Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Sampyuh (bahasa Jawa yang bersumber dari Sansekerta) artinya mati bersama. Perang sampyuh berarti perang dasyat sehingga kedua belah pihak hancur atau bahkan mati bersama.
Perang syampuh kerap bisa kita saksikan dalam pergelarang wayang kulit. Dalam dunia nyata perang sampyuh pun kerap terjadi.
Perang syampuh misalnya ada pada suatu episode Baratayuda, saat Satria Pringgadani Raden Gatotkaca maju perang melawan para wadyabala Kurawa. Satria gagah perkasa andalan Pandawa ini mati di ujung panah Kunta Wijayadanu milik Adipati Karna. Saat menjelang kematiannya Gatotkaca menjatuhkan badannya ke tengah wadyabala Kurawa dengan niat mati sampyuh, sehingga banyak sekali wadyabala Kurawa yang mati bersama Gatotkaca.
Pada episode lain pada epos yang sama, perang sampyuh juga terjadi. Yakni saat patih utama Kerajaan Hastinapura bernama Raden Sengkuni yang ahli adu domba, maju perang ke palagan Kurusetra. Bersamaan itu Raden Bima atau Sang Werkudara diutus Kresna sebagai sutradara perang, untuk memusnahkan Sengkuni. Ternyata Sengkuni baru bisa mati jika kepalanya diadu dengan kepalanya Duryudana, Raja Hastinapura. Maka, dengan kekuatan penuh Bima mengadu kepala keduanya. Sengkuni pun tewas. Berakhirlah perang itu dengan kematian keduanya secara sampyuh.
Ada dua hal sebagai pembelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa di atas dalam pandangan filsafat: Peristiwa pertama, adalah contoh baik yang dapat kita ambil sebagai suri teladan dalam mengembangkan kebaikan di dunia ini. Saat kematian menjemputpun, masih dapat berbuat amal untuk negeri, sehingga itulah sejatinya pahlawan.
Peristiwa kedua, contoh tidak baik yang juga kita perlukan, agar kita tidak berbuat seperti yang ada pada contoh tadi. Bagaimana kelaliman itu harus dibasmi dengan cara apapun, termasuk mengadu mereka agar sampyuh. Dengan kata lain, kelaliman itu juga merupakan contoh, untuk tidak di contoh. Berbahagialah kita jika ada saudara, sahabat atau siapapun dia mau memberikan petunjuk contoh yang harus dicontoh dan yang tidak harus dicontoh; karena untuk sampai ketingkat itu tidak semua orang mampu mencapainya.
Pada kedua peristiwa di atas ternyata bermuatan pembelajaran diri yang sangat luar biasa. Masalahnya, mampukah kita menangkap pesan keilahian yang dikemas dalam peristiwa itu oleh Tuhan, pada dunia dan isinya? Banyak di antara kita memosisikan diri pada dua kutub yang berlawanan. Kutup pertama, menganggap jangan dibuka lebar itu aib yang harus kita lindungi dan masih banyak lagi kata kata langit untuk berlindung. Pendapat ini benar pada tahap tertentu, terutama bagi mereka yang “tangan kanannya belum sampai menjangkau telinga kerinya”. Karena konsep contoh pada tataran ini adalah yang baik baik saja, yang jelek tidak usah tahu. Karena itu, sudah tahu jelek kenapa dijadikan contoh? Berpikir level “dasar” serupa ini sah-sah saja. Pemaksaan akan menaikkan tingkat level berfikir, justru itu kesalahan kedua yang kita perbuat.
Kutub kedua, mari kita simak semua contoh, karena semua peristiwa itu bebas nilai pada wilayah ontologi. Peristiwa itu jadi jelek atau jadi baik, setelah ada pada wilayah epistemologi dan aksiolog. Karena baik dan jelek itu harus ada parameternya. Hal ini dikarenakan kedua hasil penilaian masih ada pada wilayah pengetahuan, bukan wilayah filsafat pengetahuan. Konsekuensinya, jika kita selalu ada pada wilayah pengetahuan, membuat kita berkacamata kuda, tidak bisa melihat dimensi lain. Salah satu dimensi itu adalah: di tengah yang jelek itu ada yang baik, yaitu untuk tidak dicontoh. Sementara di tengah kebaikan itu juga ada kejelekan.Kejelekan itu di antaranya adalah jangan sampai kebaikan itu membuat kita menjadi ujub atau besar kepala alias sombong.
Jadi, kita wajib mengetahui semua peristiwa yang ada di sekitar kita. Hanya pengetahuan itu bukan untuk dijadikan bahan memperbesar dosa, tetapi membuat kita untuk merhikmat dari peristiwa itu. Karena orang yang bijak adalah orang yang mampu memetik kebaikan dari suatu keburukan, dan orang yang cerdas adalah mereka yang mampu melihat kekurangan didalam kelebihan.
Kebanyakan di antara kita bak pepatah mengatakan “panjang kail hanya sejengkal, dalam laut hendak diduga”. Akibatnya, belum tahu maksud orang, kita sudah berang duluan. Model beginianlah yang berakibat pada sampyuh dengan diri sendiri. Itu karena ketidakmampuan menemukenali adab dalam bertindak, santun dalam perilaku. Padahal, keluhuran budi seseorang itu ada di sini. Bukan di panjangnya gelar akademik dan penuhnya gelar bangsawan.
Sampai di sini dulu tulisan ini, karena kopi dari tadi belum diminum. Nanti keburu dingin.
Selamat ngopi pagi….