Seandainya Djarot Tidak “Lugu”, Ia tidak akan Diusir dari Masjid At-Tien

Djarot Syaiful Hidayat diusir saat menghadiri pengajian di Masjid At-Tien (dok sindo)
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Kalau Anda bingung atau pura-pura bingung membaca peta politik Pilgub DKI Jakarta dan heboh dukung-mendukung berbalut agama, tengoklah sebentar ke ladang Youtube atau carilah video streaming pengajian haul Pak Harto di Masjid At-Tin, Sabtu lalu (12/3/2017). Salah satu video menggambarkan bahwa Wagub DKI Jakarta Djarot Syaiful Hidayat diusir oleh beberapa orang saat hadir di pengajian itu.

Video dan beberapa gambar lain menunjukkan foto kemesraan Tomy Soeharto, Ustad Arifin Ilham, Anies Baswedan dan lainnya.

Dua pemandangan itu (Djarot diusir dan Anies mesra dengan sang tuan rumah) cukup menjelaskan bahwa kehadiran Djarot tidak dikehendaki dalam acara bernuansa agama tetapi bisa dibaca sebagai acara politik itu. Ia tidak diharapkan kehadirannya karena berpasangan dengan Ahok — sosok yang mereka anggap sebagai penista agama.

Kalau kita rajin membaca berita, dengan mudah kita bisa mengidentifikasi bahwa para sosok yang foto bareng Tomy adalah pihak yang berseberangan dengan Ahok. Kalau bisa Ahok segera berhenti dan tidak bisa maju dalam pilgub DKI. Jumlah pendukung kelompok ini ada jutaan orang.

Sejauh ini belum jelas apakah Djarot hadir di Masjid At-Tin karena diundang oleh panitia atau tidak. Kalau diundang, alangkah lucunya seorang tamu yang hadir di sebuah acara berbalut keagamaan tetapi hanya untuk dipermalukan. Kalau tidak diundang, alangkah lugunya Djarot.

Kalau Djarot tidak lugu pastilah dia tahu bahwa tanggal 11 Maret bukanlah hari lahir atau hari wafatnya Soeharto. Itu adalah hari yang selama era Orde Baru disakralkan sebagai hari lahirnya Surat Perintah 11 Maret. Yakni, surat yang konon diserahkan Presiden Soekarno kepada Soeharto untuk mengamankan keadaan negara RI dan keselamatan presiden (Soekarno). Belakangan rakyat Indonesia tahu bahwa surat itu tidak jelas rimbanya tetapi dengan surat misterius itu Soeharto bisa berkuasa selama 32 tahun dengan sanjung-puja.

Dengan latar belakang itu, kalau Djarot tidak lugu mestinya ia paham bahwa doa bersama itu ada bau-baunya politik. Dan itu artinya bau politik yang tidak akan menguntungkan dirinya.

Oh ya, kalau Djarot bermedsos dan suka sejarah, mestinya ia berteman dengan peneliti sejarah Bonnie Triyana sehingga ia tidak lugu-lugu amat. Djarot bisa membaca tulisan Bonnie di Facebook sehingga kaki tidak sesat melangkah ke Masjid At-Tin.

Begini Bonnie menulis:

Dibilang haul, tapi bukan pas tanggal kematian Soeharto (27 Januari) bukan pula tanggal kelahiran Soeharto (8 Juni). Jelas ini shalawat dan dzikir politis, bukan murni karena penghambaaan diri di hadapan Tuhan yang penuh keiklasan tanpa mengharap imbalan. Judulnya saja “peringatan Supersemar” lengkap dengan foto Soeharto yang diletakkan di atas para pemuka agama yang berada di bawahnya.

Yang orang lupa: Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret adalah surat perintah dari Presiden Sukarno kepada Soeharto untuk menjaga ketertiban, ajaran Presiden Sukarno, menjaga keselamatan presiden dan keluarganya. Surat itu kemudian digunakan oleh Soeharto melebihi dari apa yang ditugaskan oleh Sukarno. Bahkan dijadikan landasan untuk mengambilalih kekuasaan dari Sukarno secara inskontitusional.

Tak heran jika pada 17 Agustus 1966 Presiden Sukarno dalam pidatonya mengatakan bahwa SP 11 Maret itu “bukan transfer of authority” bukan pengalihan kekuasaan…..

….Ingat kasus Tanjung Priok, 12 September 1984? Bagaimana Amir Biki dan ratusan orang lainnya tewas ditembaki. Jangan dikira Orde Baru ini pembela Islam. Satu-satunya yang dibela oleh rezim Orde Baru ini yang cuma kepentingannya sendiri. Lawan dan kawan bisa dipilih sesuka hati, tergantung kebutuhan. Celakanya sekarang banyak orang lupa dan sengaja dibikin lupa. Mungkin hanya dengan cara itulah mereka bisa kembali berkuasa.

Benar apa kata Milan Kundera, “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.

***

 

Oyos Saroso H.N.