Tomi Lebang
Fakta demi fakta datang membanjir bagai sampah di Sungai Cikapundung. Belum tuntas satu cerita dicerna khalayak, kisah lain datang menindih. Berita melimpah-limpah. Semua orang menjadi pewarta, semua punya bahan dan narasumber. Dengan atau tanpa nama. Nama asli atau samaran. Nama orang atau gelaran.
Dulu, di zaman Orde Baru, surat-surat kabar besar wajib memberi ruang di halaman depan berita tentang Presiden Soeharto. Tentang apa saja: kegiatan, ucapan, imbauan atau larangan. Sekarang, media massa bukan satu-satunya sumber berita tentang presiden. Siapa saja yang bertemu presiden, berlomba-lomba memberitakan dalam hitungan menit, menampilkan diri berfoto bersama Jokowi. Sepuluh yang bertemu presiden, akan muncul pula sepuluh cerita. Bahkan Presiden Joko Widodo pun sudah memberitakan dirinya sendiri. Ia punya halaman resmi media sosial di twitter dan Facebook.
Dulu, kejadian-kejadian seperti bencana alam gempa bumi, tindak kriminal, atau kecelakaan lalu lintas di satu tempat baru terbaca di seluruh negeri esok harinya lewat pemberitaan surat kabar pagi atau lebih cepat lewat radio berita yang tak semua orang mendengarnya. Kini, foto-foto dan video kejadian berseliweran di media sosial hanya sesaat setelah kejadian. Jarak dan waktu diringkas begitu rupa oleh kemajuan teknologi dan peradaban.
Dalam situasi seperti ini, kita patut bertanya, lalu apa yang tersisa bagi media cetak yang terbit setiap pagi atau seminggu sekali?
Pernah, wartawan senior KOMPAS, Bre Redana menulis artikel dengan judul pertanyaan yang getir: Inikah Senjakala Kami? Artikel itu muncul saat sejumlah media cetak besar beralih ke digital dan memilih untuk menyambangi pembacanya lewat internet sahaja. Wartawan media cetak, kata Bre, “Seperti penumpang kapal yang kian dekat menuju akhir hayat.”
Tulisan yang menghentak kesadaran para jurnalis media cetak, sebagian menganggapnya sebagai kekhawatiran berlebihan dari seorang wartawan senior yang tak pandai menyesuaikan diri dengan kemajuan peradaban. Sejumlah artikel “penyeimbang” yang menawarkan jalan keluar penuh optimisme pun muncul.
Saya tak terlalu paham dengan segala teori media dan komunikasi, tapi kenyataan sederhana bahwa di ruang-ruang publik kini jarang ditemukan orang menunggu layanan sembari membentangkan koran berita membenarkan anggapan bahwa media cetak memang sedang berada di jalan surut. Berita dan segala cerita tentang kejadian lebih banyak sampai ke khalayak lewat dunia maya — media online dan media sosial — yang datang melalui telepon pintar dan sabak mutakhir. Bahkan media cetak versi digital pun merasa perlu menyebarkan tautan judul beritanya di media-media sosial demi memancing pembaca dan pengunjung.
Tahun ini, kita mendengar kabar tutupnya Harian Sinar Harapan, the Jakarta Globe, Koran Tempo Minggu, dan Harian Bola. Di luar negeri, surat kabar besar Inggris, the Independen sudah beralih ke digital, menyusul Majalah Newsweek di Amerika yang sudah tiga tahun tak dicetak lagi. Kesulitan keuangan juga menyebabkan The Washington Post dijual.
Kian hari, kelindan media online dan media sosial merangsek kian jauh ke ruang-ruang yang dulu jadi wilayah kekuasaan media cetak. Berita diperbarui, opini publik diarahkan, kebenaran didedahkan, kebohongan diulang-ulang, semuanya kini sampai ke publik lewat layar elektronik. Modal khalayak hanyalah pulsa internet, waktu dan tentu saja akal sehat untuk mencernanya. Tak perlu mencari tempat duduk dan sepi untuk membentangkan koran dan tekun menekuri baris demi baris kolom berita. Semua terangkum di kotak kecil telepon pintar dalam saku.
Saya sendiri masih rutin membaca media cetak setiap pagi. Bukan karena berita-berita online tak cukup, tapi sudah kebiasaan lama. Juga karena surat kabar langganan saya masih terpercaya: saya tak perlu menajamkan pikiran untuk menyaring mana yang benar mana yang pelintiran atau hoax. Selain itu, tampilan tulisan dan gambar di atas kertas dari bubur kayu rasanya masih jauh lebih nyaman dan lembut bagi kesehatan mata ketimbang membacanya lewat layar elektronik yang bercahaya.
Tapi terus terang saya harus bertanya: sampai kapan 500-an media cetak yang tersisa di tanah air akan bertahan menghadapi gerusan media online dan media sosial? Media-media dengan pewarta dadakan yang menyebarkan kisah dan beritanya sendiri dalam waktu yang begitu singkat?