati secara fisik kuat dalam menjalankan ibadah puasa dalam pemahaman makna puasa, orang tersebut tidak bisa kita kategorikan menjalankan ibadah puasa dengan benar.
Dengan demikian, esensi menjalankan ibadah puasa, sholat, membayar zakat atau menunaikan ibadah haji hakikatnya secara kontekstual adalah untuk membangun moralitas manusia. Puasa bukan sekadar menjalankan rutinitas kewajiban setiap bulan ramadhan tanpa memberikan dampak kualitas moral bagi kehidupan manusia.
Secara normatif perintah menjalankan ibadah puasa menjadi kewajiban orang yang beriman yang sifatnya personal tetapi tidak bisa dipisahkan dengan urusan publik. Urusan publik berkaitan dengan kepentingan masyarakat umumnya meliputi kebijakan pemerintah, tata kelola pemerintahan, dan layanan publik yang disediakan oleh pemerintah. Jadi, menjalankan ibadah puasa memiliki hubungan dengan urusan publik
Mengapa? Karena aktor yang menjalankan urusan publik adalah orang-orang yang diberi kewenangan untuk menjalankan tugas negara. Oleh sebab itu, hampir semua negara menerapan prinsip integritas sebagai syarat mutlak untuk menjadi pemimpin, memberikana pelayanan, dan mengelola urusan publik.
Penerapan prinsip integritas bukan hanya diatur oleh hukum positif, semisal aturan-aturan resmi yang diberlakukan di sebuah negara tetapi juga khususnya di negara-negara yang penduduknya memiliki agama dibentuk oleh kekuatan kualitas keimanan dan ketakwaan seseorang melalui proses ritualitas keagamaan , antara lain dengan melakukan ibadah puasa.
Realitas Beragama
Idealnya seperti Indonesia yang penduduknya memiliki keyakinan memeluk agama berkorelasi positif menjalankan ibadah dengan kualitas akhlak negaraya, numun dalam realitasnya moralitas bangsa ini ambruk. Korupsi, penyalahgunaan wewenang, suap sampai sekarang secara kuantitas semakin meningkat dan entah kapan persoalan ini bisa diatasi secara efektif.
Lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi, kementrian agama, kehakiman, lembaga peradilan bahkan kementrian sosial yang seharusnya jadi teladan dalam penegakkan moral justru menjadi bagian institusi yang bermasalah dan memberikan citra buruk di masyarakat karena para pegawainya sebagian melakukan tindakan korupsi.
Ukuran kualitas beribadah, bukan sebatas melaksanakan ritualitas keimanan sebagai bentuk kewajiban, seperti sholat, haji, puas, dan yang lainnya tetapi juga tercermin dari perilaku moral atau ahlak yang memberikan manfaat dan dampak positif untuk kepentingan orang lain.
Realitas beragama di masyarakat cenderung hanya sebatas simbolik, menonjolkan aspek kebiasaan dan budaya yang kuat serta seremonial keagamaan, namun tidak membentuk karakter integritas dan etos kerja yang kuat. Fenomena ini tercermin puasa tidak memiliki korelasi dengan peningkatan kualitas integritas dalam mengelola urusan publik.
Beberapa hari yang lalu pemerintah memberlakukan larangan bagi pejabat negara untuk tidak melakukan buka puasa bersama saat Bulan Ramadhan. Pesan moralnya adalah agar tidak menggunakan anggaran negara untuk kegiatan tersebut. Sebab, anggaran yang digunakan untuk kegiatan tersebut seringkali anggaran yang bersumber dari dana pemerintah. Jadi, pemborosan dan penggunaan anggaran untuk kegiatan buka bersama bisa diinterpretasikan sebagai kebiasaan yang tidak bersandar pada ketaatan dalam penggunaan anggaran publik yang sesuai dengan norma hukum.
Pada sisi lain, fenomena buka bersama dengan menyajikan konsumsi makanan yang berlebihan seringkali kehilangan empati terhadap sebagian rakyat kecil yang kekurangan makanan.
Urusan Publik
Ibadah puasa idealnya mampu membangun ahlak para pejabat negara, para pengambil kebijakan, anggota dewan, dan mereka yang memiliki kewenagan formal dalam mengelola urusan publik.
Cara pandang ini mengharuskan ada interpretasi terhadap makna ibadah puasa dan ibadah lain yang dilakukan oleh masyarakat Islam bahwa menjalankan agama itu bukan kebutuhan personal tapi juga berurusan dengan persoalan masyarakat dan urusan publik yang nyata di dunia ini. Pemaknaan ibadah puasa tersebut, jika dilaksanakan dengan baik akan berimplikasi pada pengelolaan urusan publik yang bebas dari persoalan negara yang sedang mengalami degradasi moral.
* Akademisi dan pemerhati masalah urusan publik, FISIP UNILA