Sebentuk Usaha Menggali Berbagai Aspek Sejarah Lampung

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Willy Alfarius

Judul: Monograf Lampung Lampau: Sejumlah Catatan Budaya & Sejarah Lampung
Penulis: Arman AZ
Penerbit: Lampung Literature (Bandar Lampung)
Tahun Terbit: Januari 2021
Jumlah Halaman: x+140 hlm
ISBN: 978-623-94757-3-4

Saat memutuskan untuk melanjutkan studi dalam disiplin ilmu sejarah tujuh tahun silam, saya mempunyai impian besar untuk menuliskan riwayat tentang tanah kelahiran, Lampung. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa tidak banyak referensi maupun bacaan yang menjelaskan tentang riwayat kawasan ini. Pelajaran muatan lokal (mulok) pun hanya sebatas mempelajari aksara dan bahasa Lampung saja, tanpa pernah menjelaskan lebih jauh bagaimana sejarah, kebudayaan, atau bahkan adat istiadat Lampung secara komprehensif dan mendalam. Selain jam pelajaran yang amat sedikit, mata pelajaran ini hanya ada sebatas di tingkat SD-SMP saja. Setelahnya ia kemudian dilupakan, bahkan kerap dianggap tidak penting.

Ketika mulai menggarap proposal skripsi akhirnya saya merasakan bahwa begitu banyak tantangan untuk mengerjakan tema yang berkaitan dengan Lampung. Selain perkara teknis dan birokratis, perlu usaha ekstra keras dan luar biasa untuk menemukan berbagai kepingan masa lalu Lampung yang masih terserak dan tertimbun entah di mana. Nyaris sebagian besar literatur yang tersedia hanya merupakan buku-buku terbitan pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Periodenya pun kebanyakan relatif sangat muda, mengikuti usia Republik ini berdiri. Sedangkan tema yang rencananya akan saya kerjakan berada beberapa puluh tahun sebelumnya, tepatnya awal abad 20. Akhirnya skripsi itu selesai, meski saya tetap merasa tidak puas mengingat minimnya sumber serta pengetahuan saya akan sejarah Tanah Lada ini.

Maka terbitnya buku karya Arman AZ ini saya kira merupakan sumbangan amat penting dan berharga bagi penulisan serta pengetahuan sejarah tentang Lampung. Maka ketika buku ini telah sampai dan tiba di tangan, saya dengan amat antusias dalam tempo kurang dari sehari seluruh tulisan dalam buku ini saya lahap habis. Melalui buku ini Arman seperti membangunkan kesadaran serta mengingatkan kembali pada kita semua bahwa provinsi dengan kurang lebih delapan juta penduduk ini masih meraba-raba riwayat masa lalunya, yang catatannya justru terserak ke berbagai belahan dunia. Letak geografisnya yang amat dekat dengan ibukota –yang notabene dianggap sebagai pusat pengetahuan serta kebudayaan, nyatanya masih kurang berdampak signifikan bagi perkembangan pengetahuan dan pemajuan sejarah Lampung itu sendiri.

Buku ini berisi 17 tulisan dengan berbagai macam topik yang hampir seluruhnya sudah pernah dipublikasikan di berbagai media. Topik-topik tersebut beragam mulai dari soal pers, bahasa, folklor, sastra, kamus, wabah, permainan tradisional, hingga etnisitas yang kesemuanya membentuk wajah Lampung hari ini. Inilah yang menjadi poin penting hadirnya buku ini dalam khasanah kebudayaan serta sejarah Lampung.

Ia memberikan pijakan awal pengetahuan bahwa banyak aspek yang selama ini luput dari perhatian, atau bahkan mungkin dilupakan dan sama sekali tidak terjamah, ketika kita membincangkan soal kebudayaan dan sejarah Lampung. Klaim tentang kebesaran, keluhuran, serta kejayaan Lampung hari ini harusnya justru dapat semakin terlihat jika kita mau terus menelisik ihwal seperti apa sejatinya Lampung di masa lalu terbentuk dan melalui riwayat panjangnya sejak masa Hindu-Budha, kedatangan Islam, hadirnya kolonial, hingga Indonesia merdeka sekarang. Pengetahuan yang komprehensif dan utuh tentang masa lalu Lampung amat sangat diperlukan bagi generasi sekarang ataupun mendatang, sehingga cerita tentang kejayaan tanah Lampung tidak hanya berakhir sebagai mitos atau pengakuan tanpa bukti konkret.

Salah satu penekanan penting dari berbagai tulisan dalam buku ini adalah kenyataan yang mungkin amat ironis bahwa sebagian besar sumber sejarah primer tentang Lampung justru tidak berada di Lampung. Arman menuliskan dalam perjalanannya di Universitas Leiden Belanda pada 2015 silam, banyak sekali manuskrip penting yang berasal dari Lampung tersimpan di sana. Belum lagi benda-benda macam artefak atau perkakas tradisional Lampung yang justru malah dirawat dengan baik di sana.

Tentu kita bisa berdebat panjang soal kolonialisme yang membuat benda-benda itu bisa melanglang buana hingga daratan Eropa sana. Hanya saja, harusnya ada usaha yang signifikan dari lembaga negara saat ini untuk memulangkan mereka, atau paling minimal membuat inventarisasi ataupun salinan dari berbagai literatur penting itu. Artinya belum ada upaya serius dari pemerintah Lampung selaku pemilik kuasa dan kebijakan untuk menginventarisir, serta menyimpan dengan baik berbagai macam artefak, entah benda maupun literatur fisik yang menjelaskan ihwal Lampung itu sendiri.

Salah satu tulisan yang paling saya suka dari buku ini adalah “Historiografi Lampung, Mau ke Mana?” Dalam tulisan ini Arman benar-benar mewakili kegelisahan saya selama ini soal tidak adanya Fakultas Ilmu Budaya (FIB) di Lampung, bahkan secara luas di Sumatera bagian selatan. Dalam benak saya keberadaan FIB amat sangat penting untuk mendata, menginventarisir, serta mendokumentasi berbagai macam kebudayaan yang ada di Lampung serta kawasan sekitarnya yang luar biasa kaya dan banyak. Pelestarian kebudayaan sebagai warisan leluhur akan dapat terjaga dengan baik apabila orang-orang yang dididik dalam ilmu sejarah, arkeologi, dan antropologi dapat bergerak untuk merekamnya, sebelum semuanya lenyap digusur perkembangan zaman. Dan Arman melalui tulisannya ini dengan cukup telak membidik berbagai macam persoalan yang semestinya segera dibenahi oleh berbagai elemen, terutama lembaga negara terkait jika ingin warisan kebudayaan Lampung tetap utuh dan dapat terus lestari.

Dalam hal ini saya kira Arman dapat disebut sebagai pelopor pembawa obor yang menunjukkan jalan bahwa masih ada banyak hal yang seharusnya didalami, diurus, serta dikerjakan kembali tentang kebudayan dan sejarah Lampung. Pengembaraannya yang cukup jauh hingga Universitas Leiden di Belanda untuk menelusuri sumber-sumber primer, juga ketekunanannya melacak berbagai literatur tentang Lampung dalam berbagai bahasa membuat ia memiliki referensi serta wawasan yang amat kaya. Tidak hanya itu, ia juga menyorot dengan tepat sejatinya siapa saja yang mestinya memiliki perhatian lebih dalam menelusuri sejarah Lampung yang idealnya memang menjadi kawan seiring bagi berbagai acara maupun festival kebudayaan yang kerap diselenggarakan di Lampung. Usaha-usaha komunitas atau bahkan individu tentu tidak cukup maksimal jika tidak dibarengi dengan kemauan serius dari lembaga negara terkait, utamanya Dinas Kebudayaan yang jelas diberi mandat oleh Undang-Undang untuk melestarikan kebudayaan serta sejarah.

Tentu saja masih ada beberapa topik penting lain yang belum seluruhnya tercakup dalam buku ini, meski sudah disinggung sekilas. Misalnya saja tentang berbagai macam kelompok diaspora yang ikut mewarnai lanskap demografi Lampung saat ini seperti orang-orang Jawa, Bali, serta Tionghoa. Juga misalnya tentang berbagai industri dan perkebunan yang mengekspansi secara masif ke Lampung sejak akhir abad 19. Dapat dimaklumi keterbatasan-keterbatasan ini mengingat begitu luas dan banyaknya aspek sejarah Lampung yang memang menunggu kerja-kerja kolaboratif untuk menuliskannya. Namun yang jelas hadirnya buku ini telah memantik diadakannya penelitian yang lebih serius serta mendalam lagi tentang sejarah dan kebudayaan dari kawasan yang memiliki riwayat amat panjang ini.

(Yogyakarta, 5 Februari 2021)

Willy Alfarius, menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah kejuruan di Lampung. Saat ini sedang menjalani studi magister di Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.