Isbedy Stiawan ZS
/1/ RUMAHKU diselimuti kebun tebu—berartus -ratus hektar lebih—dari tanah adat (ulayat) dulunya, dan kemudian menjadi HGU. Beribu ton gula putih dari batang tebu itu diolah oleh pabrik, bermana pabrik gula.
Barangkali hanya sedikit aku menikmati gula dari kebun yang ditanam di tanah HGU itu bertahun-tahun, tapi belakangan ini bukan hanya aku yang menikmati secangkir teh atau kopi bercampur gula lumayan benyak agar manis. Kopi atau teh pun terasa manis.
Sebab, kapan lagi kami bisa menyeruput kopi dan teh manis. Dulu, aku sering bertengkar dengan isteri, karena acap membuatkan teh kurang manis, atau kopi yang pahit lantaran tidak kebeli gula.
“Minulah apa adanya, sesuai uang yang kau beri padaku pun seadanya. Untuk membeli lauk, beras, garam pun, uangmu masih kurang. Apalagi mau membeli gula,” kata isteriku mengomel dari ruang dapur.
Aku hanya diam. Membaca koran basi, mungkin edisi sepekan lalu. Sebuah berita sangat besar, ditemukan berton-ton gula putih di sebuah rumah warga. Gula tak bertuan itu diketahui pemilik rumah, tatkala ia terbangun dan melihat keluar rumah dari jendela kaca rumahnya.
Semula, seperti malam-malam sebelumnya, ia biasa
menengok keluar untuk memastikan rumahnya sedang dilirik pencoleng. Tetapi, kali ini justru ada seorang hantu mengirimkan gula. Ia katakana hantu, sebab di zaman sekarang ini sudag tak ada pencuri budiman yang mengirimkan sembako ataupun gula putih. Pemimpin yang baik hati hanya ada pada masa Umar bin Khattab yang kerap membawakan beras untuk rakyatnya.
“Tetapi ini kenyataan,” bisikku.
Konon, ya konon alias sahibul hikayat, ada seorang anak muda bermurah tangan: membagi-bagikan gula putih ke rakyat, dari dusun, umbul, kampung, sampai kabupaten/kota.
Biarpun, kata tetanggaku, pelan-palan kami tengah menabung diabetes. Diam-diam kami mesti membalas budi atas kebaikan anak muda itu. Diam-diam…
/2/ Bayangkan meminum kopi tanpa gula putih. Hanya sedikit meneladani kebiasaan seperti itu, itu pun dengan dalih demi kesehatan. Takut terancam diabetes. Sedangkan jutaan orang lain, akan tetap menggunakan gula putih jika ingin menikmati segelas kopi. Juga teh.
Maka berton-ton gula putih dikeluarkan dari pabrik gula itu. Bukan sebagai tanda terima kasih kepada rakyat, karena tanah ulayat yang telah menjadi milik negara telah di-HGU-kan kepada pabrik, sehingga berlaba besar, pemilik pabrik menjadi kaya alias miliarder.
Si pemilik bisa mendanai beberapa kepala pekon saat pemilihan pekon (pilkon), terutama pekon-pekon yang diketahui banyak lahan kosong. Kalau menang, lahan-lahan kosong itu bisa didayagunakan untuk ditanam tebu lagi.
“Bukan itu saja, pajak pun bisa dieliminasi,” kata Mang Yus, anak muda yang kritis. Dia teman karibku, bahkan sudah seperti
saudara sendiri. Aku suka dengan kekritisannya selama ini.
Dan, tentu saja, orang yang kritis dipastikan banyak tahu bahkan yang dirahasiakan ataupun yang tidak diberitakan pers. Misalnya, pemilik pabrik gula itu melarang orang-orang kepala kampung untuk mengecek berapa jumlah sumur bor di kawasan pabrik itu.
“Sumur bor saja dirahasiakan, tidak boleh dihitung oleh penguasa. Itu kan sama saja ingin menggelapkan pajak,’ kata dia lagi.
Nah lo! Saya benar-benar terkesima. Terbengong-bengong. Tetapi kemudian saya menganguk-angguk. Jadi, tak ada masalah kalau kita menerima kiriman gula putih dari pabrik gula tersebut. Bahkan halal jika masuk ke tubuh kita?
“Gundulmu! Mereka membagi-bagi itu bukan gratis. Mereka pamrih, gula kita terima namun rakyat harus memilih calon kepala kampung yang ditetapkan pabrik. Kalau calon mereka terpilih, berapa banyak pajak tak masuk kas kampung. Berapa ribu hektar tanah lagi akan dikuasai mereka…” kata Mang Yus berapi-api.
Jadi, Mang Yus menlanjutkan, kalau “boneka” pabrik
sudah terpilih dan jadi pemimpin kampung, bisa dibayangkan hampir seluruh kampung ini dipastikan ladang tebu. “Dan rumahmu rumahku, akan tertutup kebun tebu.”