Alois Wisnuhardana
Hanya dua negeri komunis –China dan Vietnam– yang mencatat pertumbuhan ekonomi positif pada kuartal ke-3 dan ke-4 2020. Tapi menyimpulkan bahwa sistem ekonomi komunis lebih baik ketimbang yang lain, tentu saja berbahaya. Apalagi, di negeri di mana komunisme adalah fobia berlapis-lapis dan bisa menimbulkan kerumitan politik dan sosial.
Ini memang zaman anomali. Zaman pagebluk alias pandemi. Tapi, pada zaman normal pun, pertumbuhan ekonomi dua negara itu juga menakjubkan; China selalu tertinggi di dunia; Vietnam salah satu yang terbaik di kawasan.
Kondisi ekonomi Indonesia sendiri juga tidak buruk-buruk amat. Guncangannya tidak sedahsyat yang dialami Malaysia atau Filipina atau bahkan Singapura di level kawasan. Juga masih lebih baik dibandingkan dengan Amerika Serikat atau Uni Eropa kalau mau nyari pembanding agak jauhan.
Namun, pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi yang sebesar -2,19% tentu saja akan membuat banyak pekerjaan rumah di tahun 2021 akan lebih berat dan menantang. Angka itu sendiri masih lebih mendingan ketimbang proyeksi Bloomberg sebelumnya yang memperkirakan ekonomi Indonesia kuartal terakhir 2020 akan berkontraksi pada kisaran -3,15% secara year on year.
Belanja pemerintah menyumbang tumbuh sebesar 1,76% secara year on year, namun melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang menyentuh angka 9,76% year on year. Perbaikan angka pertumbuhan dari kuartal ke-3 ke kuartal ke-4 dicatatkan oleh sektor konsumsi, investasi, dan ekspor.
Secara keseluruhan, selama tahun 2020 perekonomian kita mengalami kontraksi pada level minus 2,07% secara year on year. Angka ini lebih lunak dibandingkan kontraksi negara-negara kawasan –kecuali Vietnam—yang berada pada level minus 2,2% year on year.
Yang agak berat adalah Malaysia. Kompleksitas ekonominya diperburuk oleh situasi politik. Makanya, ketika kunjungan kenegaraan PM Muhyiddin Yassin ke Indonesia beberapa hari lalu diposting Pak Jokowi di akun Facebooknya, komentar banyak datang dari warga negeri jiran itu. Komen miring atau setengah miring tentu saja.
Yang lebih rumit tentu saja adalah Myanmar. Negeri itu baru saja dilanda kudeta militer, setelah pemerintahan demokrasi bertahan satu dekade. Militer kembali berkuasa, dan dunia internasional praktis terisolasi dengan apa yang sedang terjadi di sana.
Tentu saja, realisasi pertumbuhan ekonomi telah menjadi masa lalu hari ini. Ibarat orang naik mobil, kita tak boleh berlama-lama menengok spion ke belakang. Fokuskan dan arahkan pandangan ke depan! Begitu nasihat instruktur setir Ulisa Jaya pada setiap siswanya.
Apa kenyataan di depan yang akan kita hadapi?
Vaksinasi massal masih butuh skema yang efektif dan berjangkauan luas. Di seluruh dunia juga bakal begitu. Sampai hari ini, baru Israel yang berani mengklaim bahwa imunisasi ke seluruh warga yang dipersyaratkan untuk membentuk imunitas kawanan (herd immunity) telah berhasil. Bulan Maret nanti, vaksinasi sudah menjangkau seluruh negeri.
Namun, vaksinasi secara keseluruhan, akan tetap menjadi tantangan berat. Secara jumlah atau ketersediaan dan distribusi akan menjadi masalah. Antarbangsa bisa sikut menyikut cepet-cepetan, antardaerah di dalam bangsa juga bisa eker-ekeran, antarkelompok di dalam daerah juga.
Ekonomi tentu saja akan tetap bergerak, tapi dorongannya berasal dari mode-mode survival para pelaku ekonomi, yang jika tak bergerak ya mati. Ora obah ora mamah. Ora obah dadi sripah. Maka, yang paling diharapkan berada di garis depan adalah kekuatan ekonomi negara, yang didorong oleh instrumen-instrumen belanja Pemerintah, badan usaha milik negara, dan bisnis di sektor privat yang memiliki infrastruktur dan permodalan kuat.
Pertanian dan perikanan, rasanya akan tetap menjadi unggulan penggerak ekonomi, sedangkan industri kesehatan, makanan minuman alias mamin, akan mengekor di belakangnya.***
*Indonesia Eximbanker, tulisan ini merupakan pendapat pribadi