LUKA DI MATAMU
setiap kali memandang matamu, kutemukan luka
yang penuh parutan, lalu lekuk kematian menghimpit
menanam separuh rentang waktu yang terbungkus
ketakutan macam apa yang sedang tiba? padahal
ingin kuajak kau menjenguk kuil matahari tempat
para pecandu puisi bersemedi. lingkaran upacara pagi
yang tiba tak kunjung henti
ah, siapa yang tahu telah lama kaupelihara luka itu di sana?
tiba-tiba beranjak dari kekanak hijau, jadi gurun pukau
di mana ketakutan selalu lebur dalam pahatan kubur
tak pernah kusesali mengapa di matamu selalu tumbuh luka
sebab kota tak pernah selesai kita baca, di halaman sejarah
sekadar memberi tanda pada bab-bab kumal, tentang kita yang
tersengal di batas igau
pernah coba kauintip rindu yang tak punya kulit,
bercakap-cakap
di selembar daun yang baru jatuh *, mimpi tentang sebuah cinta
yang menjenguk ke ruangan rumah penuh dengan kilau cahaya
tapi lukamu itu telah menggambar sesuatu yang lain. yang tak
lengkap
aku duga, ringkih membaca semalaman tanpa tidur di halaman
kotor
sebuah negeri yang kau tempati
meski aku ingin selalu kau datang, meminta untuk lekas
berangkat
lalui hutan akar kata, menyemai tanaman kopi dari sunyi
sepotong puisi
tapi, ah, alangkah sebalnya aku, kau tak kunjung tiba
kita melulu bertemu di pusat kota, dan aku terjaga setiap
beranjak
ke dalam peraduan tidur, memandang matamu!
Jakarta, September 2004
* ingatan tak sudah dari cerita pendek Frans Nadjira
“Bercakap di Bawah Guguran Daun”
KAMAR INI SEBENTAR LAGI MELEDAK
sebentar lagi kamar ini akan meledak, suaranya akan terbang
lebih tajam dari cemeti atau duri di batang mawar
meninggalkan kutukan
orang-orang tentang: hiroshima, pearl hearbour, marriot,
manila, bali, atau kuningan. ranjang-ranjang akan burai,
bersama kapuk yang meliuk
ke dalam jantung
dan di gigir sesal kita akan kembali juga
pada ledakan yang lain. waktu yang serupa kaca memecah
menjelma jadi buih ombak, menyesali tragedi
di kamar ini, tak perlu lagi kau hitung jam dinding. lemari
kayu yang penuh
dengan kenangan foto tua, atau baju-baju yang tak pernah
terpakai
lihat juga, udara dingin akan menerjang malam basi kita.
setiap melewati
hari dengan skema rutin, dinding yang terkelupas warna
catnya
atau jejak matahari yang membekas di kala pagi
kamar ini begitu mungil, tapi ledakannya akan didengar
orang-orang
tanah-tanah terbelah, seribu kutukan dari janggut firaun
mendesah
seperti tongkat musa, laut mati dalam pagut
tak perlu lagi disesali, jika meledak hari ini
bangkai kita, toh akan tetap wangi
Jakarta, 9-10 September 2004
HUJAN YANG TUMBUH DI RAHIMMU
sebab tak ada yang tahu di mana pangkal hujan
aku memburu dirimu. sebab di rahimmu terbersit
desir-desir liuk air, yang bergetah dan berdiam lama-lama
tak pernah lagi kukuak lembaran kitab
tempat mula membaca dunia
mengapa hujan terus tumbuh di rahimmu
menggapai sengat dirimu, dalam gejolak kemarau yang makin
rimbun
sehabis ini, tak akan ada lagi yang menyesali
mengapa hujan tak kunjung turun di depan rumah ini
2004
KACA_KACA JATUH DAN ISAK TANGIS
tinggal arang
tubuh yang terbuang
namun kau merakit kenangan usang
tentang orang-orang
yang tak pernah bisa berkaca. selalu ingin kau bertanya
pada deru kendaraan, atau jejak kerumun para pejalan
tapi pecahan kaca gedung sehabis ledakan
tak mampu kau bereskan, tertinggal dalam dada
isak tangis yang leleh bagai gerimis
menggapai-gapai dirimu yang lain
dalam rindu yang lain
cuma puntung hitam
selisik debu
riuh serapah
reruntuhan yang menggelegak
barangkali di pusat darahmu
mungkin di igau mimpi malammu
tapi tangan orang-orang berdarah
tak ada belati yang tersayat
cuma pecahan kaca jatuh
kenangan yang tak pernah terkayuh
menggamit matamu
masuk ke dalam malam
diam
tidurlah dulu
besok kita mesti bersiap hadapi berita yang beda
Jakarta, 9-10 September 2004
JANGAN DULU KELUAR RUMAH!
jika pagi menelusur dengan busurnya yang panjang
ke cecambah jalan yang sunyi, kuingin kau tak berada di sana
di cecabang itu banyak yang telah mati terkapar
bukan karena peluru, bukan karena kerusuhan
ah, manis, tolong jangan dulu keluar rumah!
di mana-mana serpihan kaca bertaburan
di mana-mana ada detak bom
menghisap seluruh ketakutan yang pernah lesap
tak berpijak di atas tanah, serupa hantu-hantu di layar
televisi
tapi, siapa yang sesungguhnya berdarah? saat gedung-gedung
kaca pecah
tinggal rangka telanjang. menggoda dengan serpih luka,
tetesan darah yang
berkelebat dengan mantel hitam, yang menancap tepat di
kelopak mata
sisa kornea, gerhana kota!
berulang kali kita kubur dendam, melengkapi rambu-rambu
malam
yang terpanggang. namun sesak itu terus saja berkecambah,
terseret sampai di depan
halaman rumah. menyayat dalam napas kita yang penuh kepul
asaptersengal, dalam isak tangis yang menjelma jadi gerimis dari kepala
jangan dulu keluar rumah, sayang! aku takut engkau makin
terluka
jalan-jalan belum aman, keramaian yang riuh ternyata bukan
milik kitagerombol nyawa melayang terbang tanpa sayap di sisinya
bagaikan ingin menyiapkan ribuan kubur tanpa nisan
sedangkan luka sudah makin besar, menanam di seluruh mimpi
buruk setiap tidur malam
barangkali, kitalah para pendosa itu. merasa jengah dan
letih berdoasaat mobil-mobil jadi bangkai besi, dipahat di ujung jalan
jangan dulu keluar rumah! ketakutan ini terus menggigil di
setiap ujung leher
gemetaran, buat bulu kuduk jadi ringkih, menelusup ke anak-anak
rambut
kita sendiri. menyikut segalanya dalam renggut maut
segalanya hampa. sunyi yang tersembunyi di dalam hati
puluhan polisi kehilangan nyali, sekadar menyingkap tabir
uap darah yang kejam
tertinggal di dalam pakaian orang-orang
jalanan macet yang tak sempat dipotret dalam sebaris puisi
kerumunan orang-orang menyikut maut yang terpental
dari ketinggian gedung, dari tanah-tanah yang basah dengan
darah
jangan dulu keluar rumah! nanti kau tersesat
peta kota ini sudah lain, begitu banyak orang-orang yang tak
punya wajah
tak punya identitas di saku celana
tolonglah kau tetap berada di rumah saja, hentikan sementara
kebiasaan
jalan-jalanmu
biarlah kau berdiam dengan manis di dalam rumah
menatap televisi yang beku, ruang tamu yang hilang kupu-kupu
sebab bom yang lain akan terus menggempur dalam hitungan jam
menyeret kita ke dalam jeram yang menipu
kau akan terperangah melihat kota yang tiba-tiba penuh duri
dan liku
dengan kalimat di setiap sudut: police line tak bisa
dimasuki
aku sedang berada di sana, kekasih! orang-orang menggotong
keranda
bagi mayat sendiri
pecahan kaca yang sekejap terlontar ke dalam pembuluh tubuh
raung ambulance, asap tebal yang pedih
jerit yang menjelma jadi parit
kemudian puluhan orang masuk ke dalam laci rumah sakit
yang penuh dengan ceceran darah
penyesalan yang dibalut perban
baju putih dokter yang dibingkai kesakitan
radang yang menerjang
ingin kutelepon kamu, tapi tak lagi sempat
sekadar bilang agar kau tetap di rumah saja
sembunyikan tubuhmu di sana, aku akan lekas pulang
akan kujerang matahari yang bersinar cuma sedikit buat
tubuhmu
menghangatkannya dengan nyala yang masih pijar
supaya kau kembali dipenuhi dengan aura
tapi, kuminta kau tetap di rumah saja. tunggulah aku sebentar
lagi
meski, kita sama-sama tahu, akar maut tak mungkin bisa
dicegah
mencopet kita dengan seketika
di mana-mana, tak bisa diduga
ah, tangis luka itu punya siapa? saat kerumun pohon dan
bangkai gedung
berlindung di jalanan penuh debu. ratusan orang mengeram
dalam napas yang penuh buru
jangan dulu keluar rumah! kota ini telah terbelah
tak akan sanggup menipu lagi. tak lagi bisa ditebak siapa
dalangnya?
pertanyaan demi pertanyaan berangkat jadi fosil
berarak ke seluruh negeri
duka itu terus saja menggeliat, jadi ulat yang ditanam di
atas tanah
dari negeri yang gembur dan makmur
rupa-rupanya kita tak cukup bisa memaklumi atau memahami
masalalu
tinggal dalam getah yang nanah, torehan pisau di bekas luka
semakin menjerit, semakin sakit
tak sanggup lagi berkata. tak sempat mengucap doa
jangan dulu keluar rumah!
nanti kakimu akan menginjak pecahan bom lagi
Jakarta, 9 September 2004
SEGELAS KOPI
seketika, segelas kopi menghitam di benakmu. kau bayangkan
asap yang mengepul
membakar ruas-ruas kampung
menipu silau mata, dengan timbunan dendam
lalu kau teguk, perlahan-lahan. tubuhmu menjelma jadi air
mata
membungkus gerak cuaca yang penuh tuba
di sini, sebetulnya tak ada lagi kecengengan
selain gertap marah yang melempar tuah
menyulut api-api memanjang
di sudut-sudut setapak
semacam bekas kaki yang tergesa
tinggal di sana. menguntit dan melulu ingin diikuti,
perlahan
tapi, di mana sepotong lagu sedih terdengar
di selisip sayup suara yang makin mengecil?
setiap pagi, ketika kau buka jendela
serpihan cahaya menancap di retina
membawa berita itu lagi. ah, sedemikian kelamkah
potret-potret sunyi yang
rapi berbaris di kerumun orang-orang? demikianlah, kau lalu
mencoba melacak
ke mana sesumbat dengki meliar, seperti luas hutan yang
kelam
sebagaimana segelas kopi hitam yang kauteguk setiap pagi
2003-2004
LETAK CUACA
semisal di musim hujan ini, jaket yang kerap kau pakai
tiba-tiba kuyup– pada jalan yang mana tempat singgah?
sementara tak pernah puas kau tata letak cuaca
menggeser puting kemarau dan hujan
memberi lanskap yang pengap pada ujung daun runcing
lalu kenangan tinggal dalam jaketmu yang basah
mungkin kau akan diam, sebab masa lalu hampir mirip dengan
kemarau
terasa kering dan penuh debu
maka kau angankan tempat berdiam yang lain
tinggal di rumah dengan perempuan yang berleher jenjang
menyeduh hujan yang singgah di beranda
meninggalkan gumpal gelisah yang kerap melintang
bukankah kita melulu lupa pada segala? tiap kali hujan
berbenah
dan rebah
tak ada sejarah yang tinggal di sana
buatku, apalagi untukmu
Jakarta, 2004
DURI
sebab batang mawar merebut duri
dariku, kau tinggal di pucuk batangnya
sendiri menunggu. setiap kesakitan yang membuatku lupa
untuk sekadar duduk berdua denganmu
meski kangen terasa jahat, selalu memeluk di malam-malam
dingin. mengawasiku dengan sorot mata para hantu
yang berdiam di negeri penuh bangkai manusia
duri itu tertancap, bukan di tubuh
tapi setiap kubaca kembali lembar-lembar ingatan
yang penuh dusta
kini lengkap seluruh duka
yang bertahan di sepanjang malam. pangkal-pangkal tahun yang
getir
acap bertahan di ujung lidah. merupa stasiun, berharap
kereta rindu datang
menjemput membawa diriku yang kecut
terus untuk pulang padamu
Jakarta, 2004
DI RUANG TAMU
1.
jarak bagimu mungkin sebuah pintu
yang menunggu dalam sebuah waktu yang beku
pun di matamu, saat aku duduk di sebuah kursi
ruang tamu
menanti
selembar sepi yang jatuh malam ini
tapi ada air mata yang tumpah
di pangkal usia
hinggap saat kau menyapa
2.
semestinya aku tahu, sejak dulu
saat pertama kali kubaca tubuhmu
sebagaimana memandang jernih air kolam
yang dipenuhi ikan
meski kerapkali sulit kusembunyikan dirimu
dalam rinduku yang selalu sakit
ah betapa pilunya percakapan kita
menghukum waktu untuk segera sampai
dalam buai
3.
sementara tak kubawakan oleh-oleh
buatmu dari kota tadi sore
kau juga seperti ruang tunggu
beku, tak mau bicara lagi
bagaimana bila kita lupakan sejenak
tentang plato atau nietzche?
menikmati detik yang merayap itu
menggores sekelumit tanda yang enggan berkata
apa lagi yang mesti dipercakapkan?
sampai sepi tumbuh jadi basi
asmara kita digigit cemburu buta
4.
pintu yang terbuka adalah tempat keluar masuk ingatan
di mana aku sering mencatat diam-diam
tentang hujan yang terlantar di halaman
5.
hanya kotak akuarium
menendang diriku
dalam dunia yang tak kunjung ranum
seperti dirimu, begitu sering bisu
Jakarta, September 2004
CATATN 19092004
besok pagi orang-orang akan bergegas ke bilik
memasukkan suara mereka, sampai tak bisa bersuara
ada harapan yang terlontar, membenahi negeri yang gemetar
maka kutempuh indonesia yang mengapung di masa lalu
membingkiskannya bagi para pemenang di bilik itu
tapi tak kutemukan dirimu di situ. cuma rangkaian harapan
yang disulam jadi kembang, untuk dijual di pasar-pasar
besok, saat pagi terpelanting ke atas tanah
kita akan memasukkan mimpi itu ke kotak suara
menjemput segumpal harapan yang penuh pijar
sebagaimana berulangkali aku tersesat dalam kelindan matamu
yang mengajak pergi, menggapai-gapai liur sepi
tapi masih adakah sisa harapan buat masa depan?
KEMBANG
i.
kau tak kunjung jadi kembang
mimpi-mimpi terbang
menerawang ke langit
yang sakit
padahal ingin kumasuki ruang pengantin bersama
dengan getah senyum seorang perempuan
yang bawakan payung saat hujan
tapi betapa cabik ingatan makin lebar
saat waktu menggigil dengan segumpal sumbar
cinta kita makin terkapar
kembang itu telah kering
digigit pertikaian yang asing
meski satu dua kumbang hinggap
mengisap mahkotanya yang terasa pengap
ii.
perempuan, semestinya kau sisir rambutmu
memakai gaun penuh warna
menungguku saat senja merengkah
tetapi pantai tak lagi bisa disinggahi
tertanam dalam ingatan yang landai
kenangan yang telanjang
tentang dirimu
aku bawakan lagi kembang, sebagaimana tardji bilang
tapi masih selalu gundah yang berkawah
hinggap di jemarimu
sementara aku rindu belai yang tak usai
dalam dirimu
iii.
tubuhmu berlarian dalam gerimis
seperti masai, mengerut penuh mambang
jarak ini makin berjejak
bersama kilat mata yang nyalang berkelebat dengan jahat
serupa aku yang ingin lagi menyentuh sejarahmu
menuliskannya dalam buku
atau sekadar menggambar rupa bunga yang sepertimu
seperti dirimu!
Jakarta, September 2004
RAHWANA
siapa yang terkena tikam? sejarah penuh lumur darah
saat kaumasuki batas-batas hitam negeri ini
kita lama terhisap dalam pusara
menunggu air mata yang derai tak sudah-sudah
berulangkali para pengkhianat kembali
melengkapi lengking maut
setajam belati yang sunyi
di kurusetra, tak ada senja
atau rupa-rupa hujan
cuma bekas kematian, puluhan kubur tanpa nisan
2004
DI BAHUMU
matahari telah jauh, jalan penuh jejak yang berkerak
namun di bahumu aku membaca derita yang lain
meski tak bisa kucuri pasir dalam lambaian
saat kita duduk di gigir, meraba pecahan air laut
yang memagut. lalu kita pungut
dalam derita. meski hari minggu lalu, kenangan terus saja
diam. di bahumu masih tertempuh silau cahaya yang kerapkali
memapah kita pada suatu lorong
ah, betapa kita telah masuk ke dalam ceruk yang penuh lekuk
menggapai kalender yang acap luput untuk diingat lagi
2004
Biodata:
Alex R. Nainggolan dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982.
Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Jurnal Sajak, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Berita Harian Minggu (Singapura), Sabili, Annida, Matabaca, Majalah Basis, Minggu Pagi, Koran Merapi, Indo Pos, Minggu Pagi, Bali Post, News Sabah Times (Malaysia), Surabaya News, Radar Surabaya, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, Radar Surabaya, NOVA, On/Off, Majalah e Squire, Majalah Femina, www.sastradigital.com, www.angsoduo.net, Majalah Sagang Riau, dll. Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila.