Opini  

“Restorative Justice” Sebagai Langkah Jitu untuk Menyelesaikan Tingginya Kasus KDRT pada Masa Pandemi Covid-19

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Siti Noor Laila dan Eddy Rifai

Pada masa Pandemi Covid 19 Pemerintah membuat kebijakan untuk menjalankan protocol kesehatan, dengan menggunakan masker, menjaga jarak dan sering mencuci tangan. Pemerintah juga membatasi mobilitas warga dan meminta semua pihak melakukan berbagai kegiatan dari rumah untuk menghindari semakin banyaknya warga yang tertular virus Covid 19.

Dampak dari pandemi ini salah satunya berakibat pada terpuruknya perekonomian, pekerja banyak yang dirumahkan dan diberhentikan baik sementara maupun selamanya, selain juga berakibat pada burukya kondisi kesehatan masyarakat, dan persoalan sosial lainnya seperti kekerasan terhadap perempuan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR pada tahun 2019, kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tercatat 134 kasus (1 kasus incest dan 133 kekerasan fisik suami terhadap istri), sedangkan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah publik tercatat 91 kasus. Pada tahun 2020 terjadi 35 kasus KDRT (2 kasus incest dan 33 kekerasan fisik suami terhadap istri) dan 25 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah publik. Sedangkan data dari Polda Lampung KDRT yang terjadi pada tahun 2019 tercatat 69 kasus, dan pada tahun 2020 tercatat 105 kasus.

Berdasarkan data tersebut, pada masa pandemi Covid 19 terjadi perubahan pola kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Lampung. Pada tahun-tahun sebelumnya, angka kekerasan terhadap perempuan yang tertinggi di Lampung adalah bentuk kekerasan seksual yang terjadi di ranah publik, yaitu perkosaan. Namun, sejak masa pandemi Covid 19 kasus KDRT lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah kasus kekerasan seksual. Kebijakan untuk membatasi mobilitas masyarakat, tekanan ekonomi dan kondisi psikologis yang kurang nyaman dapat menjadi pemicu terjadinya KDRT.

Perlindungan Hukum

Sebelum ada UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT), hukum dan HAM seakan terhenti didepan rumah karena etika dan nilai yang berkembang di masyarakat, bahwa orang atau pihak lain tidak bisa mencampuri urusan rumah tangga orang lain, dan istri tidak boleh membuka aib atau keburukan suami walaupun suaminya melakukan kekerasan. Bahkan kekerasan yang dilakukan suami dianggap sebagai “memberikan pelajaran” kepada istri untuk patuh terhadap suami.

Peran tradisional suami sebagai kepala rumah tangga dan istri berperan menjalankan dan bertanggungjawab urusan domestik, diperkuat di dalam pasal 31 ayat 3 UU No. 1 Tahun 1974 yang memberi identitas suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Pemberian identitas ini berdampak tidak hanya pada pembagian kerja secara seksual saja, namun juga berdampak pada kebijakan pengupahan, dan berbagai diskriminasi terhadap perempuan. Persepsi terhadap nilai yang berkembang di masyarakat tersebut, membuat korban KDRT tidak berani melaporkan atas kekerasan yang dialami dan lebih memilih diam.

Atas dasar pengalaman perempuan tersebut maka aktivis perempuan melakukan advokasi kebijakan, dan menghasilkan adanya UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT, sebagai upaya negara memberikan perlindungan terhadap korban. Melalui UU ini, Negara ingin memastikan bahwa setiap warga negara memiliki rasa aman dan terbebas dari segala bentuk kekerasan, baik di ranah privat maupun publik. Adanya UU PKDRT diharapkan sebagai babak permulaan yang baik menuju nir-kekerasan di dalam rumah tangga, atau paling tidak mengurangi angka KDRT. Namun, seakan-akan tidak ada korelasi antara hadirnya hukum dan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terus berlangsung, bahkan memiliki kecenderungan terus meningkat.

Berbasis pada data tersebut diatas, menunjukkan bahwa perempuan/istri dan anak perempuan rentan menjadi korban KDRT. Ruang lingkup terjadinya kekerasan dalam ranah privat menjadikan kekerasan yang terjadi sulit diketahui oleh masyarakat atau aparat tanpa adanya pengaduan dari korban, walaupun UU PKDRT tidak hanya mengatur pada delik aduan saja, namun juga ada delik umum.

Kasus-kasus KDRT berbeda dengan tindak pidana lain, karena pelaku dan korban memiliki hubungan emosional yang sangat kuat, memiliki ikatan hukum perkawinan, atau bahkan memiliki hubungan darah. Sehingga, seringkali korban merasa gamang untuk mengambil jalan penyelesaian melalui penyelesaian hukum, utamanya pada kasus-kasus kekerasan secara fisik suami terhadap istri. Seringkali korban mencabut pengaduannya setelah proses hukum berjalan.

Berdasarkan pengalaman penulis melakukan pendampingan perempuan korban kekerasan di Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR, khususnya pada kasus-kasus KDRT, dengan memberikan konseling baik terhadap korban maupun terhadap pelaku untuk menyelesaikan kasusnya. Berdasarkan pada kenyataan yang ada, penyelesaian kasus KDRT melalui proses pengadilan hasilnya akan memberikan stempel buruk terhadap anggota keluarga, apalagi jika diputuskan dengan hukuman penjara, memiliki ayah yang pernah dipenjara adalah sesuatu yang sangat memalukan. Dikhawatirkan akan mempengaruhi tumbuh kembang anak. Begitu pula bisa menimbulkan masalah baru pada persoalan ekonomi keluarga dan lingkungan sosial. Hal ini juga menunjukkan budaya hukum masyarakat dalam melihat kasus KDRT masih mengungkung perempuan demi kehormatan keluarga.

Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga, pelaku bisa jadi tidak tahu bahwa yang dilakukan adalah perbuatan melawan hukum, hal ini dipengaruhi berbagai faktor interpretasi ajaran agama yang tidak benar, role model karena pelaku dibesarkan di dalam lingkungan yang melakukan kekerasan, dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan, seperti yang telah disampaikan di atas, mereka memiliki relasi dengan ikatan emosial dan ikatan pertalian darah yang sangat kuat, seringkali juga kekerasan yang terjadi berulang-ulang namun mereka tetap ingin mempertahankan keluarga dengan berbagai pertimbangan. Karena itu, konseling terhadap pelaku yang ditempatkan sebagai bentuk perlindungan terhadap korban dapat menjadi solusi yang efektif baik untuk penyelesaian maupun pencegahan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Restorative Justice Sebagai Solusi

Tujuan UU-PKDRT, selain memberikan perlindungan kepada korban dan pencegahan terhadap KDRT dan menindak pelaku KDRT, juga bertujuan untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Untuk mewujudkan keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera, tentu saja pendekatan hukum dengan mekanisme penjeraan tidak akan efektif. Persoalan kultur atau nilai yang berkembang di masyarakat hingga terjadinya kekerasan, dapat dilakukan dengan dua pendekatan, pertama melalui pengadilan pada kasus-kasus yang bersifat delik umum dalam UU KDRT, dan penyelesaian dengan pendekatan konsep restorative justice pada kasus-kasus yang bersifat delik aduan. Sehingga tujuan untuk mewujudkan keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera masih dapat diwujudkan.

Restorative justice dapat menjadi terobosan baru dalam menyelesaikan kasus-kasus KDRT, mengingat berbagai dampak negatif, sebagai dampak diperhadapkannya anggota keluarga pada proses peradilan pidana formal. Pengalaman Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR memiliki praktek baik dengan melakukan pendekatan restorative justice. Baik terhadap pelaku maupun korban dilakukan konseling, mediasi dan diakhiri dengan perjanjian dari pelaku untuk melakukan perubahan dalam membangun relasi dan tidak akan mengulang kekerasan yang pernah dilakukan.

Menurut Patricia Cain perlu dibentuk sistem hukum yang demokratis, yang memungkinkan setiap individu dapat mendefinisikan diri mereka sendiri, dengan metode “peningkatan kesadaran” (consciousness raising) seorang yang tidak tahu atau kurang tahu akan menjadi menjadi lebih tahu. Melalui “peningkatan kesadaran” seorang yang tidak atau kurang tahu akan menjadi lebih tahu. Untuk itu hukum harus menganggap perbincangan dan mendengarkan sebagai hak. Peningkatan kesadaran yang ditawarkan Cain merupakan perbincangan yang berlangsung antara konselor dan kliennya bersifat open-ended, sehingga pada akhirnya baik konselor maupun kliennya sama-sama memiliki kesadaran baru, sebagai “manusia baru”, khususnya sebagai “laki-laki baru”.

Konseling terhadap pelaku ditempatkan menjadi bagian dari sistem dan konsep restorative justice yang sangat relevan dalam penyelesaian kasus-kasus KDRT. Restorative Justice merupakan alternatif yang popular karena menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif. Keadilan restoratif adalah suatu proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah dan bagaimana menangani akibat dimasa yang akan datang atau implikasinya dimasa depan. Restoratif justice bertujuan memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum dengan menggunakan kesadaran sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat

Aparat penegak hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian telah membuat kebijakan tentang konsep restorative justice sebagai mekanisme penyelesaian kasus. Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dengan mempertimbangkan dan mengedepankan pemulihan kembali kepada keadaan semula, keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban, serta pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan, atau pemidaan menjadi jalan terakhir (ultimum remedium). Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 6 tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, dimana polisi dalam melakukan proses penyidikan memiliki kewenangan untuk melakukan keadilan restoratif jika terjadi perdamaian antar pihak. Kepolisian juga mengeluarkan Surat Keputusan Kapolri No. Kep/1219/XI/2017 tentang Konselor Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Kejaksaan dan Kepolisian menunjukkan terjadinya pergeseran hukum pidana Indonesia ke arah restorative justice, meskipun di KUHP dan KUHAP belum diatur.

Di dalam Perja No. 15 Tahun 2015, pelaksanaan restorative justice harus memperhatikan kepentingan korban, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum, penghindaran pembalasan, penghindaran stigma negatif, serta respon dan keharmonisan masyarakat. Syarat dapat dilakukan restorative justice adalah bukan residivis, ancaman pidananya di bawah 5 tahun atau kerugian dibawah dua juta lima ratus ribu rupiah. Restorative justice fokus pada penyelesaian tindak kejahatan, dimana “kerusakan” yang ditimbulkan kepada korban dan masyarakat masih bisa direstorasi, sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat dikembalikan ke keadaan semula, sekaligus penghilangan dampak buruk penjara. Pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Keadilan yang dilandasi perdamaian (peace) antara pelaku, korban dan masyarakat itulah yang menjadi moral etik restorative justice, karenanya keadilan dikatakan sebagai just peace principle. Menurut Karel Menninger perlu diadakan pergeseran dari sikap memidana (punitive attitude) ke arah sikap mengobati (therapeutic attitude).

Upaya ini bisa dilakukan baik oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat, dengan prinsip bahwa korban tidak keberatan atau bersedia, pelaku meminta maaf atas kejahatan yang dilakukan terhadap korban dan masyarakat atau lingkungan sosialnya, pelaku memberi ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh korban, pelaku menyadari kesalahan dan bersedia untuk dilakukan konseling agar tidak mengulang kejahatan yang pernah dilakukannya. Dengan pendekatan ini, maka tujuan mempertahankan keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera dapat diwujudkan.***

*Siti Noor Laila, S.H.,M.H., mahasiswa program doktor Fakultas Hukum Universitas Lampung

**Dr. Eddy Rifai, dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung