Sampah

Bagikan/Suka/Tweet:
Rusdi Mathari
Ini
kabar gembira. Pak Kamin dan Pak Agus hari ini kembali mengangkut sampah dari
kompleks rumah kami. Jack, anak tertua Pak Kamin, yang menjadi satpam di
kompleks rumah menyampaikan kabar itu pada saya tadi subuh. “Pak Agus sudah
sehat Pak. Hari ini mulai lagi mengangkut sampah,” katanya.
Sudah
selama lima atau enam hari, sampah dari 125-an rumah di tiga RT di lingkungan
kami tidak diangkut. Awalnya karena Pak Kamin sakit. Tiga hari. Ketika Pak Kamin
sembuh, giliran Pak Agus yang tak berdaya. Kata Jack, Pak Agus kelelahan
mengangkut sampah seorang diri. Bekerja mulai jam setengah enam pagi, dan baru
selesai menjelang maghrib. Pak Kamin yang sudah agak sehat tak bisa bekerja
seorang diri karena tidak bisa mengendarai Viar yang biasa dikendarai Pak Agus.
Itu
sepeda motor beroda tiga buatan Cina yang di bagian belakangnya dipasang bak
terbuka. Mirip truk kecil. Kendaraan itu dibeli oleh Pak Agus kira-kira setahun
lalu sebagai pengganti gerobak sampah berwarna kuning yang oleh Pak Kamin dan
Pagus, biasanya ditarik sekuat tenaga dari rumah ke rumah. Membelinya tidak
tunai. Pak Agus mendapat bantuan uang muka dari Pak Heru, orang kaya di RT
kami. Sisanya, dia mengangsur ke bank. Setiap bulan Rp 700 ribu.
Di
bak terbuka Viar itulah sampah ditumpuk, lalu di bawa ke tempat penampungan
sementara di pinggiran Depok. Tempatnya agak jauh dari lingkungan kami. Sekitar
2 kilometer ke arah selatan. Melewati jalan yang melingkar-lingkar dan penuh
angkutan kota jurusan Depok-Srengsengsawah. Kata Pak Kamin, membuang sampah di
sana tidak gratis. Harus membayar Rp 450 ribu setiap bulan. Semacam uang untuk
menyewa tempat.
Pak
Kamin dan Pak Agus terpaksa membuang sampah ke pinggiran Depok itu, karena di
lingkungan kami, di sekitar Danau Setu Babakan belum tersedia truk pengangkut
sampah. Tempat sementara pembuangan sampah atau tempat-tempat truk pengangkut
sampah biasa mengambil sampah yang terdekat, ada di sekitar Pasar Lenteng
Agung. Di tepi jalan raya Pasar Minggu menuju Depok. Untuk bisa membuang ke
sana juga tidak gampang, selain ada biayanya.
Pak
Kamin pernah bercerita, uang untuk membayar sewa tempat di Depok dan mengangsur
Viar, diambil dari iuran bulanan warga yang sampahnya diangkut oleh mereka
berdua. Besarnya Rp 30 ribu untuk setiap rumah. Saya tahu, tarif sebesar itu
bukan keputusan Pak Agus dan Pak Kamin, tapi keputusan rapat RT yang pada suatu
malam pernah saya hadiri. Cukup murah sebetulnya tapi tidak semua warga tertib
membayar. Ada warga yang sulit ditagih. Ada yang pura-pura lupa.
Ada
yang bahkan sama sekali tidak membayar. Terhadap orang-orang semacam itu, Pak
Kamin dan Pak Agus biasanya memberi toleransi. Bila tiga bulan berturut-turut
tidak membayar, sampah tidak diangkut.
Maka
kabar dari Jack subuh tadi, adalah kabar gembira. Di beberapa rumah kompleks,
sampah yang menumpuk di tong sampah sudah ada yang mengeluarkan belatung.
Sebagian berceceran di jalan kompleks. Lalat berterbangan. Sudah ada yang
mengeluh. Hujan deras yang mengguyur kemarin siang, menyeret beberapa sampah
itu ke selokan kompleks. Ketika hujan reda, got jadi bau.
Kemarin
sore, saya dan Jack mengguyur saluran itu dengan air berember-ember. Lumayan,
baunya sedikit menguap. Warga di belakang kompleks, tadi malam beramai-rami
membakar sampah di halaman belakang rumah Pak Namin yang cukup luas. Di
rumah-rumah lain, sampah itu mungkin tetap dibiarkan teronggok seperti di
kompleks kami. Tumpukan sampah itu memang merepotkan kecuali bagi warga yang
tidak menggunakan jasa Pak Agus dan Pak Kamin.
Ada
atau tidak ada Pak Agus dan Pak Kamin, mereka tidak peduli karena bisa membuang
sampah ke sembarang tempat. Kadang dilempar ke kali kecil di samping rumah. Ada
yang melemparnya ke Danau Setu Babakan. Hampir setiap pagi saya menjumpai
sekantong plastik berisi sampah, tersendat-sendat mengapung di kali. Sering
saya menemukan popok instan bayi menyangkut di dinding kali. Entah apa isi
benak mereka hingga bisa enak membuang begitu saja sampah ke saluran air atau
ke danau.
Saya
tahu, sebagian orang-orang itu memang hidup miskin, tapi sebagian yang lain
adalah orang-orang yang memilih menggenggam uang Rp 30 ribu daripada sampah
mereka diangkut oleh Pak Kamin dan Pak Agus. Celakanya mereka kemudian
menganggap kali dan danau adalah tempat besar pembuangan sampah, lalu mengeluh
ketika air kali atau danau meluap menghampiri halaman rumah mereka.
Hari
ini, selepas berlari mengelilingi Danau Setu Babakan, saya bertemu dengan Pak
Kamin di depan rumah yang bersiap mengambil sampah.
“Sudah
sehat Pak Kamin?”

“Alhamdulillah
Pak Rusdi.”

“Pak
Agus juga sehat?”

“Sudah
Pak. Dia mengambil sampah di rumah depan.”

“Duduk
di sini dulu Pak.”

“Wah
terima kasih Pak. Sampah yang harus diangkut masih banyak. Maaf ya Pak,
sampahnya jadi menumpuk.”

“Saya
yang minta maaf tak menjenguk Pak Kamin. Baru tahu kemarin dari Jack.”
Hari
masih cukup pagi. Sekitar jam 9 pagi tapi sepagi itu, Pak Kamin sudah beraroma
sampah. Dia mengenakan sepatu boot plastik berwarna hitam. Kaus bergarisnya
lusuh. Dari mulutnya terus mengepul asap rokok. Rokok kretek.