BANDARLAMPUNG, Teraslampung.com — Penyair Sitor Situmorang, 91 tahun, meninggal, Ahad, 21 Desember 2014, di Belanda. Sastrawan Angkatan 1945 itu mengembuskan napas terakhirnya karena usianya sudah lanjut.
“Adinda Luthvianti, dari Sturio Hanafi, menyampaikan kabar mengejutkan: Sitor Situmorang, seorang sastrawan besar Indonesia, telah mangkat di Belanda, pukul 21.00 Waktu Belanda (pagi ini Waktu Indonesia),” kata sastrawan Hikmat Gumelar, di Bandung, Minggu (21/12).
Hiikmt mengaku, kabar duka tersebut mengejutkan karena pada 6 Desember 2014 lalu dirinya dan para aktivis Studio Hanafi, Institut Nalar, Selasar Bahasa, Unit Pers Mahasiswa Daun Jati ISBI Bandung, Majelis Sastra Bandung, dan KPPI bari mengadakan “Lingkaran Doa: Sitor Situmorang Alzheimer 37 Kg”.
Pada masa tuanya Sitor terserang sakit alzeimer dan berat badannya susut menjadi hanya 37 kg.
“Kabar beliau mangkat terasa sebagai sambaran petir di siang benderang. Pun, tentu saja, meluapkan rasa duka dan kehilangan. Semoga segala amal baiknya diterima Tuhan dan terus mengilhami sekalian kita. Dan tolong, segala mesalahannya sudilah dimaafkan. Semoga pula Ibu Barbara Purba dan segenap keluarganya sabar, tabah, dan kreatif menanggung kehilangan. Amin,” kata Hikmat.
Selain Hikmat, banyak sastrawan Indonesia yang menyampaikan rasa duka atas meninggalnya penyair yang terkenal dengan puisi satu baris berjudul “Malam Lebaran” itu melalui media sosial Facebook danTwitter.
Goenawan Mohammad, misalnya, menulis di dinding Facebooknya: Batu tandus di kebun anggur/Pasir teduh di bawah nyiur/Abang lenyap hatiku hancur/Mengejar bayang di salju gugur//.
Sedangkan penyair Imran menulis: Selamat jalan penyair Sitor Situmorang, jejakmu dalam sajak lebih panjang dari segala jarak…
Bagi sejarah sastra Indonesia, nama Sitor Situmorang termasuk salah satu tonggak sastra dan sangat penting. Ia adalah satu-satunya sastrawan angkatan 45 yang hingga usia lanjut (lebih dari 85 tahun) masih produktif menulis. Selain puisi, Sitor juga kuat di bidang cerpen. Buku cerpennya Pertempuran dan Salju di Paris (1956) mendapat Hadiah Sastra Nasional 1955. Sedangkan kumpulan sajak Peta Perjalanan meraih Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976. Penyair kelahiran
Tapanuli Utara, Sumatera Utara, itu dipenjara sebagai tahanan politik pada 1957-1974 oleh pemerintah Orde Baru. Karya-karya dia dibekukan dan tidak diterbitkan. Ia pun harus hidup berkelana melalang buana hingga akhir hayatnya.
Selain sastrawan, Sitor pada mulanya juga seorang wartawan. Ia pernah menjadi wartawan harian Suara Nasional dan harian Waspada pada 1945-1947. Ia juga pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara mewakili kalangan seniman.