Opini  

Raja Olah Musim Pilkada

Bagikan/Suka/Tweet:

Herman Batin Mangku*

DALAM adat Saibatin Kabupaten Pesisir Barat, posisi saya paling ujung salah satu ranting pohon tua dan besar marga-marga di Kabupaten Pesisir Krui. Saya hanya pemangku keluarga besar kami dari Pekon Serai, Pesisir Tengah Krui. Meski pohon tua, setahu saya, akarnya kokoh. Semua masyarakat Pesisir Barat merawat sistem adatnya ratusan tahun.

Meski tidak lahir dan besar di kabupaten paling bungsu Provinsi Lampung itu, sebagai anak laki-laki tertua (patrilinial), saya berhak memiliki gelar sesuai posisi tanggungjawab kepemimpinan dalam keluarga besar kami. Setiap kerabat yang mengalami musibah atau berbagi kegembiraan (pesta), baik satu marga maupun marga lain, saya yang otomatis dihubungi mewakili satu rumpun kekerabatan. Demikian pula sebaliknya.

Ada “petatapetitihnya”, etika sopan-santun, standar cara menyampaikan hajat. Semua harus dilakukan langsung secara lisan jika kabar tersebut bersifat kekerabatan. Pemberitauan hanya lewat kartu undangan, apalagi via SMS atau WA, malah bisa dianggap pelecehan. Adat istiadat menjadi pagar budi pekerti, etika, standar moral tak tertulis yang dapat menjaga sistem silaturahmi kekerabatan.

Di Pesisir Barat, ada 16 marga. Setiap kepala adat mempunya kekuasaan, kedudukan, hak, derajat yang sama di wilayah atau marga mereka masing-masing dengan gelar sultan pengeran dalom. Pengeran lalu menunjuk raja-raja sebagai wakil kelompok kekerabatannya. Raja-raja yang kerap bergelar “merah” kemudian mengangkat pemimpin dalam suatu keluarga besar dengan gelar batin.

Semua marga berhimpun untuk memilih semacam koordinator bagi marga-marga tersebut. Terakhir, koordinator marga-marga Pesisir Lampung Barat adalah Almarhum Pun Sultan Dalom Indra Bangsawan, Sai Batin Marga Bengkunat. Sistem adat tersebut telah berproses ratusan tahun. Kolonial Belanda memasukannya sebagai bagian dalam pemerintahannya sejak tahun 1817.

Penjajah Jepang melanjutkannya pada tahun 1942. Dua tahun setelah merdeka, 1947, marga dihapus dalam birokrasi pemerintahan Republik Indonesia. Namun, karena bagian dari tradisi kearifan lokal, bagian dari eksistensi kesukuan, asal-usul kekerabatan, pohon tambo, silsilah keluarga, marga terus memimpin secara defakto masyarakat adatnya.

Sistemnya diwariskan secara turun-temurun. Meski profesi pengeran atau raja hanya buruh, masyarakat adat yang masuk wilayahnya tetap menghormatinya sebagai pemimpin marga mereka. Walau ada warganya yang jauh lebih sukses secara materi, pangkat, dan ilmu pengetahuan, posisi batin, raja, pengeran, apalagi dalom tak dapat tergantikan apa lagi “dibeli”. Semua sudah ada pakemnya.

Coba-coba mengklaim diri jadi dalom, pengeran, raja, batin dan gelar lainnya, orang tersebut bisa-bisa malah terpental dari adat dan siap-siap saja mendapatkan sanksi sosial berjuluk ” Raja Olah”. Apalagi jika tidak ada garis keturunannya, julukannya bisa dipanjangkan lagi jadi “Raja Olah KW-1″. Dimana-mana, ada saja yang nyeleneh.

Ada saja ” oknum” adat yang “mengolah” keinginan seseorang untuk mendapatkan gelar. Masyarakat umum yang tak paham bisa saja manggut-manggut melihat megahnya prosesi adat. Namun, jika kurang pas, alih-alih panen simpati dan dihormati masyarakat, mereka yang memberikan dan menerima gelar malah menuai tertawaan di media sosial.

Apa maksud dan tujuan pemberian gelar kepada pihak yang tak satu pohon kekerabatan? Apakah sebagai wujud penghormatan atau penghargaan?Penghormatan dan penghargaan atas apa? Prestasi atau sumbangsih terhadap masyarakat adat yang memberikan gelarkah? Jika tidak jelas tujuannya, bisa-bisa itu yang dinamanakan “raja olah”. Ngolah untuk tujuan tertentu : dukungan.

Apalagi jelang pilkada. Ramai-ramai berebut simpati masyarakat. Pemberian gelar adat bisa “diolah” untuk menuai simpati dan citra. Jikapun niatnya benar, menjalin ikatan silaturahmi dengan kekerabatan adat lainnya, jelang pilkada, masyarakat bisa mengendus motif lain. Jika tercium motif kepentingan pribadi saja, saya khawatir akar kepercayaan masyarakat adat tergerus kepada pemimpin adatnya. Adat menjadi prosesi seremonial tanpa makna apa-apa.

Di Lampung, tidak ada “noken” seperti Irianjaya. Noken yang sudah diakui UNESCO suara rakyat dapat diwakilkan kepada pemimpin adatnya. Lampung Saibatin maupun Lampung Pepadun, rakyatnya sudah pintar, sehebat apapun gelar diberikan, semegah apapun prosesinya, setiap masyarakat adat punya pilihannya sendiri-sendiri, bebas dan rahasia. Jadi siapa yang ngolah siapa ya?

Tabik puuun.

*Jurnalis. Tulisan ini juga dimuat di inilampung.com