Risma

Bagikan/Suka/Tweet:

Isbedy Stiawan ZS

RISMA. Bukan singkatan dari Remaja Islam Masjid. Ini nama seorang walikota perempuan, menjadi orang nomor satu di Kota Surabaya. Nama lengkapnya Tri Rismaharini. Seorang birokrat amat sahaja.

Penampilannya, sebagai perempuan, tidak berpoles berlebihan; padahal kalau dia mau apa yang tidak bisa? Sebelum menjadi walikota, Risma menjabat kepala dinas. Perempuan Risma lebih terkesan sebagai ibu rumah tangga, ketimbang pejabat nomor wahid di Surabaya.

Dia boleh dibilang “Ratu” sebab jabatannya. Tetapi, kenapa pula di kendaraannya selalu ada sapu, bak sampah, dan linggis? Sebagai “ratu” (kepala daerah), ia bisa mengenakan pakaian yang tidak sederhana. Bisa tampil layaknya artis. Atau, setidaknya, seperti kebanyakan isteri kepala daerah; tampil mewah padahal sekadar mendampingi kerja suami.

Konon pula, wajah Risma di Surabaya tak sebanding banyak dengan isteri kepala daerah lain di Tanah Air. Bahkan, ia sengaja menaikkan pajak reklame (baliho), dan inilah pemicu para anggota Dewan mendesaknya mundur. Kesahajaan Risma bisa dibuktikan bahwa ia tak jarang turun dari mobilnya.

Jika dilihatnya ada sampah, ia langsung menyapu dan memasukkan ke bak sampah yang selalu dibawa di dalam mobil. Atau, memberikan beras jika melihat orang miskin. Ia juga banyak mengobrol akrab dengan anak-anak jalanan, pengemis, ataupun fakir miskin. Tidak dibuat-buat agar pers mengabarkan.

Tak ada sandiwara ketika ia memeluk balita dari keluarga miskin. Ia juga berdialog dengan pelacur. Itu sebabnya, ia tahu benar bahwa ada pelacur berusia 60 tahun masih “bekerja” dan langganannya anak-anak SMP. Walaupun pelacur “manula” itu hanya mendapat seribu atau dua ribu. Ia kerap berkata: “Saya tak mau masuk neraka, karena jabatan saya.”

Risma sepertinya terinspirasi pada sifat khalifah Umar bin Khattab. Ia membawa beras, sepeti juga sang khalifah, untuk dibagikan pada masyarakat yang miskin. “Saya tak tega melihat warga Surabaya yang masih miskin.”

Figur Risma sepatutnya ditiru. Tak ada salah meniru sifat baik orang lain. Ia walikota, tapi tak terlihat bahwa ia pejabat. Ia tak sedih kalau warganya tak menahu dirinya. Risma bukan sosok yang suka mengiklankan diri. Ia walikota, bukan isteri kepala daerah. Karena itu ia tak setenar, seperti gaya artis.

Warga Surabaya mana yang tidak tahu Risma? Dia kerap ke jalan hanya untuk menertibkan lalulintas jika dilihatnya macet. Ia biasa ditemui bawahannya di luar kantor untuk meminta tanda tangannya. Risma terbiasa menerjang kebiasaan protokoler. Sebab, ia tahu kapan harus di luar kantor dan kapan pula berada di ruang walikota.
 Ia juga seperti tak mengenal waktu untuk bersama keluarga. Padahal, kebiasaan para pejabat di Tanah Air, mengurus keluarga menjadi nomor satu. Apalagi urusan menyiapkan estafet bagi kedudukan di borokrasi. Ya, seperti dinasti. Risma adalah walikota, bukan isteri kepala daerah. Tetapi, baginya tak begitu penting tampil di depan seperti bintang iklan. Bahkan, penampilannya sangat sahaja. Bukan layaknya seorang “ratu” apalagi “permaisuri” yang seolah lebih sibuk dibanding kepala daerah.

Seperti cerita teman saya di Surabaya, hampir tidak ada—ia sengaja menggunakan “hampir” karena khawatir ia salah—wajah Tri Rismaharini terpajang segede ‘alamak’ di pinggir-pinggir jalan Kota Surabaya. Risma mengucurkan air mata, manakala berdialog di “Mata Najwa” Metro TV.

Berkali-kali ia mengucapkan Tuhan, untuk menunjukkan betapa ia religius. Ia tak mau meninggalkan kursi walikota, karena ia mencintai warga Surabaya dan masyarakat pun mencintai. Bukti kalau ia dicinta rakyat, rumahnya pernah disatroni masyarakat demi mendukungnya agar tidak mundur dari jabatannya.

Bayangkan, sekiranya Risma tak dicintai rakyat, pastilah ia tak mendapat dukungan. Tjahjo Kumolo pun memberi kekuatan pada Risma, agar tetap kuat menghadapi tekanan politik yang semakin gencar akhir-akhir ini.

“Berbagai tekanan itu justru memperkuat karakter kepemimpinan. Saya yakin ibu Risma tidak akan menyerah. Ia adalah sosok pemimpin yang sangat diperlukan bangsa ini ke depan,” ujar Tjahjo Kumolo, sekretaris jendelar PDIP.

Risma tak ubahnya perempuan rumah, ibu rumah tangga. Tetapi, ia sangat peduli dan bertanggungjawab pada jabatan dan masyarakat Kota Surabaya. Ia sahaja, tak haus jabatan. Ia walikota, bukan isteri kepala daerah. Ia pejabat, bukan bintang iklan. Tugasnya adalah mengabdi, bukan mencari sensasi…