Oleh Arizka Warganegara*
Pada bulan Agustus 1945 sampai dengan pertengahan tahun 1947, Sumatera merupakan satu propinsi, uang dipimpin oleh gubernur M. Teuku Muhammad, yang berkedudukan di Medan, Sumatera Utara. Pada pertengahan tahun 1947, Propinsi Sumatera dibagi menjadi 3 (tiga) Sub-Provinsi, yaitu:
1. Sub-Provinsi Sumatera Utara di Medan, 2. Sumatera Tengah di Bukittinggi, dan 3. Sumatera Selatan di Palembang
Karesidenan yang masuk Sub-Provinsi Sumatera Selatan, ialah Karesidenan Palembang, Karesidenan Lampung, Karesidenan Jambi, Karesidenan Bengkulu, dan Karesidenan Bangka Belitung.
Pada tanggal 5 Mei 1947, Pemerintah mengeluarkan sebuah dekrit yang berisi perintah untuk mempersatukan semua kekuatan bersenjata, yaitu TRI dan laskar-laskar atau badan pejuang.
4. Karesidenan Lampung Pada Masa Pemerintahan Darurat
Suatu ketika, dalam sebuah perundingan dengan Belanda, Perdana Menteri Amir Syarifuddin menolak beberapa tuntutan yang diajukan oleh Belanda terhadap Indonesia pada jawaban Perdana Menteri Amir Syarifuddin tertanggal 17 Juli 1947. Sebagai konsekuensinya, pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan serentak kepada daerah-daerah di Indonesia, yang dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda I atau Clash I.
Di Sub-Provinsi Sumatera Selatan, Belanda mulai menyerang Lampung melalui jalur darat dari Palembang. Kemudian, setelah bertempur selama 3 hari dan mendapatkan perlawanan gigih dari kesatuan-kesatuan TNI, pada tanggal 25 Juli, Belanda berhasil menduduki Baturaja. Namun, pada peristiwa-peristiwa selanjutnya, Belanda tidak berhasil menduduki Lampung.
Pada bulan Agustus 1947, dalam rangka melaksanakan mobilisasi umum, maka Seksi Mobilisasu Umum dari Staf Resimen 41 bersama dengan para pimpinan partai dan organisasi-organisasi kemasyarakatan membtnuk Dewan Pertahanan Daerah Lampung dan Palembang Selatan. Pada kegiatan itu, Ketua DPR Wan Adurrakhman terpilih menjadi Wakil Ketua, Marsyid Alamsyah Carepoboka dari Kantor Keresidenan sebagai Panitera, sedangkan Ketua Dewan adalah Komandan Resimen.
Kemudian, dibentuklah Mahkamah Tentara di Lampung di bawah pimpinan Mr. Gele Harun dengan pangkat Letkol tituler. Setelah itu, sebagai akibat ditandatanganinya Perjanjian Renville oleh Pemerintah Republik Indonesia dan tentara Belanda pada tanggal 17 Januari 1948, maka pelaksanaan instruksi penghentian tembak-menembak diadakan perundingan antara pihak tentara Belanda dengan TNI di daerah Palembang Selatan, yaitu di kota Martapura. Mereka yang berunding adalah Kolonel Ssyamaun Gaharu, Komandan Brigade Garuda Hitam, sebagai Ketua Delegasi, dan juga R. M. Rukadi Wiryoharjo (Residen Lampung) sebagai anggota.
Salah satu hasil perundingan tersebut adalah bahwa garis pertahanan yang memisahkan antara daerah yang diserhkan kepada tentara Belanda dan yang dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia di Palembang Selatan ini, adalah garis sepanjang Way Pisang dan Way Tuba. Sebagian besar dari pasukan-pasukan Garuda Hitam bersama dengan pejabat sipil yang tetap setia pada pemerintah Republik Indonesia beserta keluarga-keluarga mereka lebih kurang 4.000 orang pindah dan hijrah ke daerah Lampung, dengan melintasi “garis pemisah” ini.
Dalam rapatnya pada tahun 1948, Dewan Pertahanan Daerah Lampung memutuskan bahwa jika Belanda menyerang Lampung, maka Residen dan Komandan Brigade Garuda Hitam pergi ke luar kota, sedangkan wakil residen tetap berada di dalam kota untuk melindungi rakyat Lampung.
Selanjutnya, pemerintah Belanda melancarkan serangan Agresi Militer Belanda II (Clash II), yaitu pada tanggal 19 Deseember 1949, dimana pasukan Belanda pertama-tama menyerang ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, melalui pasukan lintas Udara. Dalam serangan tersebut, Belanda dapat menguasai Lapangan Terbang Maguwo, yang kemudian menguasai seluruh Kota Yogyakarta.
Di Lampung sendiri, serangan baru dimulai tanggal 1 Januari 1949, ketika Belanda memasuki Teluk Lampung melalui Kalianda menuju Pelabuhan Panjang. Kira-kira pukul 05.00 pagi, kapal perang Belanda mulai menembaki Pelabuhan Panjang. Tetapi, karena perlawanan dari pihak tentara kita di Panjang, baru setelah kira-kira jam 06.00 pagi, mereka dapat mendarat di pantai luar Pelabuhan Panjang dan di pantai sekitar Gunung Kunyit Teluk Betung. Ibukota Karesidenan Lampung akhirnya dapat diduduki oleh pasukan Belanda pada hari itu juga. Karena peristiwa inilah, maka Pemerintah Karesidenan beserta stafnya menyingkir ke luar kota.
Komandan Sub-Territorial Lampung, Letkol Syamaun Gaharu, dengan anggota-anggota stafnya beserta beberapa pejabat Pemerintah Sipil Karesidenan Lampung tanggal 1 Januari sudah berada di Gedong Tataan, sedangkan rombongan keluarga militer dan sipil yang mengungsi sudah berada di Pringsewu.
Saat itu, Komandan Front Utara, dengan Batalyon Mobilnya, yang dipimpin oleh Mayor Nurdin pada tanggal 1 Januari 1949 sore hari sudah berada di Kotabumi. Pada malam harinya, Mayor Nurdin mengadakan rapat dengan Bupati Lampung Utara beserta beberapa tokoh masyarakat dan pimpinan partai, untuk membentuk Pemerintah Darurat Karesidenan Lampung.
* Dosen FISIP Universitas Lampung. Kandidat doktor Migration and Etnics Politics di University of Leeds, Inggris