Opini  

Ruwetnya Pengelolaan Sampah

Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Syarief Makhya

Penumpukan sampah terjadi di sepanjang Pesisir Sukaraja, Bandarlampung. Kendati Walikota Bandarlampung berhasil menggerakan aparat pemokot dan warga untuk membersihkan tumpukan sampah, sampah susulan terus berdatangan sehingga tumpukan sampah di tepi pantai menjadi pemandangan sehari-hari. Lalu, muncul saling lempar kewenangan antara Pemkot Bandar Lampung dengan Pemrov Lampung.

Walikota Bandarlampung Eva Dwiana menyebut pengelolaan sampah di wilayah Pesisir Sukaraja menjadi kewenangan Provinsi, sementara Gubernur Lampung menyatakan urusan sampah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemkot Bandarlampung. Dari lontaran pernyataan tersebut, terkesan tidak ada koordinasi, tidak ada kerjasama bahkan mungkin ada kebuntuan untuk melakukan kerjasama antarpemerintahan.

Logika penyelenggaraan pemerintahan selalu disekat pada kewenangan formal, kendati masalah urusan publik ada di depan mata padahal mereka ada dalam wilayah yang sama.

Akhirnya, terjadilah saling lempar kewenangan dan tanggung jawab, yang berujung masalah urusan publik tidak terselesaikan dan memberikan persepsi buruk dalam tata kelola pemerintahan. Urusan sampah menjadi ruwet, gara-gara manajemen pemerintahan yang masih rigid, kaku dan tidak adaptif untuk melayani kepentingan masyarakat.

Dalam tata kelola pemerintahan, ada yang disebut dengan flexible government (B. Guy Peters, 2001) atau pemerintahan yang fleksibel yaitu pemerintah yang mampu beradaptasi dan mengubah kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan perubahan yang muncul. Pemerintah yang fleksibel mampu menyesuaikan diri dengan tantangan baru, menghadapi perubahan dalam lingkungan ekonomi, sosial, atau politik, dan merespons dengan cepat dan efektif.

Dalam konteks pengelolaan sampah, fleksibilitas pemerintahan bisa dilakukan dengan melakukan fleksibilitas kebijakan dan anggaran yang bisa dilakukan dengan kerjasama antara Pemerintah Kota Bandar Lampung dengan Pemerintah Provinsi Lampung.

Di birokrasi pemerintahan daerah sejak tahun 2018 (PP No 28 Tahun 2018) sudah diatur tentang Kerja Sama Daerah dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Jadi, secara yuridis sudah ada payung hukum untuk mengelola urusan publik melalui proses kerjasama antardaerah.

Pengelolaan sampah saat ini tidak mungkin diatasi oleh pemerintah daeran sendiri berdasarkan kewenangan karena khusunya di daerah kota sekarang jumlah penduduk semakin bertambah, fasilitas TPA sudah overload, dan jumlah perumahan semakin meluas menimbulkan bertambahnya volume, jenis dan karakteristik sampah yang semakin beragam. Selain itu saat ini juga belum diterapkan teknologi pengeloaan sampah sehingga pengelolaan sampah masih sangat tradisional; sampah masih diartikan sebagai barang yang tidak berguna, sehingga pilihannya hanya dibuang pada tempat tertentu.

Dengan program SDGs (Sustainable Development Goals) sampah dan pengelolaannya yang tidak sekadar mengurangi dampak pada lingkungan, tetapi sekaligus meningkatkan nilai tambah. Pengelolaan sampah kota telah menjadi perhatian global karena memiliki implikasi yang luas bagi masyarakat dan lingkungan.
Kerjasama Antar Pemerintahan

Masalah sampah dan pengelolaannya tidak lepas dari peran pemerintah baik itu pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Oleh karena itu, sampah harus dikelola dan ditangani menjadi pekerjaan bersama di semua level pemerintah daerah. Pengelolaan sampah harus dilakukan secara terpadu dan komprehensif. Asasnya adalah tanggung jawab, berkelanjutan, manfaat, keadilan, kesadaran, kebersamaan, keselamatan, keamanan, dan asas nilai ekonomi.

Isu sampah seperti persoalan sederhana, tapi realitasnya menjadi persoalan yang ruwet dan tak kunjung selesai. Akar persoalannya, pemerintah masih mempersepsikan isu sampah bukan sebagai isu utama sehingga tidak memiliki target menyelesaiakan isu sampah dengan pendekatan manajemen pemerintahan kolaboratif dan mengedepankan pendekatan komrehensif sebagai sebuah kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Hubungan antar pemerintahan daerah masih sarat dengan kepentingan politik sehingga pengelolaan pemerintahan cenderung dipersepsikan secara dominan berdasarkan batas-batas kewenangan administratif, seakan-akan masalah urusan publik bisa ditangani sendiri tanpa melibatkan pihak lain.

Di era otonomi daerah setiap kabupaten /kota memiliki otoritas wilayahnya yang kuat dan karena bupati/walikota dipilih langsung oleh rakyat, kerap kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki oleh bupati/walikota cenderung lebih kuat terikat pada rakyatnya daripada terikat secara vertikal ke gubernur, baik dalam kapasitas sebagai kepala daerah atau kepala wilayah

Akibatnya, rapat koordinasi dan kerjasama antar pemerintahan macet, bahkan nyaris tidak pernah dilakukan. Baru –baru ini misalnya, terjadi konflik antara Bupati Lampung Selatan dengan Pemrov Lampung gara – gara penolakan pembangunan tempat pembuangan akhir (TPA) TPA milik Pemprov Lampung di Desa Tanjungsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan.

Konsekuensi dari realitas hubungan pemkab dengan pemrov tersebut, maka kerap muncul benturan kebijakan, koordinasi tidak jalan, terjadi konflik kelembagaan pemerintahan, dan perebutan sumber daya. Persoalan tersebut, ada yang bisa diatasi secara efektif, ada yang berbuntut konflik terus menerus, hubungan kelembagaan tidak ada koordinasi, pembangunan terbengkalai atau mangkrak, masalah publik tidak teratasi dengan baik, dst.

Sekali lagi, dalam konteks pengelolaan urusan publik, pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan manajemen. Masalah publik harus diselesaikan bersama dengan melibatkan semua pihak; sangat tidak mungkin bisa dilesaikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota saja. Untuk itu, penyelesaiannya adalah masalah publik harus jadi masalah bersama dan menghindari menggunakan pendekatan konflik dan pendekatan kewenangan.

*) Dr. Syarief Makhya, Analis Pemerintahan FISIP Universitas Lampung