Opini  

Refleksi Akhir Tahun: Tata Kelola Pemerintahan untuk Kepentingan Siapa?

Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Syarief Makhya

Di penghujung tahun 2024, dilaksanakan pemilihan kepala daerah serentak. Salah satu tahapan penting dalam pemilihan ini adalah kampanye, yang mencakup berbagai kegiatan, termasuk debat antar kandidat. Dalam debat tersebut, salah satu topik yang dibahas adalah tata kelola pemerintahan, dengan menyorot isu-isu reformasi birokrasi.

Perdebatan seputar isu reformasi birokrasi masih berkutat pada pelayanan publik, dengan fokus pada aspek pelayanan administrasi yang kini berbasis aplikasi atau e-government. Dari perdebatan ini, hampir semua sepakat bahwa dengan model pemerintahan e-government, dan berbagai aplikasi lainnya, pelayanan publik menjadi lebih mudah, efisien dari sisi waktu, pungutan liar dapat dihilangkan, dan bisa diakses oleh siapa pun. Jadi, dalam perpsketif ini dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ada perubahan pelayanan yang signifikan.

Lalu, apa sebenarnya isu utama yang harus dikritisi dalam menjelaskan tata kelola pemerintahan ke depan ? konsep tata keloa pemerintahan sebenarnya fokusnya buka pada perbaikan tatanan prosedur admnistrasi semata atau memperbaiki aspek kelembagaan pemerintahan, tetapi juga harus menjawab problem mendasar yang masih memberikan ruang terjadinya potensi penyalangunaan kekuasaan, . distribusi sumberdaya dan dan urusan publik sebagai urusan bersama.

Apa yang menjadi argumen ketiga isu tersebut menjadi penting dan menjadi perhatian utama dalam tata kelola pemerintahan ke depan. Pertama, penyalahgunaan kekuasaan. Masalah ini sampai sekarang masih menjadi persoalaan besar yang semakin kompleks dan sitimatis. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada tahun 2024, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) di Indonesia menunjukkan penurunan signifikan menjadi 3,85 pada skala 0-5 dan gagal mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Penurunan IPAK ini menggambarkan realitas sosial yang semakin permisif terhadap praktik koruptif, bahkan dalam lingkup keluarga. ( ttps://www.cnbcindonesia.com/research//hari-anti-korupsi-sedunia-warga-ri-makin-wajarkan-uang-haram, diakses tanggal 15 Desember 24) .
Penyalahgunaan kekuasaan tidak hanya kepercayaan publik terhadap pemerintah yang tergerus, tetapi juga kualitas kebijakan dan pelayanan publik menjadi terdistorsi. Penyalahgunaan kekuasaan dapat mengarah pada korupsi, kolusi dann nepotisme, yang memperburuk ketidakadilan sosial.

Kedua, distribusi sumber daya. Distribusi sumber daya yang adil dan merata merupakan dasar dalam menciptakan pemerintahan yang inklusif dan berkeadilan. Ketimpangan distribusi sumber daya dapat menyebabkan ketidakpuasan sosial, ketidakadilan, dan ketegangan politik. Tanpa distribusi yang adil, sebagian besar masyarakat, terutama kelompok marginal, akan terpinggirkan, yang akan meningkatkan kesenjangan sosial dan ekonomi.

Sumber daya negara, baik dalam bentuk kekayaan alam, keuangan, maupun infrastruktur, harus dikelola dengan bijak agar dapat dinikmati secara adil oleh seluruh rakyat. Pemerintah harus mampu memastikan bahwa distribusi ini mengurangi ketimpangan antar daerah dan kelompok sosial, serta mendukung pembangunan yang berkelanjutan.

Ketiga, urusan publik Urusan publik yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas, seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, dan keamanan. Jika urusan publik tidak dikelola dengan baik, maka dampaknya akan dirasakan oleh seluruh masyarakat. Pemerintah sebagai pengelola urusan publik harus mampu mengakomodasi kepentingan berbagai kelompok dengan cara yang adil dan bijaksana. Ketika kebijakan atau layanan publik tidak merespons kebutuhan masyarakat atau tidak mencakup seluruh lapisan masyarakat, maka akan muncul ketidakpuasan dan potensi konflik.
Karena itu, urusan publik harus diletakkan sebagai sebagai masalah bersama.

Untuk Kepentingan Siapa?

Merujuk pada tiga isu utama, yaitu penyalahgunaan wewenang, ketidak adilan distribusi sumber daya, dan masalah urusan publik, menunjukan bahwa tata kelola pemerintahan yang diterapkan selama ini belum mencapai tingkat yang ideal .

Tata kelola tersebut masih terbatas pada aspek administratif atau prosedural , tanpa adanya upaya yang cukup untuk mencapai hasil yang lebih substansial, seperti keadilan sosial dan pemanfaatan sumber daya secara efisien.

Pertama, dari aspek kekuasaan , kendati reformasi birokrasi telah dilakukan namun hingga kini, ruang untuk menanggulangi praktik korupsi masih belum bisa dilakukan secara efektif, Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan kekuasaan masih belum dapat dibendung oleh sistem hukum yang ada. Kekuasaan masih dapat mengendalikan dan mengatur hukum.

Dari aspek ekonomi-politik juga. Hingga sekaranga pemilik modal juga memiliki pengaruh besar dalam mengontrol kekuasaan. Dengan demikian, pemerintah sering kali memberikan fasilitas, perizinan, dan penguasaan sumber daya ekonomi untuk kepentingan pemilik modal.

Kedua, persoalan lain yaitu sampai saat ini, ketimpangan sumber daya masih terjadi, terlihat dari penumpukan sumber daya di daerah perkotaan dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten. Fasilitas pelayanan publik, sumber daya manusia, kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan, infrastruktur, serta pertumbuhan ekonomi lebih banyak terkonsentrasi di kota-kota besar.

Gejala ini mencerminkan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya dan ketimpangan pembangunan, akibat dampak dari model pembangunan yang lebih mengutamakan kepentingan urban. Model ini masih dipertahankan, salah satunya disebabkan oleh kegagalan pemerintah provinsi dalam mendistribusikan sumber daya secara merata ke seluruh kabupaten.

Dengan demikian, masalah ketidakadilan sumber daya sebagian besar dipengaruhi oleh tata kelola pemerintahan. Gubernur, sebagai pemimpin, seharusnya mampu mensinergikan dan mendistribusikan sumber daya secara adil ke kabupaten-kabupaten, sehingga tata kelola pemerintahan memberi dampak bagi tercapainya pemerataan sumber daya.

Tata kelola pemerintahan saat ini masih dibatasi oleh kewenangan formal yang diatur sesuai dengan pembagian urusan antara kabupaten/kota dan provinsi. Akibatnya, pengelolaan pemerintahan lebih berfokus pada pengurusan wilayahnya masing-masing berdasarkan pembagian urusan tersebut. Tata kelola pemerintahan seperti ini tidak sejalan dengan realitas urusan publik yang semakin kompleks dan tidak dapat dikelola secara terpisah oleh masing-masing pemerintahan. Mengingat semakin kompleksnya masalah publik, diperlukan kerja sama antar-pemerintahan untuk memecahkan masalah bersama.

Ketiga, urusan publil seharausnya menjadi urusan bersama (common affairs) Konsep urusan bersama artinya urusan publik sebagai urusan bersama antara pemerintah kabupaten dengan pemerintah provinsi . Konsep ini memberi makna bahwa persoalan publik harus dikelola dan dipecahkan bersama tanpa memperdebatkan kewenangan atau memperthankan kepentingan berdasarkan ego daerah masing-masing.
Argumennya, karena masalah publik sangat terkait dan bersinggungan dengan dengan lintas hubungan antar kabupaten atau dengan kewenangan provinsi. Misalnya, masalah banjir, sampah, kebutuhan air, kemacetan lalu lintas, masalah lingkungan dan lain-lain, tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengacu pada pembagian tanggung jawab dan kewenangan masing – masing dalam mengelola urusan-urusan publik antara dua tingkat pemerintahan, yaitu pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi.

Implikasi urusan publik harus dikelola bersama, maka konsep kolaborasi, fasilitasi, kerjasama antar daerah, koordinasi dan distribusi sumber daya menjadi kebutuhan dalam mengembangkan pemerintahan daerah yang efektif.***

* Dr. Syarief Makhya adalah Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung