Oleh Dewi Ria Angela
Hari Ibu diperingati di Indonesia setiap tanggal 22 Desember. Kenapa mesti ranggal 22 Desember yang dipilih sebagai Hari Ibu? Itu tak lain karena Kongres Perempuan I digelar pada 22 Desember 1928.
Kongres yang diselenggarakannya di sebuah gedung yang kemudian dikenal sebagai Gedung Mandalabhakti Wanitatama di Jl. Adisucipto, Yogyakarta itu dinilai sebagai peristiwa bersejarah. Ia menjadi salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia.
Ketika itu para pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara berkumpul, menyatukan pemikiran, dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Itulah tonggak sejarah kebangkitan perempuan Indonesia. Meski begitu, kaum perempuan Indonesia sejatinya juga sudah turut serta dalam pelbagai pergerakan pemuda Indonesia, Misalnya pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.
Untuk mengenang dan menghargai peristiwa tersebut, Presiden Soekarno kemudian menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Penetapan itu melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959. Sejak saat itulah setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu, bukan Hari Perempuan. Jadi, pada awalnya, maksud Peringatan Hari Ibu adalah untuk mengenang perjuangan kaum perempuan menuju kemerdekaan dan pembangunan bangsa.
Berdasarkan sejarah itu, jelaslah bahwa Hari Ibu maknanya jauh lebih luas dan besar ketimbang urusan domestik kaum perempuan. Terlebih sekadar diartikan sebagai hari penghargaan kepada para ibu yang setiap hari sudah bekerja keras mengurusi dapur dan rumah tangga, mengurus anak dan membesarkannya hingga menjadi orang sukses. Pemahaman seperti itulah yang menyebabkan lahirnya anggapan bahwa Hari Ibu sejajar dengan Mother Day di Amerika Serikat dan banyak negara di dunia.
Seperti Mother Day, peringatan Hari Ibu di Indonesia pun kerap diartikan sebagai saat bagi banyak orang untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu sebagai perempuan yang dengan penuh kasih sayang membesarkan anak-anaknya.
Memang, semua itu tidak salah. Namun, jika kita kaitkan dengan konteks sejarahnya, maka pemaknaan semacam itu terlampau sederhana. Sebab, sejarah telah menunjukkan bahwa kaum perempuan Indonesia sejak lama sudah melampaui perjuangan domestiknya.
Kini, hampir setiap peringatan Hari Ibu media dengan gencar memberitakan berbagai acara peringatan yang menempatkan Ibu (dalam pengertian domestik, sebagai perempuan yang melahirkan anak-anaknya) sebagai sosok yang harus dihormati. Kerap pula terjadi peringatan itu sifatnya menjadi sangat domestik dan pribadi. Misalnya, pada Hari Ibu ada sebuah keluarga yang membebaskan ‘nyonya rumah’ dari seluruh beban tugas sebagai ibu rumah tangga. Ini juga tidak salah.
Namun, jika dikaitkan dengan niat awal diadakannya Hari Ibu maka hal itu menjadi salah kaprah. Lagi pula, bukankah kini sudah eranya kesetaraan gender sehingga pekerjaan rumah tangga tak melulu harus dikerjakan seorang ibu? Juga, bukankah penghargaan kepada ibu tidak mesti hanya dilakukan sehari yakni pada Hari Ibu?
Baca Juga: Sejarah Hari Ibu, Berawal dari Kongres Perempuan Indonesia