TERASLAMPUNG.COM — Hanya dalam tempo sehari setelah disahkan Senin (6/10/2020), gerakan menolak Omnibus Law melalui petisi Change.org sudah ditandatangani lebih dari satu juta orang.
BACA: Dipercepat, DPR RI Sahkan UU Cipta Kerja
Hingga Selasa sore (6/10/2020) pukul 17.52, jumlah penandangan petisi bertajuk “Maklumat Pemuka Agama Indonesia: Tolak Omnibus Law dan Buka Ruang Partisipasi Publik” itu ditandatangani oleh 1.034.996 orang.
Petisi tersebut diinisiasi oleh enam pemuka agam. Mereka adalah Busryo Muqodas (mantan Wakil Ketua KPK), Ulil Absar Abdalla (tokoh islam liberal), Engkus Ruswana (tokoh penghayat kepercayaan), Roy Murtadho (tokoh pesantren), Pendeta Merry Kolimon (tokoh pendeta feminis), dan Pendeta Penrad Sagian (tokoh pendeta Batak) dan menggalang suara melalui change.org.
Dalam pengantarnya, para inisiator menyatakan UU Cipta Kerja akan menggangu kebebasan beragama dan berketuhanan. Hal itu menjadi poin pertama dari lima poin petisi penolakan UU Cipta Kerja oleh para pemuka agama.
Pada poin pertama disebutkan bahwa spionase dan ancaman kebebasan beragama-berkeyakinan, khususnya adanya wacana pengawasan aliran kepercayaan oleh kepolisian. Ketentuan ini justru akan melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi dan pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada kelompok minoritas agama atau keyakinan dan menimbulkan kecurigaan antar sesama warga negara.
Berikut ini pengantar dan isi lengkap petisi lengkap menolak Omnibus Law:
Seperti yang sudah diketahui, RUU Cipta Kerja mengancam banyak sektor, mulai dari kebebasan sipil, keadilan sosial, ekonomi, budaya dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Sebagai Rancangan Undang-Undang yang dibentuk dengan metode Omnibus Law, RUU Cipta Kerja memuat banyak klaster dan sub-klaster isu pembahasan, yang di dalamnya total ada lebih dari 81 (delapan puluh satu) Undang-Undang serta seribu lebih pasal di seluruh undang-undang tersebut yang diubah.
Beberapa persoalan mendasar dalam RUU Cipta Kerja ini, antara lain:
1. Spionase dan ancaman kebebasan beragama-berkeyakinan, khususnya adanya wacana pengawasan aliran kepercayaan oleh kepolisian. Ketentuan ini justru akan melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi dan pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada kelompok minoritas agama atau keyakinan dan menimbulkan kecurigaan antar sesama warga negara.
2. Pemangkasan hak-hak buruh/pekerja. Nantinya pekerja/buruh akan diupah semurah mungkin dengan penghitungan upah per jam dan dilegalkannya pembayaran upah di bawah standar minimum di sebagian sektor ketenagakerjaan. Selain itu status dan kepastian kerja tidak jelas lewat outsourcing dan kontrak kerja tanpa batasan waktu.
3. Potensi konflik agraria dan SDA/lingkungan hidup. Selama 5 tahun terakhir ada 1.298 kasus kriminalisasi terhadap rakyat akibat mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya. Misalnya perubahan atas UU P3H (Pasal 82, 83 dan 84, yang ada di dalam pasal 38 UU Cipta Kerja) soal ancaman pidana kepada orang-perorangan yang dituduh melakukan penebangan pohon, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong dan membelah pohon tanpa perizinan dari pejabat yang berwenang di kawasan hutan.
4. Pemangkasan ruang penghidupan kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat atas nama kepentingan pembangunan dan ekonomi. Aturan ini akan memberikan kemudahan bagi korporasi dan pemerintah untuk merampas tanah dan sumber daya alam yang dikuasai masyarakat, baik kelompok miskin kota, masyarakat adat, petani, dan nelayan. Akibatnya, kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat berpotensi tak memiliki ruang penghidupan yang bebas dan berdaulat untuk menopang kehidupannya.
5. Kekuasaan birokratis yang terpusat berlawanan dengan semangat desentralisasi/otonomi daerah pasca 1998. RUU Cipta Kerja akan menarik kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola mineral dan batubara, termasuk kewenangan penerbitan peraturan daerah dan penerbitan izin.
Kami selaku para pemuka agama menyadari bahwa ruh kehadiran agama dan kepercayaan bagi dunia adalah berdiri bagi kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam-lingkungan, karena itulah sejatinya fitrah panggilan bagi agama dan kepercayaan hadir ke tengah-tengah dunia.
Karena itu kami meminta DPR RI untuk membatalkan Omnibus Law dan kembali membuka ruang partisipasi publik yang demokratis.
Omnibus Law adalah ancaman untuk kita semua. Ancaman untuk demokrasi Indonesia. Kami bersuara dengan petisi ini, untuk mengajak teman-teman menyuarakan keadilan.
5 Oktober 2020
Salam,
PARA PEMUKA AGAMA se-INDONESIA
Inisiator:
1. Prof. Busryo Muqodas
2. Pdt. DR. Merry Kolimon
3. Ulil Absar Abdalla
4. Engkus Ruswana
5. Roy Murtadho
6. Pdt. Penrad Sagian