Rumah Sakit dan Nyawa Keluarga Miskin

Bagikan/Suka/Tweet:

“Orang miskin dilarang sakit….”

Begitulah bunyi ujaran lama, ejekan pada diri sendiri (kaum miskin) ketika berhadapan dengan mahalnya biasa pengobatan. Kalau bisa orang miskin tidak pernah sakit. Kalau bisa orang miskin ikut menjadi peserta BPJS agar bisa menyubsidi biaya perawatan orang setengah kaya yang pura-pura miskin.

Teori muluk yang diancangkan Presiden Jokowi menyebutkan: kita harus bergotong royong, yang kaya membantu (menyubsidi) biaya kesehatan yang miskin. Ya, di sini demi gotong royong,  negara mau lepas tangan terhadap nasib si miskin dan membebankannya kepada mereka yang kaya atau tidak kaya dan tidak  miskin untuk membantu si miskin melalui program BPJS.

Dalam praktiknya, mereka yang memegang kartu BPJS – apalagi Jamkesmas — akan mendapatkan pelayanan yang berbeda dibanding pasien yang membayar biaya rumah sakit dari kantong sendiri. Yang uangnya banyak mendapatkan pelayanan prima. Termasuk ketika pasien sudah tidak tertolong dan meninggal dunia di rumah sakit.

Kalau Man Dra’up cuma tukang becak dan merawat anaknya dengan kartu Jamkesmas, JKN, atau apalah namanya, maka Man Dra’up harus pusing 27 keliling jika takdir menggariskan anaknya dijemput maut di rumah sakit. Man Dra’up harus menyiapkan segepok uang untuk sewa ambulans untuk membawa jenazah ananya pulang agar segera bisa dimakamkan.

Kisah dengan tokoh berbeda terjadi pada Rabu sore (20/9/2017) di rumah sakit daerah plat merah milik Provinsi Lampung. Ibu malang yang stok uangnya tak banyak harus membawa pulang jasad putri kecilnya naik angkot karena tidak bisa menyewa ambulans.

Belakangan pihak rumah sakit mengklarifikasinya. Konon kejadian yang sebenarnya tidak seperti yang heboh di media sosial dan media online. Sayangnya, secantik apa pun klarifikasi itu, nyatanya si ibu pulang membawa mayat anaknya naik angkot. Masalah “administrasi” konon yang jadi penyebanya. Kesan di publik: sepertinya tidak ada kengototan pihak rumah sakit untuk membantu meringankan beban si ibu. Ketika si ibu yang tengah berduka dan kalut hatinya nekat membawa jenazah anaknya naik angkutan umum, tidak ada upaya mencegah karena rasa iba.

Ya. Memang putri kecil si ibu itu sudah meninggal dunia. Namun, ia tetap berharga. Ia harus dimakamkan dengan iringan doa keluarga dan para tetangganya.

Kita layak prihatin ketika para pengelola dan manajemen rumah sakit hanya memaknai orang sakit yang dirawat dan orang yang meninggal di rumah sakit sekadar hitungan angka, jumlah, dan nilai rupiah.

Oyos Saroso H.N.