Oleh : Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila
Ruwat adalah satu istilah budaya yang ada pada masyarakat Jawa. Arti harfiahnya adalah suatu bentuk usaha yang bertujuan agar kelak setelah menjalani ruwatan mendapatkan berkah berupa keselamatan, kesehatan, kedamaian, ketentraman jiwa, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi diri sendiri secara khusus maupun bagi keluarga dalam lingkup yang lebih besar lagi.
Tradisi ruwatan ini pada masyarakat Jawa pada umumnya dalam bentuk melakukan pagelaran wayang kulit semalam suntuk (satu malam penuh), dengan dalang sebagai pusat pemimpin acara; baik dalam pengertian memilih Pakem cerita maupun ubo rampe penyelenggaraan kegiatan. Untuk beberapa perkampungan Jawa yang ada di luar Pulau Jawa kegiatan serupa ini masih dilakukan dengan nama Bersih Desa. Sedangkan untuk ruwatan keluarga sepertinya sudah tidak terdengar; hal ini terjadi karena pemahaman keagamaan secara personal makin baik, dan mungkin juga alasan ekonomi, karena untuk melakukan ruwat dalam keluarga memerlukan dana yang cukup besar.
Tulisan ini tidak membahas dari aspek agama, namun lebih kepada aspek sosial kemasyarakatan. Pada masa lalu sebelum dikenalnya pertanian modern dengan bibit unggul. Tanaman padi pada masyarakat jawa dikenal dua musim; yaitu musim rendeng (musim hujan) dan musim ketigo (musim kemarau). Padi sebagai tanaman utama menjadi sangat rentan karena banyaknya hama, serta tingkat kesuburan yang rendah. Maka jika musim panen tiba pada masyarakat Jawa menyebut padi adalah Dewi Sri. Oleh karena itu saat panen perlu diadakan semacam acara syukuran yang disebut Sedekah Bumi; karena Dewi Sri mau memenuhi kebutuhan warga desa dengan memasuki lumbung desa.
Pada waktu itu masyarakat tani menyimpan hasil panennya berupa padi ada di dalam bangunan kecil terpisah dari rumah yang disebut Lumbung, salah satu Etnik di Sumatera Selatan menyebutnya “Tengiang”. Tanaman padi yang sudah masuk Lumbung ini dipertahankan untuk makan satu tahun.
Untuk desa ada yang disebut lumbung desa yang diisi oleh hasil tanah bengkok desa; yaitu tanah yang digarap untuk kepentingan perangkat desa dan desa sekaligus. Struktur ekonomi desa seperti itu musnah bersamaan dengan adanya “revolusi hijau” yaitu ditemukannya varitas padi unggul yang tahan hama, berusia pendek, dan langsung dengan teknologi hasil pertanian, padi dapat dijadikan beras saat masih ada di sawah; maka tidak perlu Lumbung yang perlu adalah perbankan.
Sementara itu jika desa kena bencana terus menerus sepanjang tahun, seperti gagal panen, ada penyakit menular yang juga disebut sebagai Pagebluk, masyarakat sering berselisih paham, ada warga yang gantung diri; masyarakat menganggap itu sebagai malapetaka desa; maka harus ada acara Ruwat Desa atau acara Bersih Desa. Kalau bersih desa ini hampir sama dengan Sedekah Bumi, hanya yang membedakan penyebab acara itu dilaksanakan; jika Sedekah Bumi adalah ucapan syukur atas panen yang melimpah dan akan masuknya Dewi Sri ke dalam lumbung; sementara Bersih Desa adalah acara membersihkan desa dari malapetaka.
Kedua hal di atas bukan bersifat kekhususan, akan tetapi pada umumnya. Jadi jika ada masyarakat atau desa yang tidak melakukan Bersih Desa tetapi melakukan Sedekah Bumi saja; hal itu bisa saja terjadi karena kedua hal di atas harus melalui rembuk desa terlebih dahulu. Dan keputusan dari Rembuk Desa ini bersifat mengikat kepada seluruh warga desa.
Untuk masyarakat pantai seperti Cirebon, Pangandaran, dan beberapa wilayah lainnya; acara ini disebut acara Sedekah Laut, atau juga ada yang menyebut Ruwat Laut. Untuk di Lampung acara ini pernah dilakukan pada masyarakat pantai yang banyak dihuni oleh nelayan Cirebon. Beberapa waktu lalu ada Thesis mahasiswa Pascasarjana yang meneliti adat istiadat ini.
Seiring kemajuan pemahaman akan Agama pada generasi berikutnya; maka acara seperti di atas sudah sulit ditemukan, bahkan dapat dikatakan tidak ada lagi. Karena paham Agama yang dianut melakukan acara yang tidak ada tuntunannya dalam agama, maka hal tersebut dilarang. Juga memohon perlindungan serta keberkahan kepada selain Tuhan, adalah perbuatan musyrik. Oleh karena itu acara pada umumnya berubah sesuai dengan tuntunan agama yang dianut oleh masyarakat tempatan.
Menjadi pertanyaan tersisa jika hari gini ada pejabat publik di negeri ini yang memiliki gagasan mau menyelenggarakan Ruwat Nasional agar supaya Covid 19 cepat pergi, dengan kerangka fikir tradisi di atas; apakah masih relevan. Sebaiknya pemimpin tidak harus menunjukkan “kebingungan sosial” dihadapan khalayak; apalagi itu bersinggungan dengan keyakinan agama. Perilaku diam, atau menunjukkan keprihatinan saja sudah cukup baik. Jangan lagi masyarakat dihadapkan dengan pertanyaan nyeleneh.
Janganlah kita mengulangi “gagal emage” yang pernah dilakukan oleh pejabat sekelas Menteri melakukan ritual ruwat mobil listrik agar tidak celaka, ternyata malah hancur; dan berbuntut ke arah pelanggaran hukum.
Masyarakat sekarang memerlukan solidaritas bersama dalam bentuk nyata dari semua kita dengan menanggalkan semua perbedaan, untuk bersatu padu melawan “Pagebluk Nasional” ini. Jangan sampai masyarakat merasa ditinggalkan oleh pemimpinnya; dan jangan pula berprasangka jelek kepada semua kebaikan yang datang dalam bentuk apapun; karena kemampuan kita berbeda beda.
Mari kita sama sama berprasangka baik kepada siapapun; dan berdoa dengan keyakinan masing masing, menggunakan fasilitas keyakinan masing masing untuk bermohon kepada Sang Maha Pencipta agar Covid 19 ini segera berakhir.
Semua kita sudah lelah, baik secara fisik, mental maupun sosial; kondisi ini bisa membuat stabilitas emosi kita sedikit terganggu, jika emosi itu masih berbentuk personal, maka pengatasannya lebih ringan, namun jika berbentuk sosial, ini yang sangat membahayakan. Karena bisa membuat ledakan sosial dalam berbagai bentuk; untuk itu mari kita juga ikut mendinginkan situasi yang terkadang muncul hanya karena persoalan sepele, tetapi besar untuk rakyat kecil.***