Puisi “The Waste Land” karya T. S. Eliot

Bagikan/Suka/Tweet:
T.S. Eliot (dok newyorker.com)

TANAH PEMBUANGAN

                 FOR EZRA POUND 
                 IL MIGLIOR FABBRO (1) 

I. Penguburan Mayat 

April adalah bulan terkejam, membenihkan
Bebunga lilak di lahan beku, membaurkan
Hasrat dengan keping kenangan, mencampurkan
Akar-akar layu dan hujan musim semi.
Musim dingin justru membikin hangat kami, menyelimuti
Bumi dengan butiran salju amnesia, menyuapi
Satu kehidupan mungil dengan umbian kering.
Musim panas mengejutkan kami, di Starnbergersee,
Dengan guyuran hujan; kami berhenti di jajaran tiang,
Dan pergi di bawah sinar matahari, ke Hofgarten,
Plus minum kopi, plus sejam lamanya berbincang.
Bing gar keine Russin, stamm’ aus Litauen, echt deutsch. (2)
Dan sewaktu kami kecil dulu, tinggal di wilayah-bangsawan,
Sepupuku, sibuk mengajakku bermain kereta salju,
Aku ketakutan. Ia berkata, Marie,
Marie, pegang erat-erat. Dan kami meluncur turun
Ke pegunungan, di sana kau akan merasa bebas.
Aku terus membaca, bemalam-malam terjaga,
Dan pergi ke selatan tatkala musim dingin tiba.

Akar apa yang mampu melekat erat,
Dahan apa yang mampu bertumbuh kuat
Di rongsokan yang telah membatu ini? Anak manusia,
Kau tak mampu berkata, atau mengira, kau cuma tahu
Tumpukan gambar yang cedera, dan debar matahari,
Pohonan meranggas bukan naungan, jangkrik bukan bantuan,
Batuan kersang tanpa ricik air. Hanya
Semacam bayangan di balik batu merah ini
(Di balik bayangan batu merah ini)
Dan akan kutunjukkan sesuatu yang berbeda dari
Bayangmu waktu pagi yang merayap di belakangmu
Maupun bayangmu tatkala petang naik menjengukmu;
Akan kutunjukkan ketakutanmu dalam segenggam debu.
                   Frisch weht der Wind
                   Der Heimat zu,
                   Mein Irisch Kind,
                   Wo weilest du? (3)
“Kau memberiku sekuntum bakung pertama tahun lalu;
“Kini mereka memanggilku gadis bunga bakung.”
—Tapi saat kami pulang, terlambat, dari kebun bunga bakung itu,
Gembung lenganmu, basah rambutmu, sungguh aku tak mampu
Bicara, mataku tak lagi sanggup menatapmu, dan aku
Tidak pula hidup atau mati, dan aku tak tahu apa-apa.
Melongok ke dalam jantung cahaya—keheningan belaka.
           Oed’ und leer das Meer. (4)

Bunda Sosostris, cenayang selebritis,
Sekarang terserang flu juga, meski demikian
Ia terkenal sebagai perempuan paling bijak seantero Eropa.
Dengan satu pak kartu kejamnya. Begini, ia bergumam,
Kartu Anda, Pelaut Phoenicia yang tewas tenggelam
(Sepasang mutiara itu tak lain sepasang matanya. Lihat!)
Berikutnya adalah Belladonna, sang perempuan perkasa,
Perempuan yang amat bergantung dengan suasana.
Lalu Lelaki Bertongkat Tiga,  dan inilah Roda,
Inilah Saudagar Bermata Satu, dan kartu ini,
Yang kosong, adalah kartu yang ia bawa di punggungnya,
Dan saya dilarang melihatnya lebih jauh. Saya tidak menemukan
Laki-Laki Yang Digantung. Begitu khawatir bisa tewas di air.
Saya lihat kerumunan manusia, berjalan dalam lingkaran.
Terima kasih. Kalau Anda bertemu Nyonya Equitone,
Tolong katakan horoskopnya musti saya sampaikan sendiri:
Pada jaman begini seseorang memang mesti sangat berhati-hati.

Kota Maya,
Di bawah kabut coklat saat fajar musim dingin tiba,
Kerumunan mengalir di Jembatan London, alangkah banyaknya,
Aku tidak berpikir bahwa kematian telah begitu banyak tertunda.
Desahan, pendek dan jarang, dihembuskan,
Dan setiap orang selalu lebih dulu beres matanya sebelum kakinya.
Mengalir ke atas bukit dan menuruni King William Street,
Ketika Saint Mary Woolnoth tengah menjaga waktu
Bersama bunyi kematian pada dentang terakhir pukul sembilan.
Di sana aku bertemu dan menghadang lelaki itu, tersedu: “Stetson!
“Kau saja yang menyertaiku dalam kapal di Mylae!
“Mayat itu Anda, ditanam tahun lalu di kebun Anda,
“Apakah mayat itu mulai tumbuh? Akankah mekar tahun ini?
“Atau tiba-tiba embun beku akan terganggu di ranjangnya?
“Oh jagalah agar Anjing tetap jauh, anjing teman manusia itu,
“Atau dengan kukunya dia akan menggali kubur itu lagi!
“Kamu! hypocrite lecteur!—mon semblable—mon frère!” (5)

II. Satu Pertandingan  Catur 

Kursi yang diduduki perempuan itu, seperti tahta berkilap,
Berkilau di atas marmer, dalam ruang megah di mana kaca
Sesuai standar tempaan dihiasi sulur-sulur anggur penuh buah
Yang menampilkan sesosok Cupidon keemasan
(Cupidon lain menyembunyikan matanya ke balik sayap)
Menggandakan nyala tujuh lilin di wadah logam bercabang
Memantulkan cahaya pada permukaan meja seakan
Gemerlap aksesori permatanya merayapi ruangan,
Sejak kasus kain satin dicelup ke dalam gelimang kekayaan;
Dalam botol kaca sewarna gading dan
Tak bertutup, mengintailah parfum aneh sintetisnya,
Salep, bubuk, atau cairan—rawan, membingungkan
Dan ditenggelamkan indera ke dalam bau kemewahan;
Diaduk dengan udara segar dari jendela, kemudian
Membesarkan nyala-lilin yang memanjang,
Mengepulkan gumpalan asap ke panel plafon ruang,
Membaurkan pola ke balik tutup peti antik aristokrasi.
Kayu-laut besar dihiasi dengan tembaga
Dibakar kehijauan dan kuning tua, dibingkai batuan berwarna,
Kesedihan menghidupkan ukiran lumba-lumba berenang.
Sekarang, di atas perapian antik yang serupa
Kusen jendela tampillah semacam adegan buas
Tentang metamorfosa Philomel, akibat seorang raja biadab
Telah begitu beringas memperkosanya; sebelum seekor bulbul
Memenuhi gurun dengan kicauan tanpa gangguan
Dan ia masih terus terisak, dan masih merindukan dunia,
“Jug Jug” ke setiap telinga cabul.
Dan satu lagi tunggul yang dikeringkan waktu
Bergumam kepada dinding; berpaling keluar
Menatap aneka bentuk, bersandar, kebisuan ruang terkunci.
Langkah-langkah kaki beringsut di anak tangga.
Di bawah nyala api, di bawah sisir besar, rambutnya
Terurai ke sudut yang membara
Berpijar dalam kata-kata, maka akan terlihat lebih kejam.

    “Sarafku terasa tegang malam ini. Ya, tegang. Tetaplah bersamaku.
“Bicaralah padaku. Mengapa kau tak pernah bicara. Bicaralah.
    “Apa yang kaupikirkan? Apakah berpikir itu sebenarnya? Apa?
“Aku tak pernah tahu apa yang kaupikirkan. Pikirkan itu.”

      Saya pikir kami tengah berada di gang tikus
Tempat orang-orang mampus kehilangan belulang mereka.

      “Suara apa itu?”
                           Angin di bawah pintu.
“Suara apa sekarang? Apa yang dilakukan angin itu?”
                           Tak ada apa-apa di sana.
                                                            “Apakah
“Kau tak tahu apa-apa? Apa tak kaulihat? Apa kau ingat
“Ketiadaan?”

        Saya ingat
Mereka sepasang mutiara yang berkilau dalam matanya.
“Apa kau hidup, atau mati? Apa ketiadaan ada dalam kepalamu? “

                                                                                 Tapi
O O O O begitulah lagu Kain Perca Shakespeherian—
Lagu yang begitu elegan
Begitu brilian
“Apa kini yang mesti kulakukan? Apa yang mesti kulakukan?”
“Aku akan keluar seperti kebiasaanku, dan menyusuri jalanan
“Dengan rambut teruraiku. Apa yang akan kita lakukan esok hari?
“Apakah kita mesti melakukan apa yang pernah kita lakukan?”
                  Air panas pada angka sepuluh.
Dan bila hujan, satu mobil kap tertutup pada angka empat.
Dan kami akan bermain catur kembali,
Menahan mata agar pelupuk terbuka dan menunggu pintu diketuk.

Saat suami Lil dimobilisasi, saya berkata—
Tanpa basa-basi, saya berkata kepada perempuan itu
seperti berkata kepada diri sendiri,
LEKAS SEKARANGLAH SAATNYA
Hari ini Albert pulang, tolong kau cerdas sedikit.
Albert ingin tahu apa yang kaulakukan dengan uang pemberiannya
Demi memiliki beberapa gigi. Saat ia mengatakan ini, aku ada di sana.
Telah kau punya semua itu, Lil, punya satu set yang bagus,
Albert berkata, aku bersumpah, aku tak sanggup menatapmu.
Dan tak sekuat aku, kata saya, berpikir tentang Albert yang malang.
Albert dinas di militer empat tahun, dia ingin waktu yang pas,
Dan jika kau tak beri dia hal itu, ada orang lain yang bisa, kata saya.
Oh tentu saja ada, katanya. Semacam o’ yang lain, kata saya.
Aku akan tahu siapa yang benar-benar berterima kasih, kata Lil,
dan sanggup memberiku tatapan yang tulus.
LEKAS SEKARANGLAH SAATNYA
Jika kau tak suka, kau tetap mesti melakukannya, kata saya,
Orang lain bisa menawarkan hal itu, jika kau tak bisa.
Tapi jika Albert pergi, hal itu bukan masalah juga.
Kau seharusnya malu, kata saya, kau nampak bagai hiasan antik.
(Dan perempuan itu baru tiga puluh satu.)
Aku tak bisa menahannya, Lil berkata, menarik wajah tirusnya,
Itu semua sebab pil yang kuambil, lalu kumuntahkan, dia berkata
(Dia telah menelan lima, dan hampir membunuh George muda.)
Ahli kimia itu bilang semua akan baik-baik saja,
tapi saya tak berpikiran sama.
Kau orang bodoh yang bertindak benar, kata saya.
Nah, jika Albert tak akan meninggalkanmu, lanjut saya,
Buat apa menikah jika kau tak menghendaki anak darinya?
LEKAS SEKARANGLAH SAATNYA
Nah, hari Minggu itu Albert telah di rumah,
mereka punya daging paha asap yang hangat,
Dan mereka minta saya makan malam bersama,
untuk ikut merasakan keindahan hangat itu—
LEKAS SEKARANGLAH SAATNYA
LEKAS SEKARANGLAH SAATNYA
Goonight Bill. Goonight Lou. Goonight Mei. Goonight.
Ta ta. Goonight. Goonight.
Selamat malam, perempuan, selamat malam,
perempuan manis, selamat malam, selamat malam.

III. Khotbah Berapi-Api

Tenda di sisi sungai telah rubuh: atap daunan serupa jemari
Terakhir jatuh dan tenggelam ke tepian basah. Angin berputar
Melintasi tanah coklat, tak terdengar. Gadis perawan telah pergi.
Thames manis, melangkah pelan, hingga kuakhiri senandung ini.
Sungai tak cuma menanggung botol-botol kosong, bungkus roti,
Saputangan sutra, puntung rokok, kardus bekas, tetapi juga
Setiap kesaksian malam musim panas. Gadis perawan telah pergi.
Dan teman-teman mereka, pewaris avontur di kota para direktur;
Telah pergi, tanpa sempat meninggalkan alamat.
Sebab arus perlahan sungai Leman aku pun duduk dan menangis…
Thames manis, melangkah pelan, hingga kuakhiri senandung ini.
Thames manis, melangkah pelan, sebentar cuma gumamku kini.
Tapi dalam ledakan dingin di belakang punggung kudengar
Derak tulang, dan tawa menyebar dari telinga ke telinga.

Seekor tikus nampak merayap melintasi tumbuhan
Menyeret perut berlendirnya pada tepian
Sementara aku memancing di kanal yang membosankan
Pada putaran malam musim dingin di belakang Pom Bensin
Terkenang kapal kerajaan adikku yang karam,
Juga tewasnya ayahku sebelum adikku tenggelam.
Jasad putih telentang telanjang di dataran yang lembab
Dan belulang dilempar ke atas loteng kering sedikit pengab,
Dibingungkan oleh langkah kaki tikus, dari tahun ke tahun.
Tapi di belakangku dari waktu ke waktu kudengar
Bunyi klakson dan deram motor, yang akan membawa
Sweeney untuk Nyonya Porter sewaktu tiba musim semi.
O bulan bersinar terang pada Nyonya Porter malam ini
Juga pada putrinya
Mereka mencuci kaki dengan air soda
Et O ces voix d’enfants, chantant dans la coupole! (6)

Twit twit twit
Jug jug jug jug jug jug
Begitu kasar memaksa.
Tereu

Kota Maya
Di bawah kabut coklat dari siang musim dingin
Tuan Eugenides, pedagang Smyrna yang lain
Bercukur, dengan kantong penuh kismis.
C.i.f. London: dokumen yang ada di depan mata,
Tanyai aku segala hal tentang orang Perancis
Demi makan siang gratis di Cannon Street Hotel
Diikuti oleh akhir pekan di Metropole yang manis.

Pada jam viola, sewaktu mata dan punggung di meja
Berbalik menghadap ke atas, pas menunggu tukang mesin tiba
Seperti sebuah taksi yang berdenyut menanti panggilan,
Aku Tiresias, meskipun buta, berdenyut antara dua kehidupan,
Seorang lelaki dengan keriput payudara, tepat menatap
Pada jam viola, macam jam malam yang terus mendesaknya
Pulang, dan menarik para pelaut dari pelayaran ke rumahnya,
Tukang ketik panggilan pas minum teh, membersihkan sarapannya,
Memadamkan tungku, dan menyajikan makanan kaleng di meja.
Perempuan itu hampir terjatuh keluar jendela saat meletakkan
Setumpuk jemuran yang disentuh sinar terakhir matahari senja,
Di atas dipan yang disusun vertikal (saat malam itulah ranjangnya)
Stoking, sandal, pakaian dalam, dan korset model terbaru.
Aku Tiresias, lelaki tua dengan keriput payudara
Melihat semacam adegan, dan selebihnya hanya ramalan—
Aku juga tengah menunggu tamu yang diharapkan.
Dia, berondong muda dengan jerawat batu, telah tiba kini,
Seorang pegawai agen perumahan kecil, punya tatapan berani,
Salah satu dari golongan terendah untuk beroleh asuransi
Duduk seperti topi sutra milik seorang jutawan tua, Bradford.
Sekarang tibalah saat yang tepat, begitu ia mengira,
Setelah makan, dia lelah dan bosan,
Berupaya mengajak perempuan itu bercumbu,
Tentu hal begitu bukanlah perbuatan tercela, bila benar sama suka.
Membara dan memutuskan, ia mau sekaligus menyerang;
Tangannya mulai merayap-rayap dan tiada beroleh perlawanan;
Keangkuhan begitu memang tak memerlukan tanggapan,
Dan membikin reaksi alami ketakpedulian.
(Dan aku, Tiresias, telah menyimpan setiap penderitaan,
Telah ditakdirkan terbaring di dipan atau tilam yang sama;
Aku yang didudukkan oleh Thebes di bawah dinding
Dan berjalan di antara yang paling hina dari orang-orang mati.)
Melimpahkan satu ciuman terakhir yang merendahkan,
Dan meraba-raba jalan, menemukan tangga gelap…

Perempuan itu berbalik dan menatap sesaat di kaca,
Hampir tidak menyadari kekasihnya telah pergi;
Otaknya mengijinkan selintas pikiran kembali:
“Telah selesai dilakukan: dan aku senang telah berakhir.”
Ketika perempuan cantik itu membungkuk dengan lugu
Dan melangkah kembali ke kamarnya, sendirian,
Spontan ia merapikan rambutnya dengan telapak tangan,
Kemudian memutar rekaman pada gramofon.

“Aku mendengar musik ini menjalar di atas ombak liar”
Dan sepanjang Strand, hingga Queen Victoria Street.
O Kotanya kota, terkadang dapat kudengar
Di samping bar umum di Lower Thames Street,
Rengekan menyenangkan dari satu mandolin
Juga denting dan obrolan dari dalam
Ruang manusia-ikan pada siang hari: di sanalah dinding
Tempat Magnus Sang Martir tak henti menahan
Keindahan emas dan putih Ionia tak terjelaskan.

               Keringat sungai
               Menanggung
               Minyak dan tar
               Tongkang terapung
               Sebab arus berputar
               Layar merah
               Terbentang
               Tekanan angin, berayun pada tiang.
               Tongkang basah
               Batang-batang kayu terapung
               Tiba di Greenwich
               Melewati Kepulauan Anjing.
                                                       Weialala Leia
                                                       Wallala leialala

               Elizabeth dan Leicester
               Bersama mengayuh campang
               Bentuk buritan perahu
               Sebuah cangkang emas
               Merah dan keemasan
               Gelombang yang lekas
               Surut di kedua pantai
               Angin barat daya bersulih
               Kini mengalir ke hilir
               Dentang lonceng bergema
               Dari puncak menara putih.
                                                      Weialala Leia
                                                      Wallala leialala

“Trem dan pohon-pohon berdebu.
Highbury selalu membosankan aku. Richmond dan Kew
Membuka kancingku. Bersama Richmond kuangkat lututku
Terlentang di lantai kano sempit itu.”

“Kakiku ada di Moorgate, dan hatiku
Di bawah kakiku. Setelah afair singkat
Lelaki itu menangis. Dia menjanjikan ‘awal baru.’
Aku tak berkomentar. Apa lagi yang mesti kubenci? “

“Di Margate Sands.
Dapat kuhubungkan
Kehampaan dengan ketiadaan.
Kuku-kuku patah dari tangan kotor.
Rakyatku sungguh rendah hati,
Rakyat yang tak mengharapkan apa-apa lagi.”
                       La la

Demi Kartago maka aku datang

Bakar bakar bakar bakar
Ya Tuhan Yang Maha Pemberani keluarkan aku
Ya Tuhan Yang Maha Pemberani

bakarlah aku

IV. Kematian oleh Air 

Phlebas dari Fenisia, dua minggu mati,
Lupa jeritan burung camar, dan gelombang samudera
Plus rugi-laba.
                        Arus bawah laut
Membawa belulang dalam bisikan. Saat lelaki itu bangkit dan jatuh
Dia melewati tahapan usia dan pemuda itu
Memasuki pusaran air.
                                     Yahudi atau bukan Yahudi
Hai orang yang memutar roda dan menatap arah angin,
Pertimbangkan Phlebas, yang pernah tampan dan tinggi seperti Anda.

V. Sabda Guruh  

Setelah nyala obor menyinari wajah berkeringat
Setelah senyap yang dingin di kebun menghangat
Setelah penderitaan di wilayah berbatu
Teriakan dan sedu-sedan itu
Penjara dan istana dan dentam
Guntur musim semi di atas pegunungan
Lelaki yang tinggal sekarang telah wafat
Kami yang tinggal sekarang hanya sekarat
Menyimpan sedikit kesabaran

Di sini tak ada air, hanya batu
Batu dan tak ada air dan jalan berpasir
Jalan berliku menanjak di antara pegunungan
Semata pegunungan berbatu tanpa air
Jika ada air kita pun harus berhenti dan minum
Di antara batu seseorang tak bisa berhenti atau berpikir
Keringat kering dan kaki di pasir
Jika hanya ada air di antara batu
Mulut gunung mati penuh gigi busuk dan tak bisa meludah
Di sini seseorang tak bisa berdiri atau berbaring atau duduk
Bahkan tak ada keheningan di pegunungan
Tapi guntur mandul ranggas tanpa hujan
Bahkan tak ada kesendirian di pegunungan
Tapi tampang merah kusut mencibir dan kerap membentak
Dari depan pintu rumah itu kini telah lingsir
                                        Jika ada air
            Dan tak ada batu
            Jika ada batu
            Dan juga air
            Dan air
            Musim semi
            Sebuah kolam renang di antara batu
            Jika ada ricik air
            Tak ada derik jangkrik
            Dan desir rumputan
            Tapi suara air di daerah berbatu
            Tempat murai-pertapa berkicau di pohon-pohon pinus
            Tik tak tik tak tik tak tik
            Tapi tetap tak ada air

Siapa itu orang ketiga yang berjalan selalu di sampingmu?
Ketika kuhitung, hanya ada kau dan aku
Namun ketika kulihat di depan jalan lurus putih itu
Selalu ada satu lagi orang berjalan di sampingmu
Bergegas terbungkus mantel coklat, berkerudung
Aku tak tahu apakah lelaki atau perempuan
—Yang pasti ia selalu berjalan di sampingmu?

Apakah yang terdengar melengking di udara itu
Tak lain gemuruh ratap keibuan
Siapakah kerumunan orang-orang berkerudung hitam itu
Di dataran tak berujung, di tanah lekang kerap membuat tersandung
Yang dikelilingi cakrawala datar
Apakah kota di puncak pegunungan
Yang retak dan dibangun kembali dan meledak di udara viola
Reruntuhan menara
Yerusalem Athena Alexandria
London Wina
Tak nyata

Perempuan itu menarik rambut panjang hitamnya kencang-kencang
Memasangnya sebagai dawai dan memainkan musik sedih
Dan kelelawar berwajah bayi dalam cahaya viola
Berdesing, dan mengepakkan sayap-sayapnya
Dan turun merangkaki dinding hitam dengan kepala ke bawah
Dan jungkir balik di udara, tepatnya di dalam menara
Yang mendentangkan lonceng peringatan, pada waktu tertentu
Dan gelombang cericit dari sumur kosong dan lubuk kerontang.

Dalam lembah membusuk di antara pegunungan ini
Di bawah samar sinar bulan, rumput-rumput bernyanyi
Di sekitar makam tak terurus, di sekitar kapel tua
Yang kini tinggal kapel kosong belaka, tinggal rumah angin.
Kapel itu tak memiliki jendela, dan ayunan pintu,
Tak bakal membahayakan tulang kering seseorang.
Hanya ayam jantan yang ngaceng di atas bubungan
Ku ku ku ku ku ku ruuyuk
Dalam kilatan petir. Kemudian semacam hembusan basah
Membawa hujan.

Cekungan Gangga, dan daunan terkulai
Menunggu hujan tak kunjung tiba, sedangkan awan hitam
Di sana bergumpal terlihat amat jauhnya, di atas Himavant.
Hutan merunduk, berpunuk dalam keheningan.
Kemudian sabda guruh
DAR
Datta: apa yang telah kita diberikan?
Temanku, darah gemetar dalam hatiku
Keberanian kasar dalam semacam momen kepasrahan
Adalah abad kehati-hatian yang tak dapat dibatalkan
Dengan ini, hanya dengan ini, kita telah ada
Dan tak dapat dicari dalam kabar hingar kematian kita
Atau dalam ingatan terbungkus benang laba-laba pemurah
Atau di bawah segel rusak dari seorang pengacara ramping
Dalam kamar kosong kita
DAR
Dayadhvam: Aku telah mendengar kunci
Diputar sekali di pintu lalu cukup diputar sekali lagi
Kami berpikir tentang kunci, setiap orang dalam penjara
Berpikir tentang kunci, masing-masing mengakui penjara
Hanya pada malam hari, rumor tentang berkat surga
Sejenak kembali menghidupkan rusa Coriolanus
DAR
Damyata: Perahu telah merespon
Dengan riang, bagi tangan yang ahli dengan layar dan campang
Laut sedang tenang, hatimu sekali lagi akan merespon
Dengan riang, ketika diundang, merebut ketaatan
Untuk mengendalikan tangan.

                                               Aku duduk di tepi pantai, sendiri
Memancing, di belakangku hanya dataran gersang
Mestikah aku mengatur kembali tanah dalam rantai warisan ini?
Jembatan London kembali tumbang dan tumbang dan tumbang
Poi s’ascose nel foco che gli Affina (7)
Quando fiam uti chelidon—O seriti dari segala seriti (8)
Le Prince d’Aquitaine à la tour abolie (9)
Pada fragmen ini telah kupunya penopang buat menghadapi
Keruntuhanku andai kelak Ile merasa lebih cocok denganmu.
Kesintingan Hieronymo memang tiada bandingnya.
Datta. Dayadhvam. Damyata.
                 Shanti     shanti     shanti

CATATAN:

(1) Terjemahan dari bahasa Italia:

IL MIGLIOR FABBRO

(Sang Pandai Besi Terbaik)

(2) Terjemahan larik berbahasa Jerman:

Bin gar keine Russin, stamm’ aus Litauen, echt deutsch.

(Bukan orang Rusia, hanya kelahiran Lithuania, warga Jerman)

(3) Terjemahan larik berbahasa Jerman:

Frisch weht der Wind
Der Heimat zu,
Mein Irisch Kind,
Wo weilest du?

(Angin menghembus garang
Tanah air,
Irlandiaku tersayang,
Di manakah kau kini?)

(4) Terjemahan larik berbahasa Jerman:

Oed’ und leer das meer

(Sesepi dan sehampa lautan)

(5) Terjemahan larik berbahasa Prancis:

“You! hypocrite lecteur!—mon semblable,—mon frère!”

(“Kamu! pembaca munafik—seperti aku,—saudaraku!”)

(6) Terjemahan larik berbahasa Prancis:

Et O ces voix d’enfants, chantant dans la coupole!

(Dan O beginilah suara anak-anak, bernyanyi di dalam kubah!)

(7) Terjemahan larik berbahasa Italia:

Poi s’acose nel foco che gli Affina

(Ia menyembunyikan dirinya di dalam api suci).

(8) Terjemahan larik berbahasa Italia:

Quando fiam uti chelidon

(Ketika saya akan menjadi seperti seriti).

(9) Terjemahan larik berbahasa Prancis:

Le Prince d’Aquitaine tur abolie la

(Pangeran Aquitaine dalam menara hancur).

(10) DA, diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi DAR, adalah onomatope (tiruan bunyi) dari suara guntur.

(11) Datta artinya “memberi”; Dayadhvam artinya “memiliki belas kasih”; dan Damyata artinya “memiliki pengendalian diri”. Tiga konsep spiritual Hindu yang diambil dari bahasa Sansekerta itu ada di dalam kitab Upanishad.

(12) Shanti artinya “damailah”, satu ucapan terkahir dalam lazimnya doa spiritual Hindu.

T. S. Eliot adalah penyair berkewarganegaraan Inggeris yang lahir di Amerika Serikat
pada tahun 1888. Ia dianggap sebagai salah satu penyair yang paling berpengaruh
dalam puisi modern dunia lewat puisinya “The Waste Land”. Ia mendapat penghargaan
Nobel Sastra pada tahun 1948 dan meninggal di London pada tahun 1965.

——————————————————————————-
Diterjemahkan oleh Ahmad Yulden Erwin, 1 – 13 September 2015
——————————————————————————-

THE WASTE LAND

By T. S. Eliot

                               FOR EZRA POUND
                               IL MIGLIOR FABBRO

I. The Burial of the Dead

April is the cruellest month, breeding
Lilacs out of the dead land, mixing
Memory and desire, stirring
Dull roots with spring rain.
Winter kept us warm, covering
Earth in forgetful snow, feeding
A little life with dried tubers.
Summer surprised us, coming over the Starnbergersee
With a shower of rain; we stopped in the colonnade,
And went on in sunlight, into the Hofgarten,
And drank coffee, and talked for an hour.
Bin gar keine Russin, stamm’ aus Litauen, echt deutsch.
And when we were children, staying at the arch-duke’s,
My cousin’s, he took me out on a sled,
And I was frightened. He said, Marie,
Marie, hold on tight. And down we went.
In the mountains, there you feel free.
I read, much of the night, and go south in the winter.

What are the roots that clutch, what branches grow
Out of this stony rubbish? Son of man,
You cannot say, or guess, for you know only
A heap of broken images, where the sun beats,
And the dead tree gives no shelter, the cricket no relief,
And the dry stone no sound of water. Only
There is shadow under this red rock,
(Come in under the shadow of this red rock),
And I will show you something different from either
Your shadow at morning striding behind you
Or your shadow at evening rising to meet you;
I will show you fear in a handful of dust.
                      Frisch weht der Wind
                      Der Heimat zu
                      Mein Irisch Kind,
                      Wo weilest du?
“You gave me hyacinths first a year ago;
“They called me the hyacinth girl.”
—Yet when we came back, late, from the Hyacinth garden,
Your arms full, and your hair wet, I could not
Speak, and my eyes failed, I was neither
Living nor dead, and I knew nothing,
Looking into the heart of light, the silence.
Oed’ und leer das Meer.

Madame Sosostris, famous clairvoyante,
Had a bad cold, nevertheless
Is known to be the wisest woman in Europe,
With a wicked pack of cards. Here, said she,
Is your card, the drowned Phoenician Sailor,
(Those are pearls that were his eyes. Look!)
Here is Belladonna, the Lady of the Rocks,
The lady of situations.
Here is the man with three staves, and here the Wheel,
And here is the one-eyed merchant, and this card,
Which is blank, is something he carries on his back,
Which I am forbidden to see. I do not find
The Hanged Man. Fear death by water.
I see crowds of people, walking round in a ring.
Thank you. If you see dear Mrs. Equitone,
Tell her I bring the horoscope myself:
One must be so careful these days.

Unreal City,
Under the brown fog of a winter dawn,
A crowd flowed over London Bridge, so many,
I had not thought death had undone so many.
Sighs, short and infrequent, were exhaled,
And each man fixed his eyes before his feet.
Flowed up the hill and down King William Street,
To where Saint Mary Woolnoth kept the hours
With a dead sound on the final stroke of nine.
There I saw one I knew, and stopped him, crying: “Stetson!
“You who were with me in the ships at Mylae!
“That corpse you planted last year in your garden,
“Has it begun to sprout? Will it bloom this year?
“Or has the sudden frost disturbed its bed?
“Oh keep the Dog far hence, that’s friend to men,
“Or with his nails he’ll dig it up again!
“You! hypocrite lecteur!—mon semblable,—mon frère!”

           
II. A Game of Chess

The Chair she sat in, like a burnished throne,
Glowed on the marble, where the glass
Held up by standards wrought with fruited vines
From which a golden Cupidon peeped out
(Another hid his eyes behind his wing)
Doubled the flames of sevenbranched candelabra
Reflecting light upon the table as
The glitter of her jewels rose to meet it,
From satin cases poured in rich profusion;
In vials of ivory and coloured glass
Unstoppered, lurked her strange synthetic perfumes,
Unguent, powdered, or liquid—troubled, confused
And drowned the sense in odours; stirred by the air
That freshened from the window, these ascended
In fattening the prolonged candle-flames,
Flung their smoke into the laquearia,
Stirring the pattern on the coffered ceiling.
Huge sea-wood fed with copper
Burned green and orange, framed by the coloured stone,
In which sad light a carvéd dolphin swam.
Above the antique mantel was displayed
As though a window gave upon the sylvan scene
The change of Philomel, by the barbarous king
So rudely forced; yet there the nightingale
Filled all the desert with inviolable voice
And still she cried, and still the world pursues,
“Jug Jug” to dirty ears.
And other withered stumps of time
Were told upon the walls; staring forms
Leaned out, leaning, hushing the room enclosed.
Footsteps shuffled on the stair.
Under the firelight, under the brush, her hair
Spread out in fiery points
Glowed into words, then would be savagely still.

     “My nerves are bad tonight. Yes, bad. Stay with me.
“Speak to me. Why do you never speak. Speak.
     “What are you thinking of? What thinking? What?
“I never know what you are thinking. Think.”

  I think we are in rats’ alley
Where the dead men lost their bones.

      “What is that noise?”
                          The wind under the door.
“What is that noise now? What is the wind doing?”
                           Nothing again nothing.
                                                        “Do
“You know nothing? Do you see nothing? Do you remember
“Nothing?”

       I remember
Those are pearls that were his eyes.
“Are you alive, or not? Is there nothing in your head?”  

                                                      But
O O O O that Shakespeherian Rag—
It’s so elegant
So intelligent
“What shall I do now? What shall I do?”
“I shall rush out as I am, and walk the street
“With my hair down, so. What shall we do tomorrow?
“What shall we ever do?”
                                               The hot water at ten.
And if it rains, a closed car at four.
And we shall play a game of chess,
Pressing lidless eyes and waiting for a knock upon the door.

When Lil’s husband got demobbed, I said—
I didn’t mince my words, I said to her myself,
HURRY UP PLEASE ITS TIME
Now Albert’s coming back, make yourself a bit smart.
He’ll want to know what you done with that money he gave you
To get yourself some teeth. He did, I was there.
You have them all out, Lil, and get a nice set,
He said, I swear, I can’t bear to look at you.
And no more can’t I, I said, and think of poor Albert,
He’s been in the army four years, he wants a good time,
And if you don’t give it him, there’s others will, I said.
Oh is there, she said. Something o’ that, I said.
Then I’ll know who to thank, she said, and give me a straight look.
HURRY UP PLEASE ITS TIME
If you don’t like it you can get on with it, I said.
Others can pick and choose if you can’t.
But if Albert makes off, it won’t be for lack of telling.
You ought to be ashamed, I said, to look so antique.
(And her only thirty-one.)
I can’t help it, she said, pulling a long face,
It’s them pills I took, to bring it off, she said.
(She’s had five already, and nearly died of young George.)
The chemist said it would be all right, but I’ve never been the same.
You are a proper fool, I said.
Well, if Albert won’t leave you alone, there it is, I said,
What you get married for if you don’t want children?
HURRY UP PLEASE ITS TIME
Well, that Sunday Albert was home, they had a hot gammon,
And they asked me in to dinner, to get the beauty of it hot—
HURRY UP PLEASE ITS TIME
HURRY UP PLEASE ITS TIME
Goonight Bill. Goonight Lou. Goonight May. Goonight.
Ta ta. Goonight. Goonight.
Good night, ladies, good night, sweet ladies, good night, good night.

III. The Fire Sermon

The river’s tent is broken: the last fingers of leaf
Clutch and sink into the wet bank. The wind
Crosses the brown land, unheard. The nymphs are departed.
Sweet Thames, run softly, till I end my song.
The river bears no empty bottles, sandwich papers,
Silk handkerchiefs, cardboard boxes, cigarette ends
Or other testimony of summer nights. The nymphs are departed.
And their friends, the loitering heirs of city directors;
Departed, have left no addresses.
By the waters of Leman I sat down and wept . . .
Sweet Thames, run softly till I end my song,
Sweet Thames, run softly, for I speak not loud or long.
But at my back in a cold blast I hear
The rattle of the bones, and chuckle spread from ear to ear.

A rat crept softly through the vegetation
Dragging its slimy belly on the bank
While I was fishing in the dull canal
On a winter evening round behind the gashouse
Musing upon the king my brother’s wreck
And on the king my father’s death before him.
White bodies naked on the low damp ground
And bones cast in a little low dry garret,
Rattled by the rat’s foot only, year to year.
But at my back from time to time I hear
The sound of horns and motors, which shall bring
Sweeney to Mrs. Porter in the spring.
O the moon shone bright on Mrs. Porter
And on her daughter
They wash their feet in soda water
Et O ces voix d’enfants, chantant dans la coupole!

Twit twit twit
Jug jug jug jug jug jug
So rudely forc’d.
Tereu

Unreal City
Under the brown fog of a winter noon
Mr. Eugenides, the Smyrna merchant
Unshaven, with a pocket full of currants
C.i.f. London: documents at sight,
Asked me in demotic French
To luncheon at the Cannon Street Hotel
Followed by a weekend at the Metropole.

At the violet hour, when the eyes and back
Turn upward from the desk, when the human engine waits
Like a taxi throbbing waiting,
I Tiresias, though blind, throbbing between two lives,
Old man with wrinkled female breasts, can see
At the violet hour, the evening hour that strives
Homeward, and brings the sailor home from sea,
The typist home at teatime, clears her breakfast, lights
Her stove, and lays out food in tins.
Out of the window perilously spread
Her drying combinations touched by the sun’s last rays,
On the divan are piled (at night her bed)
Stockings, slippers, camisoles, and stays.
I Tiresias, old man with wrinkled dugs
Perceived the scene, and foretold the rest—
I too awaited the expected guest.
He, the young man carbuncular, arrives,
A small house agent’s clerk, with one bold stare,
One of the low on whom assurance sits
As a silk hat on a Bradford millionaire.
The time is now propitious, as he guesses,
The meal is ended, she is bored and tired,
Endeavours to engage her in caresses
Which still are unreproved, if undesired.
Flushed and decided, he assaults at once;
Exploring hands encounter no defence;
His vanity requires no response,
And makes a welcome of indifference.
(And I Tiresias have foresuffered all
Enacted on this same divan or bed;
I who have sat by Thebes below the wall
And walked among the lowest of the dead.)
Bestows one final patronising kiss,
And gropes his way, finding the stairs unlit . . .

She turns and looks a moment in the glass,
Hardly aware of her departed lover;
Her brain allows one half-formed thought to pass:
“Well now that’s done: and I’m glad it’s over.”
When lovely woman stoops to folly and
Paces about her room again, alone,
She smoothes her hair with automatic hand,
And puts a record on the gramophone.

“This music crept by me upon the waters”
And along the Strand, up Queen Victoria Street.
O City city, I can sometimes hear
Beside a public bar in Lower Thames Street,
The pleasant whining of a mandoline
And a clatter and a chatter from within
Where fishmen lounge at noon: where the walls
Of Magnus Martyr hold
Inexplicable splendour of Ionian white and gold.

               The river sweats
               Oil and tar
               The barges drift
               With the turning tide
               Red sails
               Wide
               To leeward, swing on the heavy spar.
               The barges wash
               Drifting logs
               Down Greenwich reach
               Past the Isle of Dogs.
                                 Weialala leia
                                 Wallala leialala

               Elizabeth and Leicester
               Beating oars
               The stern was formed
               A gilded shell
               Red and gold
               The brisk swell
               Rippled both shores
               Southwest wind
               Carried down stream
               The peal of bells
               White towers
                                Weialala leia
                                Wallala leialala

“Trams and dusty trees.
Highbury bore me. Richmond and Kew
Undid me. By Richmond I raised my knees
Supine on the floor of a narrow canoe.”

“My feet are at Moorgate, and my heart
Under my feet. After the event
He wept. He promised a ‘new start.’
I made no comment. What should I resent?”

“On Margate Sands.
I can connect
Nothing with nothing.
The broken fingernails of dirty hands.
My people humble people who expect
Nothing.”
                       la la

To Carthage then I came

Burning burning burning burning
O Lord Thou pluckest me out
O Lord Thou pluckest

burning

IV. Death by Water

Phlebas the Phoenician, a fortnight dead,
Forgot the cry of gulls, and the deep sea swell
And the profit and loss.
                                   A current under sea
Picked his bones in whispers. As he rose and fell
He passed the stages of his age and youth
Entering the whirlpool.
                                   Gentile or Jew
O you who turn the wheel and look to windward,
Consider Phlebas, who was once handsome and tall as you.

V. What the Thunder Said

After the torchlight red on sweaty faces
After the frosty silence in the gardens
After the agony in stony places
The shouting and the crying
Prison and palace and reverberation
Of thunder of spring over distant mountains
He who was living is now dead
We who were living are now dying
With a little patience

Here is no water but only rock
Rock and no water and the sandy road
The road winding above among the mountains
Which are mountains of rock without water
If there were water we should stop and drink
Amongst the rock one cannot stop or think
Sweat is dry and feet are in the sand
If there were only water amongst the rock
Dead mountain mouth of carious teeth that cannot spit
Here one can neither stand nor lie nor sit
There is not even silence in the mountains
But dry sterile thunder without rain
There is not even solitude in the mountains
But red sullen faces sneer and snarl
From doors of mudcracked houses
                                      If there were water
   And no rock
   If there were rock
   And also water
   And water
   A spring
   A pool among the rock
   If there were the sound of water only
   Not the cicada
   And dry grass singing
   But sound of water over a rock
   Where the hermit-thrush sings in the pine trees
   Drip drop drip drop drop drop drop
   But there is no water

Who is the third who walks always beside you?
When I count, there are only you and I together
But when I look ahead up the white road
There is always another one walking beside you
Gliding wrapt in a brown mantle, hooded
I do not know whether a man or a woman
—But who is that on the other side of you?

What is that sound high in the air
Murmur of maternal lamentation
Who are those hooded hordes swarming
Over endless plains, stumbling in cracked earth
Ringed by the flat horizon only
What is the city over the mountains
Cracks and reforms and bursts in the violet air
Falling towers
Jerusalem Athens Alexandria
Vienna London
Unreal

A woman drew her long black hair out tight
And fiddled whisper music on those strings
And bats with baby faces in the violet light
Whistled, and beat their wings
And crawled head downward down a blackened wall
And upside down in air were towers
Tolling reminiscent bells, that kept the hours
And voices singing out of empty cisterns and exhausted wells.

In this decayed hole among the mountains
In the faint moonlight, the grass is singing
Over the tumbled graves, about the chapel
There is the empty chapel, only the wind’s home.
It has no windows, and the door swings,
Dry bones can harm no one.
Only a cock stood on the rooftree
Co co rico co co rico
In a flash of lightning. Then a damp gust
Bringing rain

Ganga was sunken, and the limp leaves
Waited for rain, while the black clouds
Gathered far distant, over Himavant.
The jungle crouched, humped in silence.
Then spoke the thunder
DA
Datta: what have we given?
My friend, blood shaking my heart
The awful daring of a moment’s surrender
Which an age of prudence can never retract
By this, and this only, we have existed
Which is not to be found in our obituaries
Or in memories draped by the beneficent spider
Or under seals broken by the lean solicitor
In our empty rooms
DA
Dayadhvam: I have heard the key
Turn in the door once and turn once only
We think of the key, each in his prison
Thinking of the key, each confirms a prison
Only at nightfall, aethereal rumours
Revive for a moment a broken Coriolanus
DA
Damyata: The boat responded
Gaily, to the hand expert with sail and oar
The sea was calm, your heart would have responded
Gaily, when invited, beating obedient
To controlling hands

                                    I sat upon the shore
Fishing, with the arid plain behind me
Shall I at least set my lands in order?
London Bridge is falling down falling down falling down
Poi s’ascose nel foco che gli affina
Quando fiam uti chelidon—O swallow swallow
Le Prince d’Aquitaine à la tour abolie
These fragments I have shored against my ruins
Why then Ile fit you. Hieronymo’s mad againe.
Datta. Dayadhvam. Damyata.
                  Shantih     shantih     shantih