Putar Balik

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Hampir setiap jalan yang dibelah oleh pembatas jalan permanen, di sepanjang jalan itu ada daerah untuk balik arah atau sering disebut putar balik. Terkedang menggunakan bahasa asing return. Pada waktu-waktu tertentu wilayah ini menjadi daerah macet, karena banyak kendaraan yang ingin putar balik dan jalan terus bertumpu di daerah ini.

Ternyata pengertian return dengan putar balik itu secara filosofis berbeda. Return lebih kepada pengertian ekonomi. Dilansir dari Investopedia, financial return atau yang biasa dikenal sebagai return adalah nilai yang didapatkan baik bertambah atau berkurang karena investasi dalam beberapa waktu tertentu. Sementara kalau dalam peraturan lalu lintas, dimaknai sebagai memutar ke arah yang berlawanan. Namun, dalam pemahaman sosiopsikologis bisa berarti mengatakan (mengutarakan) yang tidak sebenarnya; memutar-mutar kenyataan; bisa juga membelit-belit (tentang perkataan, janji, kebenaran, berita, dan sebagainya).

Tulisan ini lebih fokus pada makna terakhir tadi, dengan alasan banyak peristiwa sosial akhir-akhir ini yang terkesan faktanya diputarbalikkan tidak sesuai dengan kenyataan. Jika itu dilakukan oleh orang biasa bukan tokoh masyarakat atau pejabat, barangkali dampaknya tidak begitu luas. Berbeda jika itu dilakukan oleh mereka yang berposisi sebagai tokoh masyarakat atau paling tidak mereka yang memiliki posisi kunci. Tentu saja dampaknya akan meluas kemana-mana. Pembaca atau penikmat keputarbalikan tadi tidak selamanya melakukan cek ulang. Kebanyakan mereka menerima apa adanya dan memberi respons sesukanya.

Lebih mengerikan lagi semua itu berlindung pada atas nama demokrasi, atas nama kebebasan berpendapat; sampai sampai kepala negara sebagai symbol negara pun tidak lepas dari caci makian. Lebih seru lagi juga atas nama hal yang sama, agama juga mejadi objek olok-olokan yang terkadang pengoloknya sejatinya tidak paham akan agama yang dioloknya. Setelah undang-undang yang mengatur dikenakan, dengan mudah putar balik meminta maaf dan dengan menunjukkan mimik wajah minta dikasihani. Tidak jarang semula mereka garang, berbalik menjadi ayam sayur yang tanpa daya menjadi “cunun” seperti orang bego, atau mungkin membegokan diri.

Menjadi ironis lagi hal itu dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi. Seharusnya mereka sudah memiliki kedewasaan berpikir dan bertindak, ternyata tingkat pendidikan formal tidak berbanding searah dengan kedewasaan berpikir dan bertindak. Ini menunjukkan ada yang tidak beres dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan. Sebab, aspek perilaku sering tidak simetris dengan konasi yang diperoleh sebagai pengetahuan maupun ketrampilan.

Nilai-nilai luhur bangsa tampaknya terabaikan, bahkan mungkin tertinggal dalam proses pembelajaran, atau bisa jadi hal tersebut hanya diposisikan sebagai dampak samping, bahkan mungkin dampak lanjut. Tampaknya ada yang salah, sebagai contoh mereka diberi pembelajari teori demokrasi, tetapi dipertontonkan demokrasi yang berbeda jauh dengan teori yang mereka pelajari. Akhirnya mereka hanya mengejar nilai huruf saat belajar, justru nilai makruf yang seharusnya diperoleh, ternyata tidak mereka dapatkan, baik di dalam kelas, maupun di luar kelas bahkan masyarakat sekalipun. Menjadi ironi lagi ternyata pemberi materi dalam proses pembelajaran, tidak menunjukkan kesinkronan antara yang diteorikan dengan yang dipraktikkan.

Program menyinkronkan keduanya sudah sejak zaman lama dilakukan. Kalau boleh disebut dari masa ke masa. Namun kenyataannya semakin jauh saja. Memang pekerjaan menyinkronkan keduanya tidak akan terjadi sampai kapan pun, bahkan boleh dikatakan akan sia-sia. Namun ada yang lebih utama di sana. Yaitu  menanamkan sikap untuk bersiap menerima perubahan. Tampaknya sikap ini jauh lebih penting dari materi. Sebab,  materi relatif tidak berubah. Sikap untuk menerima perubahan, apa pun materinya, itu adalah sesuatu yang mendesak.

Akselerasi perubahan akhir-akhir ini menerpa semua elemen dunia. Bisa dibayangkan ada pemancar radio yang usianya sudah menembus abad, hanya dalam sekejap harus tutup karena ditinggalkan oleh pendengarnya. Surat kabar sudah tak terbilang banyaknya yang harus menggulung mesin cetaknya, karena pembaca sudah bergeser ke digital news. Masih banyak lagi bidang kehidupan yang berubah, termasuk pada waktunya akan menutup gedung-gedung megah untuk kelas kelas sekolah, karena yang diperlukan hanya media pemancar mini dalam genggaman untuk membangun interaksi.

Ternyata Tuhan dalam memberikan sesuatu kepada umatnya ada dampak iring yang menyertainya. Esensi mengenal itu semua adalah dengan kemampuan menangkap perubahan melalui sikap menghadapi perubahan.

Selamat ngopi pagi!