Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Pagi menjelang siang beberapa hari lalu saya serasa mendapat kehormatan karena ada empat sahabat yang sudah cukup lama tidak jumpa tiba-tiba mengajak berbincang tentang kondisi negeri ini. Salah seorang di antara sahabat nyeletuk,”Kalau dulu sebelum ada pembersihan, kita tidak bisa omong begini, karena dinding semua ikut bicara”.
Ketawa pun meledak. Ternyata itu betul adanya. Saat ini siapapun boleh masuk ke ruangan ini dan bicara apa saja. Sementara waktu itu setiap orang dimata-matai. Yang masuk ruangan ini akan dilaporkan kepada orang nomor satu. Hanya seorang anak muda yang gagah berani mau masuk ke ruangan dengan semboyan takdir itu yang berhak hanya Allah.
Guna untuk melepaskan rindu, salah seorang di antara sahabat mengajak makan bersama, dan disepakati makanan yang khas adalah sate. Pertimbangan: sate masaknya lama, waktu tunggu jadi lama. Itu adalah kesempatan untuk bicara banyak tentang banyak hal. Karena makanan ini khas dan sudah lama tidak disantap, maka menjadi meriah karena menemani membicarakan persoalan penting.
Pembicaraan dimulai saat kami bersantap sambil membicarakan persoalan serius bangsa ini berkaitan dengan tindak lanjut dari suatu peristiwa hukum. Tidak satu pun di antara kami ahli hukum. Oleh karena itu pembicaraan pun tidak ubahnya seperti tusukan sate. Masing-masing berbicara dari sudut pandang keilmuannya.
Ternyata persoalan sosial tidak dapat dilepaskan dari persoalan hukum, yang oleh Tisnanta dikatakan “Ilmu hukum tidak bebas nilai”. Hal senada dikemukakan Bujang Rahman bahwa “agama juga tidak bebas nilai”. Karena persoalan sosial yang selalu berkelindan dengan hukum, baik dalam arti norma maupun dalam arti ilmu, serta agama, terutama agama-agama samawi, maka pelaku sosial yang terjerat oleh pelanggaran hukum, tidak dapat lepas dari peristiwa hukumnya, serta berimbas pada keyakinan agamanya. Bisa jadi pelanggaran hukumnya membuat aturan hukum baru dalam konteks penyelesaian hukum. Label agama menjadi pengadilan akan perilaku si pelanggar dalam konteks sosial. Oleh karenanya, pencibiran sering terjadi oleh pihak lain akan perilaku pelanggar melalui pintu ini, karena atribut keagamaan sering dijadikan topeng kesalehan untuk mendapat kasihan dari penegak hukum.
Persoalan menjadi seru dibahas manakala dikaitkan dengan dalil mengorbankan yang lain untuk menyelamatkan lainnya. Dalil ini ternyata menjadi saheh manakala dihadapkan kepada peristiwa pemimpin utama masuk penjara, justru teman seiringnya memperberat dengan menimpakan semua dosa pada pemimpin utama, walaupun teman seiring selama ini mengisap pemimpin utama sampai tinggal tulang. Ironisnya lagi, teman seiring yang ada di luar jusru berskenario untuk cuci tangan, seolah diri bersih sehingga merasa layak diri untuk menjadi pengganti pemimpin utama dengan cara apa pun, termasuk menipu, membalik fakta, membiayai gerakan bawah tanah, dan menjilat kesiapa pun yang diperkirakan menguntungkan dirinya.
Ternyata pola berfikir tusuk sate bisa menghinggapi siapa saja. Baik dalam menghadapi persoalan yang linier, maupun persoalan yang takberpola seperti contoh di atas.
Selamat ngopi pagi.