Feaby|Teraslampung.com
Kotabumi–Pemkab dan DPRD Lampung Utara kompak tutup mulut terkait hasil rapat pembahasan polemik rencana pendirian pabrik tapioka di Desa Abungkunang, Lampung Utara, Senin (5/8/2024). Alhasil, belum diketahui pasti langkah yang akan diambil oleh keduanya untuk mengatasi polemik tersebut.
Pantauan di lokasi, rapat yang digelar di ruang kerja Ketua DPRD Lampung Utara (Wansori) ini dihadiri oleh petinggi-petinggi pemkab. Mereka di antaranya Kepala Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, Cipta Karya, dan Penataan Ruang atau Disperkimciptaru (Erwin Syaputra), Kepala Dinas Lingkungan Hidup (Ina Sulistina A), Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Khairul Anwar). Rapat ini dipimpin oleh Wansori.
“Nanti ya. Saya dipanggil pak Pj (Penjabat Bupati)” kata Erwin saat akan dikonfirmasi oleh wartawan terkait hasil rapat yang berlangsung sekitar 1,5 jam tersebut.
Pun demikian dengan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja, Khairul Anwar. Ia hanya mengatakan bahwa yang memiliki kewenangan untuk mengomentari persoalan ini adalah Kepala Disperkimciptaru.
“Silakan hubungi beliau saja ya. Beliau yang berwenang terkait hal ini,” tuturnya.
Sikap serupa juga diperlihatkan oleh anggota Komisi I DPRD Lampung Utara, Tabrani Rajab. Ia yang sebelumnya berapi-api saat membicarakan dugaan pelanggaran Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Lampung Utara justru enggan berkomentar. Pertanyaan yang diajukan soal hasil rapat dijawabnya dengan sangat singkat.
“Ke Disperkimciptaru ya,” kata dia.
Polemik ini sendiri bermula dari penolakan pihak legislatif Lampung Utara terhadap lahan yang akan dijadikan lokasi berdirinya pabrik tapioka tersebut. Lokasi itu dianggap mereka bukanlah termasuk kawasan industri.
Sesuai pasal 32 dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lampung Utara tahun 2014-2034, kawasan peruntukan industri itu terdiri dari Kecamatan Kotabumi Utara, Abung Selatan, Bungamayang, Sungkai Utara, dan Sungkai Selatan. Dengan demikian, rencana pendirian pabrik di sana layak untuk dibatalkan.
Sayangnya, pendapat pihak legislatif ini sangat terlambat. Sebab, Pemkab Lampung Utara ternyata telah keburu menerbitkan Izin Kesesuaian Pemanfaatan Ruang (IKPR). IKPR ini menjadi dasar yang akan digunakan untuk memroses perizinan selanjutnya.
Terbitnya IKPR ini dikarenakan pihak eksekutif menganggap bahwa lokasi berdirinya pabrik sama sekali tidak bertentangan dengan aturan. Meskipun tidak termasuk kawasan industri, namun berdirinya pabrik di sana dapat dibenarkan. Pabrik di sana dianggap sebagai industri penunjang perkebunan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 107 di Perda RTRW yang ada. Kesimpulan ini juga diperkuat dengan pertimbangan dari pendapat ahli dari Unila.