Sugeng Eko Y
Secara harfiah opini berarti pendapat atau gagasan. Menulis opini berarti mengungkapkan gagasan atau pendapat kita ke dalam bentuk tulisan. Secara sepintas menulis opini memang mudah: tinggal menuangkan apa yang ada di dalam kepala kita ke dalam bentuk bahasa tulis. Namun, dalam praktik, orang yang tidak terbiasa menulis opini akan menghadapi kesulitan luar biasa hanya untuk memulai satu kalimat awal.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Jawabnya cuma satu: karena kita tidak terbiasa berbahasa secara tertib. Lagi pula, berbahasa secara tertib dalam ragam lisan sangat berbeda dengan berhasan secara tertib dalam bentuk tulisan.
Dalam dunia jurnalistik, setidaknya terdapat empat bentuk artikel opini. Pertama, artikel opini yang ditulis secara ilmiah populer (bukan teknis ilmiah), erisi gagasan orisinil, kritis dan segar, bukan terjemahan/saduran. Kedua, artikel opini yang bersifat analitis, untuk masalah-masalah yang dipandang perlu mendapatkan kajian telaah (eksplanatif dan argumentatif, bukan sekadar mendiskripsikan) karena aktualitas dan relevansinya dengan kenyataan-kenyataan aktual yang dihadapi masyarakat.
Ketiga, artikel opini bersifat esai, yakni artikel untuk masalah-masalah yang dipandang perlu mendapatkan penjelasan ataupun tanggapan pemikiran dan renungan (argumentatif dan eksplanatif), karena aktualitas dan relevansinya dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapi masyarakat.
Keempat, artikel opini bersifat komentar ringan untuk masalah-masalah yang dipandang perlu mendapatkan ulasan secara populer atau ringan karena aktualitas dan relevansinya dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapi masyarakat.
Kesulitan pertama seorang penulis opini biasanya adalah pada saat akan memulai menulis. Ketika jari-jemari sudah berada di atas mesin ketik atau keyboard komputer tiba-tiba ide menguap begitu saja. Apa yang akan kita tulis tiba-tiba hilang. Kalau dipaksakan terus menulis, bisa dipastikan yang akan dihasilkan adalah tulisan yang dangkal, tidak ada gereget, dan tidak tajam.
Untuk mengatasi hal itu sebenarnya gampang saja. Persiapkan diri Anda dulu secara matang untuk menulis. Apa yang harus disiapkan pertama kali. Tentu, pada mulanya adalah otak Anda. Seberapa encer otak kita, akan tergambar dalam penulisan kita. Otak yang pas-pasan, akan tampak dari tulisan yang dihasilkan oleh si empunya otak. Setelah isi otak, barulah keterampilan. Seencer apa pun seseorang punya otak, tak akan menjamin dia bisa menulis opini dan resensi dengan baik.
Kenapa? Alasannya sederhana saja. Pertama, penulisan opini dan resensi merupakan sebentuk proses yang mensyaratkan adanya keterampilan. Nah, soal keterampilan, inilah ilmu yang bisa dipelajari. Maka, banyaklah membaca. Penulis yang malas membaca dan mencoba serta terus mencoba menulis, jangan harapkan dia bisa menulis dengan baik. Cukuplah dia “berprofesi” sebagai si pencerita yang suka jual omong besar di warung kopi.
Kalau kita banyak membaca, maka otak kita akan “dipenuhi” oleh banyak ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itulah sebenarnya yang kita cerap lagi pada saat kita menulis artikel opini. Maka itu, jangan harap kita akan bisa menulis opini dengan baik kalau bahan bacaan atau referensi kita hanyalah pas-pasan. Paling banter yang akan keluar dari kepala kita hanyalah pendapat-pendapat kita, yang kemudian kita rangkai dengan kalimat: “Menurut saya…”, “Menurut saya”…
Begitulah, makin banyak membaca dan makin banyak pengetahuan akan semakin memudahkan kita dalam menulis opini. Menjadi penulis opini atau resensi haruslah siap menjadi petarung yang tangguh. Sebab, di medan persaingan “menaklukkan” (redaktur opini) media massa, ada sekian banyak faktor “X” yang berperan. Ada kalanya redaktur opini berperan bak seorang dewa angkuh yang berdiam di dalam tempurung. Ada kalanya pula redaktur opini terlalu terbuka dan banyak eksperimen. Semuanya harus diketahui calon penulis. Sebab, lain penjaga gawang opini akan lain pula kebijakan pemuatan opininya.
Selain soal keterampilan menulis, tentu saja, penulis opini haruslah cerdas dalam menangkap isu. Kalau tidak, siap-siaplah tulisannya masuk keranjang sampah.
Dari mana menangkap isu? Banyak sumber: berita, diskusi, buku baru, dll. Kepandaian menangjkap isu saja tidak cukup. Penulis harus punya perspektif tentang isu. Kalau isu berkaitan dengan kasus yang harus dipecahkan, maka penulis harus punya cara-cara rasional untuk memecahkannya.
Dari mana cara itu dipungut? Gampang saja: seabrek teori, bejibun referens. Tentu saja dengan aneka asumsi, aneka strategi membangun argumen. Teori akan tinggal teori kalau kita tak bisa menerjemahkannya secara gampang. Penulis cerdas bukanlah penulis yang “menyulit-nyulitkan pemikiran mudah”. Penulis yang cerdas adalah mereka yang bisa dengan sangat memikat mempermudah pemikiran atau teori yang sulit.
Berikut tips untuk menulis opini:
1. Pakailah bahasa sederhana
Jika memang pembaca justru pusing setelah membaca tulisan kita, untuk apa kita menulis tulisan? Para calon penulis opini harus ingat, bahwa tulisan ilmiah populer di media massa bukanlah skripsi. Tulisan opini dan resensi di koran atau majalah meruapakan salah satu bentuk karya jurnalistik yang berfungsi memberikan informasi atau pemahaman kepada pembaca tentang suatu hal yang belum mereka ketahui sebelumnya.
Jurnalistik adalah sebuah sistem komunikasi. Karena itu, para penulis harus bisa menyampaikan informasi dengan bahasa yang sederhana dan bisa dipahami pembaca. Kalimat majemuk yang panjang terkadang memang benar menurut tata bahasa. Namun, bila kalimat itu justru membingungkan pembaca, maka gagallah proses komunikasi.
2. Pakailah kalimat-kalimat pendek
Jangan mudah tergoda untuk membuat kalimat-kalimat panjang. Kalau Anda membuat kalimat-kalimat pendek,percayalah, itu akan lebih mudah dipahami ketimbang kalimat-kalimat panjang yang rumit dan tidak fokus. Percayalah bahwa semakin panjang suatu kalimat, akan semakin sulit untuk dipaham.
3. Buatlah kerangka tulisan
Kerangka tulisan berguna agar penulis selalu terkontrol untuk menulis secara fokus dan tidak keluar dari ide awal. Tanpa kerangka tulisan, penulis opini sering tergoda untuk menulis kalimat dan paragraf yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan tema. Bahkan, bisa jadi, paragraf baru yang dibuat bisa dijadikan tulisan baru dengan tema lain.
4. Siapkan Modal
Untuk membuat suatu tulisan opini, penulis harus tetap memperhatikan ejaan. Penguasaan terhadap ejaan yang disempurnakan (EYD) hanyalah salah satu modal. Modal lain adalah (a) akurasi, (b) informasi/referensi yang cukup, (d) ketelitian.
Selamat mencoba!