Oleh Zainal Asikin
Kita adalah saudara dari rahim ibu pertiwi
Ditempa oleh gelombang, dibesarkan jaman
Dibawah tiang bendera
Dulu kita bisa bersama dari cerita yang ada
Kita bisa saling percaya yakin dalam melangkah
Lewati badai sejarah
Pada tanah yang sama kita berdiri
Pada air yang sama kita berjanji
Karena darah yang sama jangan bertengkar
Karena tulang yang sama usah berpencar
Indonesia…Indonesia…Indonesia…
Mari kita renungkan, lalu kita bertanya;
Benarkah kita manusia?
Benarkah bertuhan?
Katakan aku cinta kau
Pada tanah yang sama kita berdiri
Pada air yang sama kita berjanji
Karena darah yang sama jangan bertengkar
Karena tulang yang sama usah berpencar
Indonesia…Indonesia…Indonesia…
Syair lagu balada bertajuk “Di Bawah Tiang Bendera” yang pernah dinyanyikan Iwan Fals dan Franky Sahilatua terasa aktual bagi kita sebagai warga negara Indonesia pada hari ini. Yakni, suasana perayaan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang masih terus diselimuti gebalau hati risau sebagian dari kita yang menginginkan Indonesia damai dan terus dala suasana kekeluaragaan.
Karya lagu kedua musisi balada Indonesia itu begitu menyentuh fitrah kemanusiaan kita sebagai manusia yang bertuhan. Kita sebagai pewaris zaman yang hidup puluhan tahun setelah NKRI diproklamasikan. Yakni sebuah era yang jauh berbeda dengan era perjuangan dan masa-masa sulit hidup dalam tekanan penjajah.
Namun, meskipun sudah 75 tahun kemerdekaan itu kita raih, bukan berarti masa-masa sulit berakhir. Lagu “Di Bawah Tiang Bendera” tersebut, menggambarkan kondisi yang terjadi di sejumlah daerah di tanah air kita Indonesia sekarang ini.
75 tahun kemerdekaan bukan berarti tantangan berbangsa dan bernegara lenyap. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir ini –terutama sejak era banjir informasi melalui media sosial — aneka pertentangan kelompok masyarakat terkait intoleransi, nasionalisme, dan dasar negara ramai terjadi.
Maka, hari-hari terakhir ini teriakan “Merdeka!” pun seolah kehilangan nilai rasa dan gemanya. Teriakan yang dulu menjadi api pengobar semangat persatuan dan perjuangan, kini seolah kehilangan makna.
Tanggal 17 Agustus 2020, 75 tahun sudah usia Indonesia merdeka dan usia yang dibilang tidak muda lagi sebagai bangsa Indonesia. 75 tahun ini adalah usia yang sudah sepuh dan sangat matang, usia yang tidak hanya harus bijaksana tapi juga bajiksana begitulah seperti apa yang dikatakan proklamator kita Ir. Soekarno atau Bung Karno.
Merdeka mestinya bukan korupsi yang kian merajalela, bukan perekonomian yang makin kuat, bukan kebebasan menghalalkan segala cara untuk meraih jabatan dan kekuasaan, bukan mau menangnya sendiri dan adigang-adigung-adiguna.
Merdeka adalah sebuah kesadaran untuk mengembalikan jiwa yang “hilang” dari diri kita, mengembalikan yang sudah “hilang” dari bangsa sebesar Indonesia ini. Merdeka adalah ketika kita dapat mengembalikan kejujuran, tanggungjawab dan kepedulian yang telah hilang yang makin langka di negeri yang kita cintai ini.
Saat ini, hari ini dan esok, merdeka jiwa sangat penting karena jiwa adalah tempat hidupnya raga yang diikat oleh rasa. Merdeka jiwa, menjadikan kita sadar bahwa hidup bukanlah segala-galanya bagi kita. Merdeka jiwa lebih memikirkan akhir setelah hidup, memikirkan sikap yang dilandasi kebaikan karena dunia bukanlah milik kita yang hanya mampir sebentar di dunia fana ini.
Kita mesti melakukan perenungan mendalam tentang keberadaan kita sebagai bangsa Indonesia bukan hanya saja dihadapan Tuhan, tapi di depan para pahlawan yang telah gugur mendahului kita untuk meraih kemerdekaan hingga 75 tahun ini.
Dirgahayu ke-75 Bangsa Indonesia. Merdeka!