Slamet Samsoerizal
“Di negeri yang makin kocak ini, kita tak hanya kenal musim buah dan musim iklim. Ada juga musim lain yang muncul dari ranah politik.” Lontar Mas Nakurat sambil menghirup kopi kentalnya.
“Apa tuu, Mas?” serobot Mas Win.
“Musim tandingan. Yuk kita catat, sejak DPR ricuh lalu Koalisi Indonesia Hebat bikin DPR Tandingan, kita jadi kerap dengar istilah itu ditenteng kemana-mana. Ada Gubernur Tandingan, malah ada istilah lain alihalih saudara yakni: bayangan. Maka, kita dengar ada Kementerian Bayangan yang dimotori seniman musik Ahmad Dhani.”
“Kira-kira apa tujuan mereka?”
“Jangan pakai logika normatif”
“Maksudnya?”
“Ya, bisa plus minus.”
“Sok objektif deh!”
“Lho, aku serius Mas. Plusnya ya, kita yang cuma rakyat bisa menakar tingkat kekonflikan mereka. Tingkat dinamika mereka dalam berorganisasi, dalam beretorika, dalam kedewasaan bertindak.”
“Minusnya?”
“Kadang … seperti logika tumpul yang aku punya: apalagi kalau bukan kekuasaan. Ego material yang berujung pada kepemilikan segala fasilitas.”
“Salah?”
“Jangan ngomong salah benar. Kita tidak sedang diuji dalam ujian di Sekolah Dasar yang disodori dua pilihan jawaban: benar dan salah. Karena, yang emnilai adalah seleksi alam yang bergerak secara alami. Jika hasil dari tandingan ternyata didukung rakyat, sebagai tesis kita catat sebagai kemenangan.”
“Ada contoh, Mas?”
“Kemelut yang menimpa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dengan puncaknya terjadi peristiwa 27 Juli 1996 membuat PDI pecah. Yang satu dikenal sebagai PDI Soerjadi, yang satunya lagi tahun 1999 dikenal dengan nama PDI Perjuangan (PDIP) di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Ini terjadi pada era Orba. Dalam perjalanan sejarah, PDIP mampu bertahan hingga kini, karena didukung rakyat.”
“Jadi tak selamanya tandingan itu yang dikalahkan ya Mas?”
“Satu kasus dalam contoh itu, jangan digebyah uyah atau digeneralisasikan. Nanti, pola pikirmu makin tumpul. Dalam kasus, pengambilan sampel secul kuah sayur untuk merasakan asin tidaknya, si koki mungkin bisa mengatakan bahwa garam setoples yang ada di samping kompor pasti asin semua. Tapi, tidak pada kasus rebung.”
“Piye, to?”
“Rebung kan anak bambu yang masih muda. Itu kalau disayur santan, ditumis, dipepes, dan kata Bu Mariani Hutagaol, rebung itu enak pula jika diarsik lalu dicampur ikan Mas misalnya, wow nikmat sangat!”
“Terus?”
“Ya, salah kalau kita simpulkan tu rebung .. yang muda aja enak, apalagi yang tua.”
(Sontak tawa mereka pun tak dapat ditahan!)
“Mas Nakurat, kalau aku bikin rakyat tandingan, sampeyan mendukung?”
“Maumu apa?”
“Ya supaya kelihatan gaul aja!”
“Siapa yang mau ditandingi?”
“Mereka, rakyat yang bukan rakyat. Mereka yang tidak mau disensus dan menjadi golongan seperti kita: orang pinggiran, dhuafa, dan hidup ngepas karena bernyawa.”
“Hehehehehe … Simpan saja ide gilamu, karena mereka bukan tandingan kita.”