Rara Isti Wulandari dan Magi Simpatetik

Rara Wulandari, pawang hujan MotoGP Mandalika(Twitter @MotoGP)
Rara Wulandari, pawang hujan MotoGP Mandalika(Twitter @MotoGP)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Moh Shobirienur Rasyid

Moh Shobirienur Rasyid/Foto: Istimewa

Cerita Mandalika modern bukan lagi cerita tentang putri Kerajaan Tonjang Beru yang cantik rupawan dan menceburkan diri ke Laut Selatan pada tanggal 20 bulan 10 dalam Kalendar Sasak. Ia tidak lagi merupakan cerita rakyat. Ia tidak berubah menjadi “nyale”. Pun tidak mengakibatkan adanya upacara Bau Nyale.

Sebelum Putri Mandalika menceburkan diri ke Laut Selatan, ia berbicara untuk yang terakhir kali di hadapan para ksatria yang datang untuk melamar atau mengikuti sayembara memperebutkan Mandalika. Pada pembicaraan yang terakhir, Putri Mandalika bersedia menerima semua pinangan para ksatria yang datang itu. Lalu ia terjun menceburkan dirinya ke laut.

Damai tenang sudah Bumi Lombok, karena para ksatria tidak berlomba saling mengalahkan para pesaing demi mendapatkan Piala berupa Putri Mandalika. Para ksatria itu kembali pulang dengan mengendarai kuda-kuda kesayangannya.

Cerita Putri Mandalika Modern bukanlah cerita tentang peristiwa tanggal 20 bulan 10 dalam Kalendar Sasak, tetapi cerita peristiwa tanggal 20 bulan 3 dalam Kalendar Masehi. Cerita Putri Mandalika Modern bukan lagi merupakan cerita rakyat, tetapi menjadi cerita dunia. Ia memang tidak berubah menjadi “nyale”, tetapi menjadi “pawang hujan”. Ia tidak menceburkan diri ke laut, karena hujan terlebih dahulu mengguyurnya. Mengguyur Mandalika.

Cerita Putri Mandalika Modern adalah cerita tentang Rara Isti Wulandari. Sang Pawang Hujan di bumi Mandalika ketika lintasan sirkuit berlekuk-lekuk laksana “nyale” itu diguyur hujan.

***

Dalam wacana antropologi, aktivitas yang dilakukan Rara Isti Wulandari di Sirkuit Manadalika itu adalah sebuah tindakan “magi simpatetik”. Magi adalah bentuk manipulasi atau intervensi terhadap takdir Tuhan, dengan cara menggerakkan agen-agen supranatural atau agen-agen spiritual yang ada menurut kehendak pelaku. Magi simpatetik merupakan magi yang dilakukan dalam bentuk mempengaruhi “takdir Tuhan” agar menjadi seperti yang dikehendaki seorang shaman (dukun, pawang), karena bekerjanya “takdir Tuhan” itu mengikuti logika simpatik yang dapat dimanipulasi.

Agar agen-agen supranatural atau agen-agen spiritual dapat bekerja maksimal, diperlukan sarana atau banten tertentu, yang digunakan sebagai medium bagi terhubungnya komunikasi dan hubungan simpatik antara mantera yang diucapkan dengan sasaran magi.

Ketika taraf perkembangan ilmu berada pada tahap “theologis” menurut terminologi August Comte; seorang Shaman, dukun atau pawang, dapat dipandang sebagai sosok seorang ilmuwan. Lebih tepatnya adalah seorang “perekayasa”. Penjelasan kerasionalan yang diungkapkannya dikategorikan sebagai bentuk “pseudo-science”. Dengan demikian, seorang Pawang Hujan yang melakukan aktivitas magi-simpatetik, dapat menggeser mendung dengan gerakan tangannya atau dengan mantera yang diucapkannya agar tidak jatuh menjadi air hujan di tempat yang dikehendaki. Dengan digesernya mendung itu, maka kondensasi awan akan terdorong dan jatuh di tempat lain juga sebagai air hujan.

Berbeda halnya dengan ketika taraf perkembangan ilmu berada pada tahap “metafisis” dan tahap “positivis” menurut terminologi August Comte; yang gejala alam tidak dapat lagi diintervensi oleh manusia. Kalaupun manusia modern melakukan intervensi, yakni sebuah rekayasa, tentu saja tidak lagi bersifat “pseudo-science”, melainkan “science”.

Menurut James George Frazer, magi simpatetik bekerja dalam dua langkah. Pertama, membentuk sarana/banten secara imitatif dengan sasaran magi, dan kedua, adanya proses penularan dari mantera melalui sarana ke sasaran magi itu sendiri. Artefak Nekara dari periode praaksara diberi motif “katak” pada beberapa bagian lingkaran nekara, yang apabila digunakan sebagai sarana magi, maka bunyi tabuhan ketika nekara dipukul dapat dipandang sebagai bentuk imitasi dari bunyi katak. Selanjutnya, menurut pengetahuan manusia dahulu, bunyi katak merupakan sarana pemanggil hujan; sehingga dibayangkan bunyi nekara sebagai imitasi dari suara katak akan merambat atau menular pada situasi turunnya hujan. Nekara merupakan sebuah remote untuk mendatangkan hujan.

Demikian pula dengan boneka atau potret atau bagian tertentu dari yang dimiliki seseorang; dapat diimitasikan sebagai seseorang itu sendiri. Dengan memberi mantera dan memperlakukan sesuatu terhadap imitasi seseorang itu, akan merambatlah bentuk perlakuan itu terjadi pada seseorang. Ketika boneka itu ditusuk-tusuk dengan jarum, orang yang diimitasikan dengan boneka itu akan ikut terluka.
Begitulah yang terjadi pada pelet dan santet, sebagai bentuk praktik magi simpatetik.

***

Magi simpatetik itu sendiri pada dasarnya terbebas dari nilai dan etika apapun. Berdampak positif atau negatif sebuah magi simpatetik itu tergantung dari tindakan pekakunya.
Atau lebih jauh lagi, tergantung dari siapa yang mensponsori tindakan pelaku itu.****

*Moh Shobirienur Rasyid adalah seorang pendidik dan penyuka sejarah