Oyos Saroso H.N.
Ketika seseorang mendeklarasikan sebagai capres, cagub, cabub, caleg dan lain-lain, rumahnya tidak lagi seluas dua hektare dengan bangunan megah dan taman indah. Rumah seorang capres, cagub,cabub, dan calon walikota adalah seluas jejak telapak kakinya.Ke mana dia pernah melangkah, di mana ia pernah berbuat—dilihat orang maupun hanya ditonton setan bin belis—itulah rumahnya. Maka, lihatlah bagaimana rumah dan halaman calon pemimpin itu sebenarnya alangkah luasnya dan betapa rakyat dibuat terbuai untuk picik matanya dan gelap hatinya.
Menjelang pilpres, pilgub, pileg di Lampung—juga di seluruh pelosok Indonesia—banyak orang berusaha mempersempit rumah capres, cagub, dan caleg. Jejak-jejak yang agak kusam hitam diampelas dan dipernis atau dicat dengan warna terang agar yang bagus dan indah tentang capres, cagub, dan caleg yang muncul. Intinya, rakyat harus dibutakan dengan metode canggih.
Para pembuat picik mata dan gelap hati rakyat melakukannya dengan berbagai cara. Ada yang melalui kampanye yang menonjolkan sesosok wajah dengan dibumbui narasi yang dipetik dari langit. Ada untaian mimpi yang dibuat seolah-olah logis dan meminang rakyat untuk bersama dalam satu barisan calon pemimpin. Ada pula dengan cara membag-bagi hadiah mobil, motor, mesin cuci, sapi, kambing, gula, beras, uang, sabun, dan lain-lain. Ada juga yang berupaya menyogok komisioner KPUD, Panwaslu, PPK, dst dengan aneka bentuk.
Model terakhir itu, adalah cara superbodoh yang biasanya dilakukan oleh orang pintar dan di bawah kendali pengawasan orang yang disebut intelek. Intinya tetap sama dengan model rayuan lainnya, yakni berusaha membetot hati rakyat agar tergerak untuk memilih calon pemimpin tertentu. Dengan beras 2 kg, gula 1 kg, uang Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu tiap kepala calon pemilih, mereka berharap rakyat memilih.
Maka, pikirkanlah, duhai otak waras dan jiwa yang tidak mati, Rp 50 ribu atau beras 1 kg atau sabun cuci 1 kg itu maksudnya bukanlah untuk membeli satu suara. Pikirkanlah bahwa itu adalah untuk membeli satu keluarga yang memiliki hak pilih. Kalau satu keluarga ada 4 orang yang memiliki hak pilih dalam pemilu/pilgub/pilpres/pilbub/pilwakot, maka seorang manusia hanya dihargai ¼ kg gula, ¼ sabun atau Rp 12.500! Nilai segitu bukan untuk masa sehari, tetapi lima tahun ke depan!Itulah sebabnya, tak heran jika peneliti LIPI Prof. Dr. Siti Juhro menyebut bahwa politik uang adalah sebuah kejahatan sekaligus kekejaman. Semua pemberian dengan maksud agar pihak yang diberi memilih calon tertentu, menurut Siti Juhro termasuk money politic. Juhro menyebut kekejaman karena hanya dengan Rp 50 ribu atau sembako, maka mereka akan menangguk untung besar selama lima tahun ke depan.
Rakyat itu mudah lupa. Penalarannya pun pendek. Mereka kerap mengira bahwa calon pemimpin yang suka bag-bagi sembako dan uang itu benar-benar dermawan yang akan melakukan hal itu setiap hari. Dan, bodoh dan butanya saya—juga Anda para pembaca—sehingga kerap tidak peduli ketika tiba-tiba di dalam rumah kita sudah ada kiriman barang tersebut. Kita mungkin mengabaikan, tetapi istri dan anak di
rumah atau pembantu yang juga memiliki hak pilih, akan menyangka bahwa orang yang gambarnya bersama dengan bungkusan sembako itu memang yang paling layak dipilih dalam pemilu.
rumah atau pembantu yang juga memiliki hak pilih, akan menyangka bahwa orang yang gambarnya bersama dengan bungkusan sembako itu memang yang paling layak dipilih dalam pemilu.
Senyampang senja belum datang dan saat pencoblosan belum dimulai, ada baiknya kita mengecek rumah para capres, cagub, dan caleg. Kita perlu cari tahu dari mana sumber uang mereka untuk maju jadi calon pemimpin. Namun, kalau Anda termasuk jenis ‘makhluk penidur’ sehingga pagi ini sampai pagi-pagi berikutnya Anda masih mengantuk dan merasa tak ada urusan dengan pilpres, pilgub, atawa pemilu ya silakan tidur lagi.