Sekadar Berbagi Kopi, Berbagi Kebahagiaan

Bagikan/Suka/Tweet:

Sunardian Wirodono

Postingan saya tentang Suspended Coffee, yang saya ulik dari Wakaf Quran (tentang membelikan kopi untuk orang miskin), mendapat sambutan meriah, sebagaimana di laman sumbernya juga mendapat banyak respons. Ini penanda baik, bahwa sesungguhnya kita bangsa yang baik. Meski harus dikata, kita sering tidak tahu cara, atau sudah under estimate, pesimis, bahkan sinis, bahwa hal itu tak bisa dijalankan di Indonesia karena bla-bla-bla.

Saya berterimakasih pada Janoary M. Wibowo (seorang yang gagal jadi alay garis keras kata Kurniawan Yunianto), yang berbagi informasi mengenai suspended coffee atau café suspeso ini.

Saya suntingkan tulisannya tentang latar belakang sejarah gerakan itu: Café suspeso menilik sejarahnya, berawal dari cerita rakyat Naples (Italia), tentang tragedi meletusnya gunung Vesuvius yang menimpa kota Naples duaratusan tahun lalu. Hampir seluruh kota luluh lantak.

Kaum kaya yang terbiasa membeli makanan langsung (tak mempunyai kebiasaan menyetok kebutuhan harian), kelaparan. Mereka mempunyai tabungan, tapi tak mempunyai bahan makanan. Kaum miskin (petani dan buruh), mempunyai kebiasaan membeli bahan makanan untuk kebutuhan sebulan. Uang mereka yang tak seberapa, mereka belikan untuk kebutuhan bulanan, karena mereka tidak tahu kapan mendapatkan uang lagi.

Orang-orang bahu-membahu bertahan hidup di kota ketika itu. Si miskin membagi stok bahan makanan mereka punya (karena disimpan terlalu lama pun akan basi), si kaya berterima kasih atas makanan dengan mengganti pemberian itu dengan koin emas dan perhiasan (dalam beberapa waktu itu, barang-barang tersebut tak berguna sama sekali).

Cerita rakyat semacam itulah, yang konon dipercaya dan diteruskan oleh pemilik kedai kopi di Naples pada awal 2000-an, ketika mereka membuka layanan cafe suspeso. Mereka meneruskan dan mempertahankan tradisi yang pernah membuat kota itu bertahan. Cafe suspeso, pada perkembangannya, bukan hanya tentang memberi, tapi juga menjadi rendah hati. Demikian menurut Janoary.

Apakah tak bisa diterapkan di Indonesia, karena tak bisa memindah gunung Vesuvius? Saya percaya pendapat marhum Kyai Faqih dari Langitan mengutip Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam, ‘kalau ada gunung berpindah, percayalah!”

Gunung Vesuvius itu bisa kita pindah ke hati kita, dan kemudian kita ledakkan. Kalau bangsa ini sukanya gretongan, termasuk kaum kayanya yang tak tahu malu menerima subsidi, bukankah kita dibolehkan mencari cara atau sistemnya?

Saya membayangkan yang membuka café kopi punya ide-ide unik. Biasanya pendiri kafe itu orangnya extra-ordinary dan agak ‘different-different piye’ gitu.

Mungkin mereka bisa bikin KGNg (Kartu Gratis Ngopi), dan mereka bisa tawarkan program itu pada pelanggan mereka yang kaya, untuk menyisakan secangkir dua untuk kaum miskin-kin dan melarat-rat.
Ada yang nyeletuk, “Ah, orang kaya bisa ikutan antre untuk dapetin kartu itu.” Tentu saja, mereka yang baik dan kreatif bisa mencari jalan keluar. Menciptakan system agar yang dapat hanya yang miskin. Misal, harus disertai surat keterangan miskin dari RT sampai Presiden sekalipun. Tapi jika masih kebobolan, kita bisa upload fotonya ke sosmed, atau kita print digital dan dipajang di show-room café tentang daftar orang paling memalukan di daerah ini.

Ah, ah, ah, untuk urusan bederma secangkir kopi saja kita perlu pemikiran keras. Padahal, kerumitan di luar itu hanya cerminan kerumitan di dalam. So? Sudah imsak, nggak boleh ngopi lagi.