Pulung

Bagikan/Suka/Tweet:

Sudjarwo
Oleh: Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Judul di atas mengingatkan dua hal. Pertama, dahulu ada teman sejawat yang bernama Mas Pulung Suwandaru. Terakhir jabatan beliau adalah Kepala Musium Lampung. Terakhir jumpa beliau beberapa tahun lalu di Lampung Timur saat-sama menjadi narasumber dalam satu seminar kesejarahan. Kedua, ada senior dosen di salah satu fakultas tertua di universitas tempat dahulu mengabdi yaitu bernama Muhamad Pulung (almarhum). Pak Pulung termasuk perintis fakultas tertua dan ternama itu.

Dalam mitologi Jawa, pulung adalah cahaya yang jatuh dari langit berwarna biru kehijauan. Cahaya itu terpancar bagai manik-manik keemasan dan tembaga. Biasanya orang yang kejatuhan pulung hidupnya akan dipenuhi oleh belas kasihan kepada sesama. Banyak orang akan hormat sehingga ia disegani.

Pulung juga dimaknai seakan-akan merupakan wahyu yang dinanti-nantikan jatuh atau mengena pada sosok atau seseorang yang diramalkan bakal menjadi tokoh terkemuka. Pada masyarakat Jawa pada umumnya ini diyakini saat berlangsung pemilihan Kepala Desa. Setiap kali ada pemilihan, pasti ada sebuah “ritual.”

Pagi-pagi jauh sebelum matahari terbit sekitar subuh, penduduk desa, keluar rumah. Mereka menuju ke tempat yang terbuka, yang bisa melihat langit tak terhalangi, biasanya di daerah persawahan. Di tempat itu, mereka menunggu pertanda dari langit, yang akan menjadi petunjuk siapa yang direstui Kuasa Langit untuk memimpin mereka. Tanda dari Kuasa Langit itu bisa berupa andaru (ndaru) atau pulung. Namun, ada sumber lain yang membedakan antara ndaru dan pulung. Kalau andaru berwujud cahaya kuning, pulung yang juga jatuh dari langit bercorak biru kehijauan. Umumnya seorang yang kejatuhan pulung, akan menjadi orang terhormat, disegani. Orang yang ketiban ndaru, akan sangat berbahagia, mendapat keberuntungan. Maka ada istilah “koyo ketiban ndaru”, maksudnya mendapat kebahagiaan tak terkira, dalam berbagai rupa seperti kejatuhan ndaru.

Apa kaitannya dengan pesta demokrasi yang baru saja selesai kita laksanakan? Ternyata pesta demokrasi kemarin itu kita sedang mengumpulkan serpihan pulung-pulung kecil agar menjadi besar dan berwujud ndaru yang akan dijatuhkan kepada siapa. Serpihan pulung itu termanisfestasikan pada surat suara yang kita joblos dimasukkan kotak, kemudian dikumpulkan, dihitung untuk melihat volume atau besaran “Pulung” yang tercipta.

Nah, persoalannya sekarang ada pada pengumpulan serpihan pulung itu, sebab cenderung pulung ditukangi di sana oleh tangan-tangan yang berkebutuhan akan pulung. Tidak salah jika seorang redaktur media online ini mengatakan apakah masih relevan dengan pulung; karena mengingat campurtangan manusia lebih dominan dan cenderung masif.

Persoalan teknis memang ada pada wilayah manusia, namun kepastian tetap ada pada wilayah keilahian. Oleh sebab itu, kita harus mau berlapang dada untuk menerima hasil akhir, karena itulah kodrat yang merupakan utusan Ilahi untuk memberikan wujud dalam bentuk suatu kepastian.

Ali bin Abi Thalib pernah berpesan: “Apa yang menjadi milikmu akan kamu temukan dengan sendirinya”. Orang Jawa bilang jika sesuatu itu memang milik kita maka dipalangana mlumpat, didhadhunga medhot. Artinya, sesuatu itu jika ditakdirkan untuk kita sekalipun dipalang dia akan melompat dan sekalipun ditali dia akan putus.

Atas dasar itu semua mari kita menjalani takdir kita dengan ihlas dan legowo, karena apa yang dikehendaki kita kalau itu bukan milik kita, pasti lepas dengan caranya. Sebaliknya, jika itu memang untuk kita, sekalipun kita menolak keras maka tidak ada cara lain kecuali menerimanya. Semua sudah tertulis di Lauhul Mahfuz, tidak ada yang bisa mengubah kecuali Yang Maha Kuasa .

Salam waras.