Ridwan Saifuddin
Peneliti Balitbangda Provinsi Lampung
Pendidikan dipercaya sebagai satu mata rantai dari semua problem kita hari ini. Korupsi, kemiskinan, radikalisme, disrupsi teknologi dan automasi, semua berkelindan dengan isu pendidikan. Sebagai satu mata rantai, pendidikan dapat menjadi pintu masuk untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Soalnya adalah, seberapa serius sektor pedidikan diurus dan dipersiapkan sebagai jalan keluar dari segala permasalahan itu?
Arahan Presiden Jokowi pada saat pidato pelantikan di hadapan MPR RI (20/10/19), terkait prioritas yang akan dikerjakan dalam lima tahun kedua, adalah terkait dengan pembangunan SDM, penciptaan lapangan kerja, pengembangan UMKM dan investasi. Itu semua dalam rangka mencapai cita-cita 2045: Indonesia keluar dari jebakan kelas menengah dengan PDB mencapai 7 triliun dolar AS dan Indonesia masuk lima besar ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati nol persen.
Lalu, ditunjuklah Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang notabene dikenal sebagai CEO Gojek, salah satu pioner start-up Indonesia yang mendunia.
Menanggapi komentar publik soal penunjukkan Menteri Nadiem tersebut, Presiden Jokowi pun mengatakan: “Kita negara yang besar sekali. Kualitas pendidikannya sangat berbeda, Indonesia bagian barat dan timur. Dalam hal manajemen ini bukan hal mudah. Mengelola 3,5 juta guru, sekolah, pelajar, nggak mudah. Kalau kita mengandalkan sistem manual nggak mungkin menjangkau sebesar itu. Sehingga diperlukan keberanian terobosan yang tidak biasa kita lakukan,” kata Presiden Jokowi di Istana Negara (1/11/19) seperti dikutip genpi.co (1/11/2019).
“Dilihat saja 2,5 tahun lagi. Jangan minta cepet karena perlu persiapan sebuah aplikasi sistem yang menjangkau anak didik, sekolah, guru. Artinya memang saya sudah hitung, bahwa dalam mengelola manajemen besar ini harus memakai yang namanya teknologi, tanpa menggeser tujuan dari pendidikan.”
Muncul kecemasan, juga harapan, dengan masa depan pendidikan kita. Publik menunggu gebrakan Menteri Nadiem. Situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat berita “Mendikbud Tetapkan Empat Pokok Kebijakan Pendidikan ‘Merdeka Belajar’,” (kemdikbud.go.id, 11/12/2019). Namun, belum jelas bagaimana dan seperti apa program yang rencananya baru akan digulirkan pada 2021 itu, kecuali empat isu yang dicakupnya, yaitu seputar Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
Dalam satu berita, Menteri Nadiem mengatakan, Program Merdeka Belajar hadir setelah melihat pendidikan bisa dikelola dengan sistem manajemen perusahaan, melalui insentif dan disinsentif. “Very managerial. Seperti pabrik, call center, agen, bahkan Gojek. Produknya manusia, tingkat kompleksitasnya luar biasa,” kata Nadiem (CBN Indonesia, 20/1/2020).
Dalam merancang “Merdeka Belajar,” Nadiem mengakui, pihaknya sudah melakukan riset selama kurang lebih lima bulan. Dia melakukan wawancara kepada para pakar, guru-guru, kepala sekolah, mahasiswa, dan lain sebagainya. Tujuan Program Merdeka Belajar adalah untuk memengaruhi sekelompok massa dari agen perubahan untuk mengubah pola pikirnya terhadap pendidikan (kontan.co.id, 19/1/2020).
Potret Sekolah
Menunggu memang pekerjaan menjemukan. Kecuali, ada kejelasan tahapan-tahapan yang sudah dan akan dilalui, berikut kabar kemajuan dan capaian dalam setiap etapenya. Termasuk terhadap kebijakan publik, terkhusus kebijakan sektor pendidikan. Para pemangku kepentingan sampai dengan satuan pendidikan masih menunggu sambil meraba arah kebijakan pendidikan di bawah kendali Menteri Nadiem.
Presiden Jokowi sudah mengutarakan, bahwa kualitas pendidikan kita sangat berbeda, antara Indonesia bagian barat dan bagian timur. Kualitas pendidikan di perdesaan dan perkotaan. Ketidakmerataan mutu pendidikan ini terlihat semakin tajam, dengan pengelolaan pendidikan di perdesaan atau daerah 3-T (tertinggal, terdepan, terluar) yang nyaris kurang mendapat perhatian dan prioritas. Sekolah-sekolah di daerah 3-T stagnan dalam penyelenggaraan pendidikannya, alih-alih peningkatan mutu.
Di Provinsi Lampung, misalnya, secara keseluruhan mutu pendidikan pada semua jenjang satuan pendidikan sekolah dan madrasah masih rendah. Rendahnya mutu pendidikan pada semua jenjang tersebut, dikarenakan rendahnya mutu sarana-prasarana serta standar pendidik dan tenaga kependidikan (BAN S/M Provinsi Lampung, 2018).
Fakta tajamnya kesenjangan mutu (penyelenggaraan) pendidikan ini penting diakomodasi dalam wujud kebijakan yang tepat. Mengapa penting? Kondisi pendidikan di sekolah-sekolah khususnya di daerah 3-T memiliki kekontrasan yang tinggi dengan sekolah-sekolah di daerah yang realatif lebih maju atau di perkotaan. Dunia pendidikan di sana masih diliputi serba-kekurangan, baik dari sarana pendidikan, infrastruktur penunjang, kualitas dan ketersediaan tenaga pendidik dan kependidikan, termasuk tekanan ekonomi yang tak jarang harus juga mereka (peserta didik) tanggung. Karena itu, kebijakan pendidikan yang seragam (dan top down) pada akhirnya akan sulit untuk diimplementasikan di sekolah-sekolah tersebut.
Bagaimana peserta didik di daerah 3-T bisa “merdeka belajar,” jika di sana mereka belum merasakan “merdeka” untuk tetap bisa belajar, sementara ekonomi keluarganya sulit dan orang tua yang butuh tenaga mereka untuk bekerja? Bagaimana anak-anak di daerah 3-T bisa “merdeka belajar,” jika untuk sampai di sekolah mereka harus berjuang menghadapi sulitnya alam yang harus dilewati setiap hari? Bagaimana para pelajar itu bisa mengenal teknologi, jika sekadar aliran listrik pun belum bisa mereka nikmati? Bagaimana anak-anak di desa bisa mengenyam pendidikan yang relevan dengan revolusi industri, jika tidak cukup tersedia tenaga pendidik yang mumpuni? Digitalisasi, apalagi!
Fakta atas pertanyaan-pertanyaan tersebut disajikan secara apik dalam buku Kami Hadir; Storytelling Pengajar Muda Lampung Mengajar, yang diterbitkan Balitbangda Provinsi Lampung bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung (2019).
Narasi para Pengajar Muda Lampung Mengajar dalam buku itu, mengantarkan kita pada fakta otentik kondisi pendidikan di Provinsi Lampung, yang masih sangat membutuhkan perhatian dan penanganan serius dari pemerintah.
Fakta tentang ketimpangan mutu, kekurangan guru, minimnya sarana-prasarana, sampai dengan penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang masih jauh dari kondisi ideal. Serangkaian narasi yang menyodorkan fakta: bahwa secara faktual pendidikan kita masih jauh tertinggal. Bicara pembangunan pendidikan, adalah bicara tentang kondisi pembelajaran di sekolah-sekolah di daerah terpencil, tentang anak-anak yang mengalami demotivasi karena tekanan ekonomi, tentang nasib guru-guru honorer yang mengeluhkan gaji, juga anak-anak disabilitas yang masih kurang terfasilitasi.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan Pengajar Muda Lampung Mengajar, yaitu para pengajar muda yang direkrut Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung sejak 2015, untuk diperbantukan di sekolah-sekolah yang berada di daerah 3-T se-Provinsi Lampung.
Storytelling para pengajar muda itu memuat perspektif yang kaya tentang dunia pendidikan sesungguhnya di daerah-daerah yang minim sentuhan pembangunan. Dari narasi mereka, diharapkan dapat memberikan wawasan baru para pengambil kebijakan, sehingga ada keberpihakan dan perhatian yang lebih baik terhadap nasib pendidikan di daerah 3-T. Agar kebijakan pedidikan yang diambil tidak hanya melihat angka statistik atau hitungan Dapodik.