Saya tidak Tahu Siapa Bapaknya

Bagikan/Suka/Tweet:
Nusa Putra*
Hidup memang penuh ironi. Dengan sejumlah relawan saya mencoba
mendirikan semacam taman belajar di lokalisasi kelas bawah illegal yang dikenal
dengan nama Bongkaran. Setelah berkiprah enam bulan, kami berhasil mengumpulkan
puluhan anak usia sekolah yang sama sekali tidak sekolah. Keseluruhan anak ini,
ibunya adalah para WTS yang beroperasi di lokalisasi ini.
Kami berprinsip, bila ibunya tak dapat lagi dididik dan
diarahkan pada kehidupan yang lebih baik, mudah-mudahan anaknya dapat ditolong.
Target kami adalah bagaimana caranya agar anak-anak ini tidak tumbuh kembang di
lokalisasi ini.
Tumbuh kembang di lokasi yang secara fisik dan sosial sangat
buruk pastilah tidak baik bagi anak-anak ini. Lokalisasi ini merupakan
pemukiman yang sangat kumuh dan padat. Para WTS yang beroperasi di sini
melakukan praktik siang malam atau tidak dibatasi waktu. Anak-anak itu sudah
sangat terbiasa melihat ibunya ‘ngamar’ dengan macam-macam lelaki setiap hari.
Bukanlah hal mudah untuk masuk dan diterima dalam komunitas
seperti ini. Sebab di lokasi seperti ini, penguasanya adalah para preman yang
sangat tidak suka bila ada yang bermaksud mengarahkan penghuni lokasi ini ke
arah yang baik, karena bisa mengganggu bisnis mereka.
Karena itu dibutuhkan waktu yang agak lama untuk meyakinkan
semua fihak agar maksud baik ini dapat terlaksana. Akhirnya kami dapat
melaksanakan upaya pemberdayaan bagi anak-anak mereka. Para orang tua meminta
anak-anak itu diajari mengaji dan shalat. Rupanya para ibu itu tidak mau
anak-anaknya menjadi seperti dirinya. Inilah nurani murni seorang ibu, meski
hidupnya berlumur kesalahan dan dosa.
Kami menyelenggarakan pendidikan setelah selesai sholat ashar
sampai sholat maghrib. Pada mulanya dua kali seminggu. Namun para ibu meminta
lebih sering. Akhirnya menjadi empat kali seminggu. Beberapa ibu juga minta
diajari ngaji dan sholat. Katanya persiapan untuk bertaubat.
Para ibu itu sangat marah bila anak-anaknya malas mengikuti
proses pendidikan yang kami selenggarakan. Bila anaknya perempuan, inilah
ucapan ibunya untuk anak yang malas. ” Kamu mau jadi lonte kayak ibu? Kamu
kira enak jadi lonte? Ayo belajar sono!”
Naluri asli keibuan yang inginkan anaknya jadi orang baik. Sikap
para ibu ini sungguh sangat membantu proses pendidikan yang kami selenggarakan.
Makin hari, anak-anak yang belajar bertambah terus. Kami juga menambah menu
pembelajaran dengan memperkenalkan calistung yaitu membaca, menulis, berhitung.
Juga mulai mengajarkan berbagai keterampilan.
Pada waktu Ramadhan, anak-anak itu di bawa tarawih keliling
masjid seperti Masjid Istiqlal, dan berbagai masjid besar di Jakarta. Bagusnya,
ada beberapa ibu yang ikutan. Kegiatan ini dilakukan untuk berbagai tujuan,
selain beribadah tentu untuk memberi kesempatan mereka jalan-jalan atau
berwisata. Anak-anak itu, bahkan ibunya memang tidak pernah jalan-jalan jauh
dari pemukiman kumuh itu. Tentulah kami berikan pada mereka perlengkapan ibadah
termasuk pakaian lengkap dengan mukena bagi anak perempuan, dan pakaian lengkap
sampai kopiah bagi anak lelaki.
Kebersamaan dan kegembiraan telah meningkatkan kepercayaan
mereka pada kami. Para ibu itu mulai berfikir lebih serius tentang masa depan
anak-anaknya. Kami mulai merayu mereka agar mengijinkan anaknya dibawa ke
kampung dan dipelihara oleh anggota keluarga yang lain atau masuk pesantren.
Intinya tidak lagi mukim dilokalisasi ini. Sejumlah ibu mulai setuju.
Kami mulai melakukan kontak ke kampung halaman mereka dan ke
beberapa pesantren untuk mewujudkan rencana ini. Pada mulanya para preman tidak
setuju. Mereka khawatir, ibu anak-anak itu juga akan meninggalkan lokalisasi
ini. Namun, beberapa ibu ngotot menginginkan anaknya dibawa keluar dari sini.
Kami berunding dengan para preman dan membuat sejumlah perjanjian agar rencana
ini tetap dapat dilaksanakan tanpa merugikan mereka.
Akhirnya satu persatu anak dapat dipindahkan seperti rencana
semula. Kebanyakan memilih dipulangkan ke kampung dan dipelihara oleh neneknya
dan anggota keluarga yang lain. Beberapa ke pesantren di daerah Bogor. Kami
tetap selenggarakan pendidikan untuk anak yang lebih kecil.
Ada yang sangat menarik dari anak-anak itu. Anak-anak yang
bersadudara kandung tidak ada satu pun yang mirip. Kakaknya hitam dengan rambut
keriting, sedangkan adiknya putih dengan mata agak sipit. Ada yang kulitnya
sama putih atau sama coklat, tetapi wajah dan rambutnya sama sekali berbeda,
yang satu lurus yang lainnya keriting. Benar-benar Indonesia Raya. Pada mulanya
kami juga mengalami kesulitan melakukan identifikasi. Malah seringkali yang
mirip bukan yang bersaudara kandung. Jadi, kami benar-benar menyaksikan ada
anak mirip anak tetangga, bukan mirip saudara kandungnya.
Juga sangat menarik bila melihat mereka sedang bermain-main.
Mereka menirukan bagaimana melakukan pembicaraan sebagaimana ibunya
bertransaksi dengan tamu. Mereka juga tidak punya rasa sungkan untuk meminta
uang pada tamu ibunya. Beberapa anak sangat kenal dengan tamu atau langganan
ibunya.
Jika para ibu ditanya, siapa ayah anak-anaknya, jawabannya
adalah “Saya ndak tahu siapa bapaknya.” Wajar bila mereka menjawab
seperti itu. Sebab setiap hari mereka berhubungan dengan lelaki yang
berbeda-beda.
KEMISKINAN MEMANG BISA MENDORONG MANUSIA BERBUAT YANG TAK
TERDUGA.

* Dr. Nusa Putra, S.Fil., M.Pd., dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ)