Raden Sumantri dan Prabu Ramawijaya

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Dikisahkan oleh dalang wayang purwa, pada saat Raden Sumantri, Patih Kerajaan Maospati, sedang menghadap Raja Prabu Ramawijaya pada pertemuan agung.

“Bisakah hamba sedikit bertanya tentang negara dan cara memimpin, Tuanku? Jika Paduka berkenan saya dan semua yang hadir akan sangat gembira mendapatkan wejangan dari paduka,” kata Raden Sumantri.

Ramawijaya agak sedikit terperanjat.

“Baiklah akan aku berikan sedikit ilmu kenegaraan. Pemimpin harus mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. Keberanian, keadilan, dan pengorbanan adalah sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pertanyaanku sekarang: bagaimana seorang pemimpin dapat memastikan kedamaian bagi rakyatnya?” ujar Ramawijaya.

“Dengan menegakkan laku utama seperti, menjaga keadilan, dan memerangi segala bentuk keangkaramurkaan. Seorang pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya,” kata Sumantri.

“Engkau benar Sumantri,” tukas Ramawijaya,”Oleh sebab itu, pemimpin juga harus memiliki jiwa pengabdian yang tinggi; namun pengabdian itu tidak buta karena harus berdasarkan kebenaran. Pertanyaannya sekarang adakah batas pengabdian seorang kesatria?”

“Pengabdian tak berbatas jika yang dilayani adalah kebenaran. Namun, jika melenceng dari arah atau jalan kebenaran, pengabdian itu harus dihentikan.”

“Benar Sumantri” kata Ramawijaya , “namun ada sisi lain yang juga harus kita perhatikan bahwa negara hanya akan berjaya jika pemimpinnya menegakkan kebenaran dan memerangi ketidakadilan. Oleh sebab itu hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Negara bukanlah milik seorang raja atau penguasa. Negara adalah milik rakyat, dan hanya dengan menegakkan kebenaran, sebuah negara akan bertahan lama.”

Sumantri mendengarkan petuah itu sambil berpikir.

“Bagaimanakah keselarasan antara kekuatan dan kebijaksanaan, Paduka ?”

“Seorang pemimpin tidak hanya membutuhkan kekuatan, tetapi juga kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Apakah kekuatan itu cukup untuk memimpin negara? Kekuatan hanyalah alat, tetapi kebijaksanaan adalah pedoman. Seorang pemimpin harus tahu kapan menggunakan kekuatan dan kapan menggunakan hati,” kata Ramawijaya.

“Sumantri,” lanjut Ramawijaya,”keyakinan dan keteguhan itu tumbuh dari kesadaran bahwa setiap tindakan membawa akibat. Ketika kita memilih untuk menjalani laku utama, bertindak benar, adil, dan penuh kasih: maka itulah dasar yang membuat hati tetap kokoh meski godaan datang bertubi-tubi.”

Dengan takzim Sumantri menerima nasihat berharga itu. Namun, dia tetap menyadari kelemahan dirinya.

“Namun Prabu, saya merasa sering gagal menahan diri. Jabatan, kekuasaan, bahkan ambisi pribadi kadang mengalahkan rasa keadilan saya. Bagaimana cara agar saya bisa tetap berjalan di jalan yang benar?”

“Wajar, Sumantri. Manusia bukanlah makhluk yang sempurna. Yang penting bukanlah tidak pernah salah, melainkan bagaimana kita menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan kembali kepada prinsip kebenaran. Ambisi itu baik jika diarahkan untuk kebaikan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi.”

“Lalu bagaimana Prabu jika jalan kebenaran yang saya tempuh justru tidak diterima orang lain? Bukankah sering kali keadilan bertentangan dengan keinginan banyak orang?”

“Keadilan sejati tidak selalu diterima dengan mudah. Kadang ia terasa pahit karena melawan kepentingan sesaat. Tapi yakinlah, waktu akan membuktikan nilainya. Lakukan apa yang benar, bukan apa yang mudah atau populer. Tugas kita adalah menjaga kebenaran, dan hasilnya serahkan pada Sang Maha Kuasa,” jawab Ramawijaya.

“Ajaran paduka benar-benar menjadi penerang bagi saya, Prabu. Tetapi izinkan saya bertanya lagi: bagaimana caranya agar saya bisa membedakan antara keadilan sejati dan sekadar keinginan diri sendiri?”

“Keadilan sejati berasal dari hati yang tulus, yang tidak berpihak pada ego atau hawa nafsu. Dengarkan suara nurani yang murni, dan jika ragu, renungkan dengan jujur: apakah keputusan itu membawa manfaat bagi banyak orang, atau hanya untuk diri sendiri? Kebenaran yang sejati selalu melibatkan pengorbanan,” jawab Ramawijaya.

“Terima kasih, Prabu yang juga sekaligus menjadi guru kami. Saya berjanji untuk terus belajar dan mengendalikan diri agar dapat menjalani laku utama yang paduka ajarkan. Meski berat, saya akan berusaha.”

“Itulah yang terpenting, Sumantri. Niat yang tulus dan usaha yang terus-menerus. Ingat, kesempurnaan bukan tujuan kita, tapi perjalanan menuju kesempurnaanlah yang memurnikan jiwa kita. Jalani tugasmu dengan penuh tanggung jawab dan cinta kasih, dan yakinlah kebaikan akan selalu menemukan jalannya….”

Pertemuan itu kemudian selesai.Para abdi kerajaaan  merasa bangga memiliki pemimpin yang sangat menguasai tugasnya.

Pembicaraan ini mencerminkan pandangan mendalam tentang bagaimana membangun kehidupan bernegara yang harmonis, adil, dan sejahtera, berdasarkan nilai-nilai luhur. Sayangnya, semua itu hanya ada di dunia pewayangan. Hampir semua kita lupa bahwa tugas kita hanya menjadi baik, bukan terlihat baik. Menjadi bermanfaat, bukan memanfaatkan orang lain.