Oleh Syarief Makhya
Dalam dua bulan terakhir saya diundang untuk mendiskusikan penyusunan RPJP di Provinsi Lampung, Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Lampung Timur. Subtansi yang dibahas yaitu merencanakan pembangunan untuk proyeksi 20 tahun ke depan tepatnya menyambut Lampung Emas 2045. Diskusi yang dihadiri tokoh masyarakat, tokoh adat, pejabat pemda, dan kelompok lainnya, terungkap salah satu isu yang dilontarkan oleh tokoh adat Lampung yaitu adanya kekhawatiran ke depan budaya Lampung dan hak-hak penduduk Lampung asli akan punah atau semakin terpinggirkan.
Selain itu, isu yang mengemuka hasil evaluasi RPJP periode 25 tahun ke belakang terjadi disparitas pembangunan di Lampung. Hanya Kota Bandarlampung dan Kota Metro yang relatif memiliki kemajuan yang pesat sementara 13 kabupaten yang lainnya cenderung jalan di tempat. Setidaknya, belasan kabupaten itu kebutuhan pelayanan dasarnya masih tertinggal jauh dibandingkan Kota Badarlampung dan Kota Metro.
Fenomena kekhawatiran budaya Lampung dan hak-hak warga Lampung asli akan punah dan tepinggirkan, serta adanya kesenjangan yang terus menerus antara kota dan kabupaten di Lampung dalam konteks penyusunan RPJP 2025-2045, harus menjadi isu utama yang bisa diatasi secara efektif, sehingga nanti pada tahaun 2045 ada perubahan yang signifikan untuk mengatasi persolan tersebut.
Persoalan yang disampaikan warga Lampung dalam penyusunan RPJP tersebut dalam tulisan ini ditempatkan sebagai persoalan HAM. Jadi, persoalan isu pembangunan di Lampung bukan semata masalah yang bisa diselesaikan dan dipersepsikan secara teknokratik yang acapkali mengabaikan aspek HAM dan cenderung masih mengedepankan model pembangunan bias urban.
Sebagai catatan misalnya, pada sambutan RPJP dengan bangga disampaikan bahwa Lampung dalam 20 tahun terakhir ini mengalamai kemajuan. Lihatlah haotel di Bandarlampung sudah puluhan berdiri, pasar modern di mana-mana, fly over, dst . Dengan bangga, itu menunjukkan hasil kemajuan pembangunan di Lampung.
Sederhana itu para pejabat menyimpulkan kemajuan Lampung, saat ini. Padahal, di 13 kabupaten lainnya sangat jauh tertingal. Kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan jauh tertinggal dibandingkan di Bandarlampung, sehingga warga yang tinggal di kabupaten kalau berobat untuk pelayanan lanjutan harus ke Bandarlampung. Kualitas infrastuktur sangat buruk, apa yang diviralkan oleh Bima sampai Presiden mengunjungi lokasi jalan busurk di Lamteng dan Lamtim adalah cermin terjadi kesenjangan pembangunan infrastuktur di Lampung.
Perspektif HAM
RPJPD Lampung dalam perspektif HAM harus mengakomodasi dan menjamin pembangunan Lampung 20 tahun ke depan memperhatikan pemerataan dan kesetaraan serta akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, serta akses terhadap infrastruktur. Ini sejalan dengan prinsip-prinsip HAM yang menekankan pentingnya kesetaraan dan penghapusan diskriminasi. Juga, RPJP harus memberikan perlindungan khusus terhadap hak-hak minoritas, kelompok rentan, dan kelompok yang rentan terhadap diskriminasi atau marginalisasi
Ada dua persoalan pembangunan Lampung ke depan yaitu pertama, kehawiran budaya Lampung dan kesenjangan sosial antara penduduk asli Lampung dengan penduduk pendatang semakin timpang. Realitas ini bukan tanpa alasan karena secara struktural baik tingkat provinsi maupun kabupaten tidak ada intervensi kebijakan yang secara afirmatif bisa mengangkat kemajuan budaya dan juga kehidupan yang setara dengan warga lain.
Misalnya, apa yang diperjuangkan rekan saya, Prof. Admi Syarif untuk memperjuangkan penduduk warga di Jabung agar bisa kuliah di Unila adalah wujud untuk membangun kesetaraan. Tetapi, yang dilakukan Prof. Admi adalah inisiatif pribadi kerena terpanggil nuraninya dalam melihat ketidaksetaraan dalam persaingan untuk memperoleh keempatan studi di perguruan tinggi.
Nilai kesetaraan seharusnya memberi warna dalam memetakan perubahan yang akan terjadi 20 tahun ke depan. Dengan demikian RPJP harus memberi arah dan keberpihakan untuk membangun kesetaraan antar etnis di Lampung.
Persoalan kedua yaitu model pembangunan di Lampung masih sarat dengan pendekatan pembangunan bias urban. Model pembangunan ini cenderung memperkuat pertumbuhan ekonomi di kota dan mengabaikan daerah perdesaan atau kota-kota kecil. yang mengakibatkan pembangunan yang tidak merata, dengan sebagian kota mengalami pertumbuhan pesat sementara daerah lain terpinggirkan.
Demikian halnya investasi lebih cenderung untuk pertumbuhan ekonomi. Kota-kota sering menjadi pusat investasi karena menawarkan peluang yang lebih besar untuk pengembangan infrastruktur, industri, dan usaha-usaha lain yang dapat menghasilkan keuntungan.
Kalau RPJP arahnya tidak mendorong pemerataan pembangunan, kesetaraan, dan perlindungan terhadap kelonpok masyarakat yang tertinggal dan memelihara kelestarian budaya-budaya lokal, maka 20 tahun ke depan Lampung tidak mengalami lompatan kemajuan yang merata dan berkesinambungan.
Kondisi yang akan terjadi ke depan tidak akan jauh berbeda dengan situasi saat ini, di mana terdapat ketimpangan antara perkotaan dan pedesaan, terjadi peningkatan marginalisasi terhadap penduduk asli, dan ketidakseimbangan dalam pembangunan antar daerah. Dalam beberapa diskusi terkait Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP), terlihat bahwa para penyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) cenderung disusun oleh para teknokrat yang kurang memperhatikan masalah yang nyata yang dialami oleh masyarakat. Pendekatan yang mereka gunakan cenderung inkremental, yang menghambat kemungkinan untuk melakukan inovasi atau perubahan mendasar.
Oleh karena itu, arah yang seharusnya diambil dalam RPJPD Lampung adalah fokus pada distribusi yang merata dan berkualitas dalam pengelolaan sumber daya, untuk mengatasi bias yang terjadi antara perkotaan dan pedesaan serta untuk menjamin perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) bagi kelompok masyarakat yang terpinggirkan
*) Pengajar di FISIP Universitas Lampung