Satire Getir – Lucu Endri Kalianda dalam Buku “Zaman Gilded Sampai Keranjingan Judi Online”

Judul: Zaman Gilded Sampai Keranjingan Judi Online, Penulis: Endri Kalianda, Penerbit: Pustaka Media, Tebal: 127 halaman
Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N.

Derajat kelonggaran hati atau selera humor seseorang akan terlihat dari cara mereka menertawakan diri sendiri. Demikian juga selera humor kelompok masyarakat, suku, atau bangsa. Itulah sebabnya, pernah terbit buku atau sekadar kumpulan humor yang dituturkan dari mulut-mulut seperti Mati Ketawa Cara Rusia, Mati Ketawa Cara Madura, Humor Gus Dur, dan lain-lain. Dan, semuanya disambut antuasis. Tanpa ada pihak yang sakit hati atau tersinggung.

Untuk membuat satire lucu, bukan perkara mudah. Pencipta atau pembuat satire harus menguasai bahasa, psikologi, dan artikulasi komunikasi yang baik sehingga satire tidak terjebak sebagai lelucon yang tidak lucu. Alih-alih membuat marah,  satire yang ‘nyelekit’ yang dikemas dengan apik dengan nuansa humor justru akan membuat orang yang membaca tertawa terkekeh-kekeh. Pihak atau orang yang secara pars pro toto menjadi bagian dari cerita dalam satire atau humor tidak tersinggung.

Setelah membaca kumpulan tulisan Endri Kalianda yang terhimpun dalam buku Zaman Gilded, Sampai Keranjingan Judi Online, saya menyimpulkan Endri sudah pada tahap master dalam menulis esai dengan gaya satire. Sebuah gaya menulis esai yang tidak semua orang bisa menguasainya. Gaya menulis yang mengingatkan saya pada kelihaian kolumnis Mahbub Djunaidi, master kolumnis Indonesia dengan ciri khas tulisan-tulisan satire yang nakal dan jenaka.

Ya,  sebagian besar tulisan digarap secara humor dan satiris. Dengan bahasa yang lincah dan kalimat pendek-pendek, Endri terlihat lebih to the point, tidak bertele-tele atau memutar-mutar layaknya kumpulan kolom bertendesi filsafat seperti Slilit Sang Kyai-nya Emha Ainun Nadjib atau Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohammad.

Buku ini dibagi menjadi lima bab. Tiga bab berisi empat tulisan, satu bab sisanya berisi enam tulisan, dan satu bab lagi dengan tiga tulisan. Dengan demikian, ada 21tulisan. Buku ini juga dilengkapi dengan prolog dengan tulisan budayawan Isbedy Stiawan ZS dan epilog oleh Udo Z. Karzi.

Masing-masing bab diberi subbab berdasarkan kesamaan tema tulisan. Bab  I misalnya, diberi nama subbab Tiga Kluster Anak Desa, Bab I Ekobomi Sirkular, Bab III Pemerintahan Desa, Bab IV Yang Lumrah dan Yang Hilang, dan Bab V Modernisme Dukun.

Orang yang tidak pernah membaca novel Gilded Age karya Mark Twain atau drama seri The Gilded Age karya penulis Julian Fellowes barangkali tidak begitu paham apa itu gilded atau Zaman Gilded. Zaman Gilded atau Zaman Sepuhan, menurut Mark Twain,  adalah salah satu episode sejarah penting pada akhir abad ke-19 di Amerika Serikat.

Seperti juga dinukil oleh Endri dalam tulisan terakhirnya di dalam buku ini, zaman pada kurun 1880-1890-an itu dianggap sebagai era baru inovasi teknologi. Inovasi teknologi tersebut kemudian menjadi bandul atau pendulum sejarah dimulainya mesin-mesin politik menguasai pemerintahan. Hal itu terjadi hingga dua abad berikutnya. Tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga di pelbagai belahan dunia. Termasuk Indonesia.

Pada Zaman Gilded,  kemakmuran luar biasa memang dinikmati Amerika Serikat. Ketika bangsa lain masih dalam belenggu penjajah atau negara lain masih termemek-mehek membangun landasan perekonomian, pada 1890 Amerika Serikat sudah tercatat sebagai negara dengan produksi industri dan pendapatan per kapita  tertinggi di dunia. Namun, pada periode itu, utang besar dan harga produksi pertanian juga terjadi di Negeri Paman Sam itu.

Untuk mengatasinya, para petani Amerika Serikat bergabung dengan partai populis. Bersamaan dengan itu, pendatang dari Irlandia, Italia, Jerman, Eropa Timur,  dan Asia (Tiongkok) juga berduyun-duyun datang ke negeri  makmur itu. Mereka bekerja di pabrik-pabrik besar dan tinggal di kota besar. Seiring dengan perkembangan zaman, para pendatang itu pun kemudian banyak yang menjadi warga Amerika Serikat. Sebagian ada yang sukses. Sebagiannya lagi tetap menjadi warga biasa, rumah kecil, dan alat mesin politik partai populis.

Pukauan Cerita Pembuka

Dengan buku yang menyematkan frasa Zaman Gilded, Endri Kalianda ingin membuat  perbandingan atau mengontraskan apa yang disebut sebagai “zaman dulu” atau “era dulu” dengan “zaman kini” atau era mutakhir di Indonesia. Wabil khusus di desa-desa yang disebut di dalam buku ini. Sebuah perbandingan yang mau tak mau menghadap-hadapkan antara masa susah, miskin, terbelakang, puritan, dan tradisional dengan masa senang, enak, hidup enak, dan modern.  Susah dan miskin bukan tersebab oleh nasib buruk semata, tetapi juga karena sistem. Kemiskinan bukan hanya karena kultural, tetapi juga struktural.

Singkatnya, zaman modern yang ditandai kemajuan iptek hingga merangsek ke desa-desa dan berbarengan dengan “sihir” program desa cerdas (smart village) dinilai atau setidaknya dibayangkan oleh Endri memiliki kesamaan dengan Zaman Sepuhan atau Zaman Gilded di Amerika Serikat pada abad ke-19 di Amerika Serikat. Endri sangat jitu memotret era Gilded itu di kampung-kampung. Hal itu terlihat dalam empat tulisan di bab pertama. Yakni, “Perang dan Trikotomi”, Anak-Anak Spontan”, “Dusun Ini Adalah Republik Spontan”, dan “Ironi Anak Muda di Kampung Kami”.

Pembaca akan dibuat terkekeh-kekeh atau terikik-kikik ketika membaca tulisan dalam judul-judul tersebut. Bukan hanya lucu atau satire, Endri juga mengritik fenomena gegar budaya di kampung-kampung akibat “mewabahnya” gadget atau gawai atau telepon pintar yang membuat warga dusun berperilaku kota. Sebuah fenomena yang kerap disebut sebagai keterkejutan budaya (gegar budaya).

Dengan empat tulisan pada bab I, Endri tidak hanya mengontraskan perbedaan remaja generasi 1980-an hingga 1990-an yang masih “tradisional” dengan generasi 2000-an yang jauh lebih “modern”. Perbedaan tidak hanya dalam hal kebiasaan, tetapi terkait derajat kesehatan. Empat tulisan pada bab awal itu dengan latar belakang Dusun Spontan (terkadang Endri hanya menyebutnya dengan kata Spontan).

Pada tulisan berjudul “Perang dan Trikotomi”, Endri bercerita tentang “tiga kelas” atau tiga kelompok anak-anak desa yang khas. Penentuan atau penyebutan nama tiga kelompok anak itu lumayan unik: anak masjid, anak oblo, dan anak pasar. Anak masjid adalah anak yang dekat dengan Tuhan (mungkin karena sering mengaji atau shalat jamaah di masjid), anak oblo adalah mereka yang malas beribadah atau tidak memedulikan Tuhan (mungkin maksudnya agnostik), sedangkan anak pasar adalah anak  dusun yang menyangkal adanya Tuhan (mungkin maksudnya adalah ateis).

Pandangan tiga kelompok anak-anak tentang Tuhan itulah menurut Endri yang sering menjadi pemicu “perang” atau perkelahian di antara tiga kelompok itu.

Endri menulis: “Tiga kluster sosial dengan memupuk isme-isme itu, diyakini anak-anak sejak dulu tanpa disadari dan perlahan, menjadi bentuk pembenaran atas laku kekerasan, saling menyerang dengan sadis

Kampung kami, tiba-tiba berubah medan perang. Saling berebut pengikut, saling menyakiti lawan, dan anak-anak menjadi semacam pasukan yang secara laten, kehilangan rasa estetik atas kehidupan desa….

Memang, belum ada tragedi saling bunuh atau saling melukai hanya berbasis konflik  teistik, agnostik, dan ateistik. Namun demikian, di kampung kami pernah ada upaya saling serang, bahkan menimbulkan upaya korban nyawa dengan sangat sadis, kepala dipenggal, kuping diiris, dan rumah dibakar….

Nyaris semua penyerang dan yang diserang hingga muncratnya darah-darah yang sangat mengerikan itu mempunyai televisi dan tidak asing dengan berita-berita kriminal. Mereka tidak kenal lagi setiap pagi membuka toko bagi anak pasar, memandikan sapi bagi anak oblo, dan sibuk menghafal ayat bagi anak masjid.

Meskipun tampak serius, dalam tulisan berjudul “Perang dan Trikotomi” terselip kritik, satire, sekaligus humor: Perang di masa kanak-kanak sepertinya perlu dilestarikan. Sebab, setelah tidak ada lagi peperangan di areal sawah menjelang musim tanam padi itu, berbagai tragedi dan laku yang sangat biadab kian sering terjadi di kampung kami… Kampung kami yang sangat permai dan tenteram di bawah tahun 2000-an, kini semua anak-anaknya sudah pandai bersepeda motor, punya ponsel pintar, akrab dengan video tanpa sensor. Para orang tua lupa tradisi perang di kampung kami karena ikut-ikutan sibuk selfie dan terus-menerus meratapi kesulitan hidup.

Baru kejadian, anak sekecil itu, berani menusuk punggung temannya dengan lebih 70 hujaman di punggung sampai tewas. Lalu kian sering ada anak-anak remaja yang baru mimpi basah  itu ditembak, direntengi seperti bajing hasil buruan.

Anak dan remaja yang ditembak kemudian direnteng seperti bajing yang baru ditembak, oleh Endri kemudian dikaitkan dengan kebiasaan anak-anak di kampung itu: Daging bajing memang manis dan dan lezat, bajing memang satu-satunya daging yang bisa menyatukan anak-anak antargolongan di kampung kami….

Sebagai tulisan pembuka, “Perang dan Trikotomi” menurut saya berhasil merayu pembaca untuk melanjutkan cerita lain pada bab pertama ini. Kalau diibaratkan novel atau roman, cara Endri bercerita sudah cukup merangsang pembaca untuk menikmati kelanjutan kisah pada bab-bab selanjutnya. Dan memang, tiga tulisan lain pada bab pertama pada buku ini cerita (atau ulasannya) jauh lebih menarik, lucu, dan satiris.

Sayangnya, ini bukan buku novel. Namun, Endri seperti sengaja menjebak pembaca untuk mengikuti alur seperti layaknya alur cerpen atau bagian dari sebuah novel. Alur cerita dengan setting dusun yang disebut dengan Dusun Spontan. Uniknya (atau anehnya), Endri tidak berusaha memberikan rujukan di mana dusun itu. Kalau dicari di peta, berada di titik manakah Dusun Spontan? Endri tidak menjelaskan atau mendeskripsikan.

Karena tidak memberikan rujukan atau tidak memberi tahu pembaca, barangkali ketika membuat pengantar buku ini Isbedy Stiawan ZS ini pada salah satu kalimat ulasannya menyebut Spontan dengan spontan. Mungkin itu hanya kesalahan ketik (typo). Namun, hal itu setidaknya menyiratkan bahwa Isbedy pun tidak tahu di mana letak Dusun Spontan.

Saya pun mungkin tidak akan tahu Spontan ada di mana kalau tidak pernah diajak para pemuda (yang kini sudah tua) Ali Imron, M. Furqon, dan Hasanudin Z. Arifin main-main ke kampung mereka, di Desa Braja Harjosari dan beberapa desa di Lampung Timur. Spontan adalah dusun di Desa Braja Harjosari, Kecamatan Braja Selebah, Lampung Timur.

Satire Jenaka dan Ironi Desa Cerdas

Tidak semua tulisan dalam buku dengan latar Dusun Spontan. Juga tidak semuanya tentang desa di Lampung. Namun, setelah membaca tuntas semua tulisan (bukan hanya sekali), akhirnya saya menyimpulkan bahwa semua tulisan dalam buku mengandung humor dan satire dengan derajat berbeda-beda. Semuanya dikemas dengan bahasa ringan. Kalimat pendek-pendek dan terkadang mak jleb.

Kelucuan bahkan satire tidak hanya ada pada tulisan yang dari judulnya sudah menggambarkan kelucuan. Pada judul serius seperti “Senam Lansia dan Silver Economy”, “Kades yang Baik”, “Kades Mantan Preman”, “Pajak Silsilah Parereja”, “Anak Hebat yang Dirusak Sekolah”, “Pangan Berkualitas Orang Desa”, “Tentang Uang Digital”, dan “TKW yang Viral Disika Itu” pun terselip nuansa humor dan satire.

Dalam tulisan berjudul “Pajak Silsilah Pareja”, misalnya, semula saya mengira Endri akan mengulas soal apa itu pajak silsilah.  Isinya sangat menarik, penting, dan dituangkan dengan bahasa yang bagus. Namun, ternyata di tengah-tengah tulisan, Endri menyelipkan lelucon: …. Banyak yang meninggal tanpa sakit berkepanjangan. Pak Mantri (petugas kesehatan) yang keliling desa menawarkan jasa pengobatan, begitu masuk Desa Parereja langsung beralih profesi jadi tengkulak hasil bumi. Obat yang dibawa hanya pinisilin yang laku. Dianggap paling manjur sebagai penyembuh gatal.

Ke-21 tulisan dalam buku ini merupakan catatan atau impresi Endri Kalianda terkait dengan masyarakat perdesaan. Semuanya berupa kolom atau esai. Isinya faktual, bukan fiksi. Sebagian besar merupakan gambaran masyarakat desa yang  berada dalam arus “era gilded baru”. Sebuah era jauh lebih maju dibandingkan dengan zaman gilded pada akhir abad-19 di Amerika Serikat.

Berjalan seiring (atau berkelindan) dengan narasi besar desa cerdas (smart village) yang digaungkan pemerintah, jadilah “era gilded baru” itu melahirkan banyak ironi, lelucon, dan anomali. Ironi-ironi itulah yang ditangkap Endri Kalianda dan dihadirkan kembali dalam 21 tulisan di buku ini. Ironi itu misalnya ketika seorang mantan preman menjadi kepala desa berhasil menuntaskan masalah di desanya dengan cara yang tidak biasa alias dengan cara preman juga (“Kades Mantan Preman”, halaman 56).  Ironi adalah ketika internet masuk desa sebagai berkah desa cerdas membuat warga desa keranjingan judi online dan terpaksa “menikmati sihir” pinjaman online.

Buku ini terbit bersamaan dengan maraknya pengungkapan kasus judi online di Indonesia yang kabarnya melibatkan politikus. Fakta maraknya kasus judi online yang diungkap polisi menunjukkan bahwa judi online tidak hanya merasuki orang-orang desa atau  kelompok masyarakat susah.

Judi online juga telah merasuki kelompok elite, orang-orang kaya di kota. Termasuk para politikus. Bahkan, wartawan dan aparat penegak hukum polisi. Kasus tewasnya seorang polisi karena dibakar istrinya yang juga polisi lantaran kataya pak polisi itu keranjingan judi online, kalau dugaan motif itu memang benar, menunjukkan bahwa judi online sudah merambah hampir semua kalangan dari berbagai strata sosial. Pemberantasannya pun menjadi tidak mudah. Apalagi didukung dengan rencana pemerintah untuk memberikan bantuan sosial kepada orang yang bangkrut ekonominya karena judi online.

Barangkali kehadiran buku ini yang bersamaan dengan maraknya pengungkapan kasus judi online dan pinjaman online (pinjol) hanya sebuah koinsidensi belaka. Namun, meskipun tidak secara khusus menyoroti persoalan judi online dan pinjol, buku yang memotret kehidupan masyarakat desa di era “gilded baru” masifnya kampanye smart village ini sangat layak dibaca. Apalagi, untuk membacanya kita tidak perlu mengernyitkan dahi. Cukup sedekian sedikit waktu dan segelas kopi panas. Kopi pahit atau sedikit gula sedikit gula merah.