MENANAM DAUN RAMBUTAN
pohon rambutan, dua pohon cempedak, dua pohon kelapa dan satu pohon belimbing,
di halaman belakang rumah. Pulang sekolah aku manjat pohon rambutan. Masih
terasa getah, gigitan semut dan aromanya. Dan pagi tadi, aku menanam daun
rambutan di halaman depan rumah. Bukan tumbuhnya, tapi berharap lahir seperti dulu.
2014
kuat menjaga cinta Tuhan. Membunuh rasa sakit hingga ke sumsum tulang, tiap
detik yang menghantam jantung kami. Lukislah terus Superman dan Batman, meskipun
kini hanya di dinding pandanganmu. Kau kuat menjaga kasih Tuhan. Ingatlah para
temanmu menunggu di luar, mengajak bersama menghadapi kedewasaan; melabrak para
penjahat hutan yang membuat tubuhmu dan teman-temanmu melemah. Lukislah terus
Superman dan Batman, dan kau tetap Indonesia meskipun tidak mengenal Si Mata
Empat atau Si Pahit Lidah. Sebab kau kuat menjaga cinta, bukan perkasa
membangun permusuhan. Teruslah melukis Superman dan Batman, aku tunggu
anak-anakmu yang juga kuat.
Terluka sebab tak mau
terluka. Pedih mengiris seperti sesak napasmu selama sembilan jam. Ingin selalu
memijit pahamu dan mencium keningmu yang terus bekeringat. Dan berharap kau
memaafkan. Subuh itu aku tertidur.
Terluka sebab kau bukan
hanya milikku. Seperti aku bukan milikku. Ibu! Ibu! Ibu! Bapak!
Terluka sebab sepi
melukis kamar bersuhu 16 derajat celcius. Di balik selimut merah dan coklat,
serta tumpukan bantal, kau bercerta soal alien berulangkali, yang sesungguhnya
malaikatmu. Aku yang sombong, buta membaca, gemetar mencuci selimut dan sarung
bantal itu, malam ini.
Ibu! Ibu! Ibu! Bapak!
Masuklah. Pintu
terbuka. Masuklah. Kami hanya punya air mata. Ibu! Ibu! Ibu! Bapak!
Terluka sebab rumah
adalah aroma ketiakmu, ceritamu, bukumu, televisimu, komputermu, dan tumpukan
t-shirt putihmu.
Ibu! Ibu! Ibu! Bapak!
Muntahkanlah semua obat yang menjaga darahmu. Biarlah luka ini mempertemukan
kita di surga.
2014
Diberikan bunga
terindah di rumah, tumbuh bertahun-tahun. Tidak pernah pulang. Pikiran dan rasa
ditipu jalan dan dirampas pasar. Rumah semacam persinggahan buat bermain. Lalu
bunga disiram air mata kekecewaan dan kemarahan. Tapi tidak pernah pulang.
Bertahun-tahun.
Saat bunga melayu, aku
pun belajar pulang. Pelan-pelan membaca kamar mandi, dapur, dan kamar tidur.
Tuhan pun dibicarakan, termasuk doa-doa yang disenandungkan saat dilahirkan.
Terlambat. Bunga terus
melayu, dan mandi air mata tidak mampu merontokkan cintaNya. Melepaskan bunga
kembali ke tamanNya.
Berat dan terlambat. Serasa
puluhan abad memukul batu.
Kini aku menunggu bunga
terindah kembali tumbuh di rumah. Berharap tidak melayu sebelum bunga menjadi
pohon menghijaukan dunia.
TamanNya tidak menipu.
2014
Tubuhmu menutupi rasa
dan pikirku. Pagi ini, belum mampu aku bercerita lagi tentang keluarga
melacak peradaban manusia di segala benua. Bagimu, semua bermula bersih dari
setitik air seni di tubuh. Islam yang kudus. Katamu, perjalanan dimulai dari
membersihkan batu yang berjatuhan di pundakku. Batu yang jatuh karena Tuhan,
berharap membangunkan jiwa yang berkabut.
Kabut itu menebal. Kau
memilih menjadi anak untuk dikenang. Aku menangis seperti sungai.
Bisikmu: Allah percaya
Bapak mampu membersihkan batu itu, setelah itu hijrahlah. Bawa aku melacak
peradaban manusia di segala benua. Kenanglah aku buat membangun kedamaian
bersama ibu, kakak, dan juga adikku yang menunggu. Bapak tidak perlu lagi
menggergaji batu, merebus batu atau memukul batu. Itu semua sudah kubacakan.
Amin, jawabku. Amin,
jawabku. Amin, jawabku. Amin, jawabku. Amin, jawabku.
2014
kau lukis.
T.WIJAYA
Lahir di Palembang pada 25 Desember 1970. Istri, Dian Maulina. Anak, Bachtiar
Syahri Wijaya (1997) dan Abdurachman Che Wijaya (2002-2014). Selain berkesenian
juga seorang jurnalis. Beberapa naskah teater yang ia kerjakan Ikan Asin 50
Tahun di Dalam Kaos Kaki (Studio Oncor Jakarta, 1995), Muria, Sandal Theklek
Puncat di Dada (PMKRI Jakarta, 1997), Sepak bola Betapa Indahnya (Apek Palembang,
2002), dan tim dialog gagasan bersama Djohan Hanafiah dan B. Trisman atas
Prasasti 13 Abad Kebangkitan Sriwijaya karya Erwan Suryanegara 2008). Salah
satu penyair Indonesia yang mengikuti pertemuan Penyair International
(DKJ-DKSS, 2006). Masuk menjadi salah satu penyair Indonesia sejak masa penyair
Hamzah Fansuri hingga saat ini, dalam
buku Antologi de Poeticas, kumpulan puisi penyair Portugal, Indonesia, dan
Malaysia2009. Menerima anugerah Batanghari Sembilan 2010 dalam bidang sastra
(DKSS). Menjadi peserta
Pertemuan Penyair Nusantara V di Palembang (2011, Dewan Kesenian Sumatera
Selatan), dan salah satu puisinya yang masuk dalam antologi “Akulah
Musi”, dijadikan teks dasar buat judul buku tersebut, yakni “Oi,
Melayu, Akulah Sungai Musi”.
Karya Tunggal
– Krisis di Kamar Mandi (kumpulan sajak, 1995)
– Dari Pesan Nyonya (kumpulan sajak, 1996)
– Juaro (novel, 2005),
– 1001 Tukang Becak Mengejarku (kumpulan sajak, 2006)
– Buntung (novel, 2007)
– Aku Dimarahi Istri (kumpulan sajak digital, 2009, www.sajakdigital.blogspot.com)
Cagak (novel, 2012)
– Mimbar Penyair Abad 21 (Dewan Kesenian
Jakarta, 1995)
– Cakrawala Sastra Indonesia 2005 (DKJ, 2006)
– Kumpulan Puisi Penyair International (DKJ-DKSS, 2006)
– Antologi de Poeticas (kumpulan puisi penyair Portugal, Indonesia, dan
Malaysia, 2009)
– Akulah Musi (kumpulan puisi penyair Nusantara, Dewan Kesenian Sumatra
Selatan, 2011)